Jumat, 09 Juli 2010

mushaf sultan ternate

mushaf sultan ternate

mushaf masjid tua kaitetu, maluku

Mushaf Sultan Ternate


Mushaf Kuno Nusantara

Mengapa kajian mushaf perlu dilakukan?
Kebanyakan peneliti mengkaji teks (filologi), dan sedikit yang mengkaji fisik naskah (kodikologi: mengkaji antara lain tulisan/kaligrafi, hiasan/iluminasi, desain/perwajahan, jilidan, tinta, perdagangan naskah, dll)
Peneliti naskah kebanyakan meneliti teks-teks sastra (termasuk sastra kitab).
Banyak peneliti apriori karena teks Al-Qur’an sama, sehingga tidak perlu dibandingkan.
Seni mushaf merupakan bagian dari seni rupa Islam Indonesia (masih kurang dikaji).
Mushaf adalah naskah yang beriluminasi paling indah, selain surat raja-raja Nusantara.
Perguruan-perguruan tinggi Al-Qur’an (PTIQ, IIQ, dll) belum banyak yang meneliti mushaf-mushaf kuno.
Ada mata rantai yang hilang dalam kajian/penulisan sejarah Al-Qur’an. Kebanyakan berhenti pada masa Sahabat.
Sejarah Al-Qur’an di Nusantara/Indonesia belum ditulis.

Jumlah Mushaf Nusantara
Di Indonesia paling kurang 337 mushaf (koleksi museum, masjid, pesantren dan perorangan - yang diketahui).

Luar Negeri: 374 mushaf. [Malaysia 300; Inggris 11; Belanda 32 (+ 41 dgn jilidan terpisah); Prancis 5; Jerman 1; Australia 20]

Mushaf Tertua Nusantara?
Beberapa klaim:
Masjid Agung Banten 1553
Masjid Tua Kaitetu, Hila, Maluku 1550; Nur Cahya 1590
Ternate 1005/1050 H (1596/1641)

Di antara Mushaf tertua:
- Gallop: Perpustakaan SOAS: Jumadil Awal 993 H (1585) koleksi William Marsden.
- Riddle: Di Belanda, diperoleh di Johor pada 1606 (kolofon berbahasa Jawa) – dimuat di Jurnal Indonesia and The Malay World, London.
- Koleksi M Zen Usman, Singaraja, Bali 1035 H (1625).
PNRI: Sya’ban 1143 H (1731)

Mushaf Sultan Ternate:
Telah tersebar luas dalam tulisan ilmiah sebagai mushaf tertua di Nusantara. Namun di catatan wakaf di halaman depan tertera 9 Zulhijah 1185 M (Sabtu, 14 Maret 1772), ditulis oleh Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid.

Mushaf koleksi pribadi Bpk M Zen Usman, Singaraja, Bali. Tertanggal Kamis, 21 Muharram 1035 H (23 Oktober 1625 M). Ditulis oleh Abd as-Sufi ad-Din. Bahan kertas dluwang (kulit kayu).

Jenis-jenis Mushaf
- Manuskrip
- Litografi/cetak batu
- Cetak offset/modern

Aspek-aspek Kajian Mushaf
- Teks/Nas (rasm, tanda tajwid, qiraat)
- Kaligrafi (teks dan gaya)
- Iluminasi (awal, tengah dan akhir mushaf; setiap hlm – mushaf Kraton Yogya)
- Jilidan (hiasan cover dan model jilidan dan jahitan). Jumlah jilid (3, 10, 30 jilid - berdasarkan juz)

Kajian Kaligrafi dalam Mushaf
Macam Teks
Teks Qur’an
Kepala surah
Teks pinggir hlm [qiraat, tanda juz dll],
Doa, kolofon dan teks tambahan lain.

Gaya Kaligrafi
Kaligrafi floral
Pilinan khas Jawa
Naskhi Banten
Sulsel

Kajian Iluminasi dalam Mushaf
- Awal (Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah)
- Tengah (awal S. al-Isra, awal S al-Kahfi, atau awal juz ke-16)
- Akhir (S. al-Falaq dan an-Nas)
Iluminasi bisa di seluruh halaman (mushaf di Museum Kraton Yogya, dibuat di Surakarta; Mushaf Istiqlal dll).
- Gaya khas: Aceh, Bugis-Makassar, Jawa (sebagian), Lombok

Kamis, 11 Maret 2010

sistematika penyusunan laporan

1. Halaman Judul

2. Abstrak
Secara Teoritis, abstraksi abstrak (gambaran) dari temuan penelitian yang bersifat konkrit yang dituliskan secara singkat, namun demikian kebanyakan abstrak berisi tentang ringkasan penelitian.
Terdiri dari 4 alinea yang berisi ; tujuan penelitian, metodologi penelitian, temuan penelitian dan saran atau rekomendasi.
Abstrak pada umumnya di tulis dalam 1 halaman (1 spasi)

3. Daftar Isi

Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
C. Metodologi Penelitian
D. Tujuan Penelitian
E. Hasil atau Kegunaan Penelitian
F. Sistematika Penelitian

Bab II. Deskripsi Teoritis (Variabel I)

Bab III. Deskripsi Teoritis (Variabel II)

Bab IV. Temuan Penelitian dan Pembahasan (Variabel I dan Variabel II)
A. Temuan Penelitian
B. Pembahasan

Bab V. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
B. Saran

C. Daftar Pustaka

D. Lampiran-Lampiran

E. Daftar Riwayat Hidup

NASIKH MANSUKH MENURUT AHMAD HASSAN

NASIKH MANSUKH MENURUT AHMAD HASSAN
(Studi Atas Karakteristik Penafsiran Kitab Al-Furqan)


A. Mengenal Ahmad Hassan

1. Riwayat Hidup
Nama Ahmad Hassan yang sebenarnya adalah Hassan bin Ahmad. Akan tetapi, berdasarkan kelaziman penulisan nama keturunan India di Singapura, yang menuliskan nama orang tua (ayah) di depannya, maka Hassan bin Ahmad lebih dikenal dengan panggilan Ahmad Hassan-untuk selanjutnya disebut dengan Ahmad Hassan. Dia lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis yang cukup ahli dalam bidang agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ahmad pernah menjadi redaktur majalah Nur al-Islam (sebuah majalah dan sastra Tamil), di samping sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa Arab. Ahmad sering pula berdebat mengenai bahasa dab agama. Dalam surat kabar yang dikelolanya, ia bahkan menyediakan kolom tanya jawab. Adapun ibu Ahmad Hassan bernama Muznah, berasal dari Pelekat Madras tetapi lahir di Surabaya. Ahmad dan Muznah menikah di Surabaya ketika Ahmad berdagang di kota itu. Mereka kemudian menetap di Singapura.
Sepanjang hidupnya, Hassan mempunyai seorang istri, Maryam, yang dinikahinya di Singapura pada tahun 1911. Maryam adalah seorang peranakan Tamil-Melayu, dari keluarga yang taat pada agama. Dari pernikahan ini, pasangan Hassan Maryam punya 7 anak, satu di antaranya, Abdul Qadir Hassan, yang juga penerus ayahnya. Pada tahun 1940, Hassan pindah ke Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Persis. Pada 10 November 1958, Hassan menghadap kepada-Nya.

2. Karir Intelektual
Ibarat pepatah,”Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.” Begitu pula dengan Hassan, rupanya juga mewarisi tradisi intelektual ayahnya. Sejak usia 7 tahun, Hassan sudah belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Lalu masuk sekolah Melayu, dan belajar bahasa Melayu, Arab, Inggris, dan Tamil. Dengan ilmu itulah Hassan secara otodidak memperdalam agama, seperti Fara’id, Fiqh, Mantiq, Tafsir, dan lain-lainnya.
Secara formal, Hassan tak pernah benar-benar menamatkan pelajarannya di sekolah dasar yang di tempuhnya di Singapura itu. Soalnya, di usia 12 tahun, Hassan sudah ikut berdagang, menjaga toko milik iparnya, Sulaiman. Sambil berdagang, Hassan memperdalam ilmu agamanya pada Haji Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road untuk belajar ilmu Nahwu dan Sharaf.
Ketika usianya masih remaja, Hassan sudah mencari nafkah, dari pelayan toko sampai membuka vulkanisir ban. Setelah ilmunya dirasa cukup, pada tahun 1910, Hassan mengajar di Madrasah, dari tingkat Ibtidaiyah sampai Tsanawiyah.
Pada tahun 1912, Hassan bekerja di Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press. Hassan menulis artikel yang berisikan nasihat nasihat, mengajak kepada kebaikan, dan menjauhi kemungkaran. Tidak jarang, Hassan menulis dalam bentuk puisi yang cukup menggelitik dan menyentuh. Selain itu, Hassan juga sering ikut aktivitas di Persis (organisasi yang didirikan oleh Muhammad Yunus), dan secara resmi menjadi anggota, tahun 1926.
Hassan masuk Persis tatkala ormas Islam ini berusia 3 tahun. Dan rupanya, ia segera popular di kalangan kaum muda yang progresif. Tahun-tahun berikutnya, Hassan identik dengan Persis, begitu pula Persis, identik dengan Hassan.
Selain sezaman dengan Faqih Hasyim (seorang pedagang dan sekaligus pendakwah yang berasal dari Padang), Hassan juga sezaman dengan Muhammad Yunus (pendiri Persis), Ustadz Munawar Chalil (Semarang), Ustadz K.H. Imam Ghazali (Jamsaren Solo), Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Yogyakarta), K.H.M. Ma’shum (Yogyakarta), Ustadz Abdullah Ahmad (Jakarta), Ustadz M. Ali Hamidy (Jakarta), Ustadz Abdul Hakim, dan Ustadz H. Zainuddin Hamidy (Minangkabau).
Di antara murid-muridnya antara lain Muhammad Natsir (seorang ulama politikus), K.H.M. Isa Anshary (pernah menjadi Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis, Ketua Umum Masyumi Jawa Barat dan anggota DPP Masyumi), Ustadz K.H.E.Abdurrahman (pemimpin Pesantren Persis Bandung, Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis 1962-1983 dan pengasuh majalah At-Taqwa dan Risalah), K.H.E. Qamaruddin Shaleh (pensyarah dan pernah menjadi Wakil Ketua Pusat Pimpinan Persis), K.H.M. Rusyad Nurdin (pensyarah di beberapa perguruan tinggi, ulama terkenal, dan pernah menjadi Wakil Ketua Pusat Pimpinan Persis dan Ketua DDII perwakilan Jawa Barat) dan Fakhroeddin Al-Khahiri (cendekiawan muslim). Bahkan Soekarno sendiri mengakui bahwa Ahmad Hassan adalah guru spiritualnya.

3. Karya-karyanya yang lain
Pengajaran Shalat, Pengajaran Shalat, Kitab Talqin, Risalah Jumat, Debat Riba, Al-Mukhatar, Soal Jawab, Al-Burhan, Debat Talqin, Kitab Riba, Risalah Ahmadiyah, Pepatah, Debat Luar Biasa, Debat Taqlid, A.B.C Politik, Merebut Kekuasaan, Kamus Persamaan, Al-Hikam, Al-Madzhab, At-Tauhid, Dosa-dosa Yesus, Al-Jawahir dan masih banyak buku-bukunya yang lain.





B. Mengenal Kitab Tafsir Al-Furqan

1. Indonesia pada saat penulisan
Secara spesifik, tafsir ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1928, tahun diikrarkannya sumpah pemuda oleh para pemuda Indonesia. Ketika untuk yang kedua kalinya tafsir ini diterbitkan, tepatnya pada tahun 1941, Indonesia sudah mendekati kemerdekaannya. Dan penulisan tafsir ini telah rampung dari Juz 1 sampai juz 30, ketika Indonesia sudah menikmati kemerdekaannya tepatnya pada tahun 1956.

2. Proses Penulisan
Tafsir Qur’an al-Furqan ini adalah karya besar dan penting yang dimiliki oleh (Alm.) Ahmad Hassan. Penulisan tafsir yang merupakan langkah pertama dalam sejarah penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia itu berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Bagian pertama tafsir itu diterbitkan pada tahun1928. edisi pertama itu mungkin belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diperlukan oleh umat Islam di Indonesia. Untuk memenuhi desakan sejumlah anggota Persatuan Islam (Persis), edisi kedua tafsir itu dapat diterbitkan tahun 1941, namun hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya, atas bantuan seorang pengusaha yaitu Sa’ad Nabhan, pada tahun 1953 barulah proses penulisannya dilanjutkan kembali, hingga akhirnya tulisan tafsir al-Furqan secara keseluruhan (30 juz) dapat diterbitkan pada tahun 1956. oleh karena tafsir itu ditulis pada masa yang telah lampau, maka bahasa Indonesia yang digunakan pun tentunta tidak seperti bahasa Indonesia yang ada dan dipahami pada masa sekarang ini. Karena itulah kami memandang perlunya langkah revisi dan penyuntingan terhadap karya tersebut.




3. Sekilas tentang Tafsir Al-Furqan
Ahmad Hassan, salah seorang tokoh pembaharu Islam dio awal abad ke-20, menulis tafsir yang yang diberi nama tafsir al-Furqan. Tokoh Persis ini menulis tafsirnya dari tahun 1920 hingga tahun 1950-an. Beberapa juz yang telah selesai ditafsirkan lalu diterbitkan pertama kali tahun 1928. Atas desakan anggota Persis, ia kembali menerbitkan tafsirnya tahun 1941, tidak lengkap 30 juz hanya sampai surat Maryam. Barulah pada tahun 1956 tafsir al-Furqan diterbitkan lengkap dari juz pertama sampai juz 30. Tahun 2006, tafsir al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama dengan Universitas al-Azhar dalam satu Jilid.
Dalam menyusun tafsirnya, Ahmad Hassan memulai dengan menuliskan pendahuluan yang terdiri dari 34 pasal. Di dalamnya dijelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur’an dan tafsirnya. Di antaranya ia menjelaskan mengenai sejarah al-Qur’an, cara menerjemahkan ayat dalam tafsirnya dan penjelasan mengenai beberapa istilah dalam bidang tafsir.
Uniknya, Tafsir Al-Furqan merupakan gabungan dari terjemahan dan tafsiran yang dilakukan oleh Ahmad Hassan, seorang yang dikenal luas reputasi keilmuannya. Usaha yang serius dan bertanggung jawab yang dilakukannya dalam tafsir ini diakui oleh banyak kalangan sebagai usaha yang berhasil. Bahkan, tidak sedikit orang yang lebih memilih menggunakan tafsir ini untuk mendapatkan terjemahan dan pemahaman Qur’an daripada tafsir dan terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Indonesia yang lain.
Jadi, tafsir al-Furqan ini adalah kitab tafsir yang memiliki periode-periode tertentu berkaitan dengan penerbitannya. Baik pra maupun pasca kemerdekaan. Tentunya menjadi keunikan tersendiri ketika sebuah karya ditulis ketika sebuah negara masih belum terbentuk. Apalagi penulisnya adalah seorang pembaharu yang sangat kosen terhadap pemurnian ajaran-ajaran agama Islam.



C. Karakteristik Kitab Tafsir Al-Furqan

1. Kecenderungan Perspektif penafsiran
Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat, paling tidak, pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, laun (corak) penafsiran, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran (mazhab) yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa karya Ahmad Hassan ini adalah gabungan antara terjemahan dan tafsiran. Bahkan, unsur terjemahannya lebih dominan daripada tafsirannya, karena tafsirannya sendiri hanya berupa catatan-catatan kaki (footnote) yang oleh tim penyunting kitab ini kemudian dipindahkan kebagian akhir (endnote). Jadi, corak penafsirannya sendiri lebih cenderung kepada corak kebahasaan. Dengan dua alas an. Pertama, bahwa tafsir ini sampai pada tahap terakhir penerbitannya lebih difokuskan pada penyuntingannya berdasarkan tata bahasa Indonesia yang berlaku terutama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).Kedua, metode penerjemahan dari harfiah ke maknawiah yang diterapkan oleh Ahmad Hassan adalah bukti lain dari corak kebahasaan yang begitu kental dalam tafsir Al-Furqan ini.
Tentang metode penafsirannya, Ahmad Hassan termasuk yang mengikuti aliran (thariqah) tafsir bira’yi. Ini bisa dibuktikan dari sekian banyak endnote yang lebih menonjolkan pemikiran penulis tentang penggalan ayat yang ingin dia jelaskan, termasuk di antaranya ayat 106 dari surat Al-Baqarah yang menjadi contoh tema penafsiran kitab tafsir Al-Furqan dan akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.






2. Sistematika Penyusunan Tafsir al-Furqan
Dalam kaitannya dengan sistematika penyusunan kitab tafsir, perlu diketahui adanya tiga sistematika penyusunan tafsir yang dikenal di kalangan para ahli tafsir: tartib mushafi (urutan ayat dan surat), tartib nuzuli (urutan kronologi turunnya surat-surat), dan tartib maudu’i (urutan sesuai tema).
Tafsir Al-furqan ini menggunakan metode tartib mushafi (urutan ayat dan surat). Jika terdapat ayat yang butuh penjelasan maka Ahmad Hassan memberikan penjelasan pada catatan kaki (yang oleh tim penyunting diletakkan di akhir menjadi endnote).
Penulis tafsir ini mengakui bahwa metode yang digunakannya adalah metode harfiah. Artinya, penulis menerjemahkan kata demi kata dalam al-qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dilakukan oleh penulis dengan maksud berusaha mempertahankan sepenuhnya nuansa teks asli dalam terjemahannya. Akan tetapi metode itu diakui pula oleh penulisnya tidak menghasilkan terjemahan yang mudah dipahami dan tidak begitu sejalan dengan dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia; dalam beberapa hal, penulis akhirnya menggunakan metode, menurut istilahnya, maknawiah. Oleh karena itu, penyuntingan (terhadap kitab tafsir) ini, dilakukan dengan menggunakan metode penerjemahan yang didasarkan atas teori dan metode penerjemahan ilmiah. Setelah itu, perbaikan atas terjemahan yang dihasilkan dilakukan dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah tata bahasa Indonasia. Langkah itu diambil dengan tujuan agar dihasilkan terjemahan yang mudah dipahami tanpa tanpa harus menghilangkan berbagai aspek pemikiran penulis.






D. Pandangan Ahmad Hassan tentang Nasikh dan Mansukh

1. Tafsir Ahmad Hassan atas ayat tentang ayat 106 surat al-Baqarah
Apabila ada suatu keterangan yang menghalalkan sesuatu, kemudian datang keterangan lain yang mengharamkannya, maka ayat yang pertama tadi dinamakan mansukh ‘terhapus’ dan yang kedua dinamakan nasikh ‘yang menghapus’. Kata ayat mempunyai beberapa arti, yaitu ‘tanda’, ‘mukjizat’, ‘keterangan’, ‘hukum’, ‘serangkaian perbuatan’, dan ‘agama’, karena setiap agama mengandung berbagai firman dan keterangan dari Allah.
Simpulan saya Allah tidak menghapus satu ayat (mukjizat) atau Allah membuat manusia lupa akan ayat itu, melainkan Allah menggantikannya dengan ayat (mukjizat) yang lebih baik atau dengan yang sebanding dengannya karena Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

2. Penjelasan Ahmad Hassan tentang penolakan terhadap Nasikh Mansukh
Jika turun suatu undang-undang tentang suatu urusan yang bertentangan dengan undang-undang yang lama tentang hal itu, maka undang-undang yang lama terhapus. Undang-undang yang baru itu dinamakan nasikh ‘penghapus’ dan yang lama disebut mansukh ‘yang dihapuskan’.
Di dalam al-Qur’an, ada ayat-ayat yang nasikh, yaitu ayat-ayat yang dating menghapus perkara-perkara yang pernah dikerjakan oleh sahabat atas perintah Nabi saw atau sebagai kebiasaan, atau ayat yang mengubah atau membolehkan kebiasaan yang pada awalnya tidak dikerjakan oleh mereka, karena dilarang oleh Nabi saw adapun ayat yang mansukh, tidak satu pun terdapat dalam al-Qur’an.
Memang ada ulama yang beranggapan bahwa ada suatu ayat yang mansukh oleh ayat lainnya. Sebagian ulama yan lain menerangkan bahwa orang yang berpendapat adanya ayat yang mansukh dalam al-Qur’an, tidak lain karena yang bersangkutan melihat adanya pertentangan antara dua ayat dan tidak ada hubungan antara keduanya. Setelah orang tersebut meneliti sejarah turunnya ayat, kemudian menganggap bahwa bahwa ayat yang turun kemudian itu adalah nasikh, dan yang turun lebih dahulu itu mansukh. Di dalam al-Qur’an, tidak ada sedikit pun pernyataan yang menunjukkan adanya ayat yang mansukh dengan ayat yang lain.
Di dalam hadis-hadis pun tidak terdapat hal tersebut, bahkan tidak ada satu pun hadis yang mengatakan adanya ayat yang mansukh di dalam al-Qur’an. Hanya ada ayat 106 di surah al-Baqarah yang artinya “Ayat apa pun yang Kami gantikan atau Kami lupakan, Kami menggantikannya dengan dengan ayat yang lebih baik daripadanya atau yang serupa dengannya. Tidakkah kamu mengetahui, bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu?” Dari ayat itu, ada ulama yang memahami bahwa di dalam al-Qur’an ada ayat yang mansukh. Namun arti yang sebenarnya dari ayat 106 surah al-Baqarah itu adalah ‘ayat-ayat (mukjizat) yang kami menggantinya atau kami menjadikan manusia lupa kepadanya, Kami mengganti dengan mukjizat yang lebih baik atau yang sebanding dengannya, yaitu mukjizat-mukjizat yang kami berikan kepada seorang Nabi pada zaman dahulu, kami sudah menggantinya dan tidak kami memberikannya lagi kepada Nabi yang datang sesudahnya, baik mukjizat itu masih diingat oleh pengikut Nabi berikutmya maupun mereka telah melupakannya.Untuk Nabi yang datang kemudian, Kami memberikan mukjizat yang sama baiknya atau sebanding dengan yang dahulu. Arti semacam itu lebih pantas dengan rangkaian ayat tersebut karena di akhir ayat ada ungkapan “Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu?”.
Kata Qadir yang berarti ‘Maha Berkuasa’ lebih layak dan lebih sesuai digunakan berkaitan dengan mukjizat daripada dikaitkan dengan penghapusan hokum, sedangkan dalam hal penghapusan undang-undang syariat, lebih sesuai digunakan kata Hakim ‘Maha Bijaksana’, bukan Qadir ‘Maha Berkuasa’.
Selain itu, ada firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7 yang artinya “Dialah yang menurunkan kitab kepadamu. Sebagian ayatnya muhkam dan merupakan isi pokok kitab serta yang sebagian lainnya mutasyabih”. Ayat-ayat yang muhkam artinya ayat-ayat yang terang, tegas dan tidak memerlukan ta’wil, sedangkan ayat-ayat yang mutasyabih adalah ayat-ayat yang ‘samar’.
Sekiranya di dalam al-Qur’an ada ayat yang mansukh, tentu lebih utama bagi Allah untuk menjelaskannya. Tidak mungkin bagi Allah menerangkan adanya ayat-ayat yang mutasyabih, yang bisa memiliki beberapa arti, sedangkan yang mansukh, Dia tidak menerangkannya, padahal mansukh ini jauh lebih penting untuk dijelaskan.























E. Kesimpulan

 Ahmad Hassan adalah seorang pembaharu sangat giat dalam dakwah pemurnian ajaran-ajaran agama Islam.
 Periode penulisan tafsir al-Furqan yang terbagi menjadi tiga periode penerbitan, diwarnai dengan upaya Indonesia dalam upaya meraih kemerdekaan dari tangan belanda.
 Proses penulisan tafsir ini dari tahun 1920-an sampai tahun 1950-an. Dan dalam proses penulisan ini pun Ahmad Hassan dipengaruhi juga oleh desakan anggota Persis agar segera menyelesaikan karya besar ini.
 Tafsir Al-Furqan sendiri adalah kombinasi antara terjemahan dan tafsiran. meskipun harus diakui bahwa terjemahannya lebih dominant daripada tafsirannya.
 Salah satu hal yang membuat karya ini kurang signifikan adalah tidak adanya sumber penafsiran yang jelas.
 Corak dari Tafsir ini adalah corak kebahasaan.
 Ahmad Hassan juga dalam penafsirannya mengikuti aliran (thariqah) tafsir birra’yi. Ini bisa dibuktikan dari sekian banyak endnote yang lebih menonjolkan pemikiran penulis tentang penggalan ayat yang ingin dia jelaskan
 Dalam sistematika penulisan tafsirnya Ahmad Hassan menggunakan metode tartib Mushafi (urutan ayat dan surat).
 Ahmad Hassan dalam menafsirkan ayat 106 surat al-Baqarah termasuk salah seorang yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an.








DAFTAR PUSTAKA

Hassan, Ahmad, Al-Furqan Tafsir Qur’an, Pustaka Mantiq (Jakarta: Februari 2006), Cet.I

Mohammad, Herry, et al., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Gema Insani (Jakarta: Desember 2006), Cet. I

Wildan, Dadan, Yang Da’i yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, Remaja Rosdakarya (Bandung: Desember 1997), Cet. I

Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, Teras (Yogyakarta: September 2004), Cet.I