Jumat, 21 Agustus 2009

Berpuasalah (niscaya) akan sehat

BAB I

PENDAHULUAN

Kita mungkin sering mendengar bahwa "Berpuasalah (niscaya) akan sehat". Bisa jadi hadits ini sudah tidak asing lagi di masyarakat karena puasa sendiri menyimpan atau mengandung pesan yang baik, yang ditetapkan dalam syari‘at Islam yang lurus ini, yakni; al Qur’an dan al Sunnah dalam hal anjuran menjalankannya. Akan tetapi, hanya dengan hal itu semata tidak boleh bagi kita untuk menyandarkankan kepada Rasulullah saw, apa yang memang bukan dari beliau. Dan secara khusus, bahwa umat ini di antara seluruh umat yang ada telah Allah khususkan dengan ilmu sanad, maka dengannyalah dapat diketahui, mana yang diterima dan mana yang sengaja disusupkan. Dengan ilmu itu pula dapat diketahui, mana yang shahih dan mana yang dha‘if.

Ilmu sanad merupakan ilmu yang sangat rumit, maka sungguh benar dan telah berbuat kebaikan orang yang menamainya,

"منطق المنقول وميزان تصحيح الأخبار"

"Ucapan yang ternukil dan timbangan shahih-nya berita"

Kendati pun hadits tersebut dha‘if - (matruk) -, hadits tersebut sangatlah populer bahkan kita sering mendengarnya di tengah masyarakat kita. Terlepas apakah hadits tersebut memiliki esensi makna (pesan) yang logis dan baik, namun yang menjadi perhatian adalah sikap kita haruslah relevan dengan argumen yang kita jadikan pijakan dalam beramal, apalagi jika hal itu terkait dengan dalil syar‘i dalam urusan ushul (fundamental) yaitu dengan mendudukkan masalah tersebut secara proporsional. Apabila memang hadits itu ada, bagaimana status haditsnya, shahih, hasan atau dha‘if, dapat diamalkan atau tidak dan kita harus menetapkan bahwa hadits itu ada. Dan apabila hadits itu tidak ada, atau hadits itu palsu, kita juga harus berani dan yakin mengatakan bahwa hadits itu palsu (maudhu‘). Dan untuk bersikap seperti ini, tampaknya tidaklah mudah. Namun kita harus tetap menganalisis masalah tersebut dengan sungguh-sungguh dan cermat yang pada akhirnya akan dapat kita simpulkan status hadits itu, sehingga kita pun yakin dan mudah mengatakan bahwa hadits tersebut memiliki status shahih, hasan, dha‘if yang mencapai derajat palsu (maudhu‘).

BAB II

PUASA DAN KESAHATAN

A. Definisi Puasa

Puasa yang diperintahkan, yang dituangkan nashnya dalam al Qur’an dan al Sunnah, bererti meninggalkan dan menahan diri. Dengan kata lain menahan dan mencegah diri dari memenuhi hal-hal yang boleh, meliputi keinginan perut dan keinginan kelamin, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt.[1]

Adapun makna puasa secara syar‘i, yaitu menahan dan mencegah diri secara dari sadar dari makan, minum, bersetubuh dan hal-hal semisalnya selama sehari penuh. Yakni dari kemunculan fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat memenuhi perintah dan taqarrub kepada Allah Swt.[2]

Islam tidak mensyariatkan sesuatu melainkan pasti mengandung hikmah; ada yang diketahui, ada pula yang tidak. Demikian juga, perbuatan-perbuatan Allah tidah lepas dari berbagai hikmah yang terkandung dalam ciptaan-Nya, hukum-hukum-Nya pun tidak lepas dari lautan hikmah. Dia Mahabijaksanadalam penciptaan-Nya, Mahabijaksana dalam perintah-Nya, tidak pernah menciptakan sesuatu yang batil dan tidak pernah mensyariatkan suatu hukum yang sia-sia.

Ini semua terkandung dalam aspek-aspek ibadah dan muamalah secara keseluruhan, juga terkandung dalam hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang diharamkan.

Sesungguhnya Allah Swt, tidak berhajat kepada apa pun, namun hamba-hamba-Nyalah yang menghajatkan-Nya. Dia tidak mendapatkan manfaat dari ketaatan hamba-hamba-Nya sedikitpun, tidak juga mendapat mudharat dari pembangkangan mereka. Hikmah dari ketaatan akan kembali kepada orang-orang mukalaf itu sendiri.

Dalam ibadah puasa terdapat sejumlah hikmah dan mashlahat, sebagaimana telah disyariatakan oleh nash-nash syariat itu sendiri. Di antaranya adalah[3]:

1. Tazkiyah al nafs (pembersihan jiwa).

2. Terbukti bahwa puasa merupakan tarbiah bagi iradah (kemauan), jihad bagi jiwa, pembiasan kesabaran, dan pemberontakan kepada hal-hal yang telah lekat mentradisi. Adakah manusia kecuali memiliki kemauan? Adakah agama selain kesabaran untuk taat atau kesabaran menghadapi ma‘siat? Puasa mewakili dua kesabaran itu.

3. Sudah sama-sama dipahami bahwa nafsu seksual adalah senjata setan yang paling ampuh untuk menundukkan manusia, sehingga sejumlah aliran psikologi menganggap bahwa ia adalah penggerak utama semua perilaku manusia. Karenanya puasa berpengaruh mematahkan gelora syahwat ini dan mengangkat tinggi-tinggi nalurinya, khususnya jika terus-menerus melakukan puasa dengan mengharap ridha Allah Swt.

4. Menajamkan perasaan terhadap nikmat Allah Swt, kepadanya. Akrabnya nikmat bisa membuat orang kehilangan perasaan terhadap nilainya. Ia tidak mengetahui kadar kenikmatan, kecuali jika sudah tidak ada di tangannya. Dengan hilangnya nkmat, berbagai hal dengan mudah dibedakan

5. Puasa mempunyai hikmah ijtima‘iyyah (hikmah sosial), karena puasa ini –dengan memeksa orang untuk lapar, sekalipun mereka bisa kenyang- memiliki sejenis persamaan umum yang dipaksakan, menanamkan dalam diri orang-orang yang mampu agar ber-empati terhadap derita orang-orang fakir miskin. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu al Qayim, "Ia dapat mengingatkan mereka akan kondisi laparnya orang-orang miskin".

6. Bahwa puasa, di samping menyehatkan badan –sebagaimana dinyatakan oleh para dokter spesialis- juga bisa mengangkat aspek kejiwaan mengungguli aspek materi dalam diri manusia. Manusia, sebagaimana sering dipersepsikan banyak orang, memiliki tabiat ganda. Ada unsur tanah, ada pula unsur ruh ilahi yang ditiupkan Allah padanya. Satu unsur menyeret manusia ke bawah, unsur yang lain mengangkatnya ke atas.

7. Gabungan dari semua itu, adalah bahwa puasa dapat mempersiapkan orang menuju derajat takwa dan naik ke kedudukan orang-orang mutaqin. Ibnu al Qayim berkata, "Puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam memelihara fisik, memelihara kekuatan batin, dan mencegah bercampuraduknya berbagai bahan makanan yang dapat merusak kesehatan. Puasa memelihara kesehatan hati dan anggota badan, serta mengembalikan lagi hal-hal yang telah dirampas oleh tangan-tangan nafsu syahwat. Ia adalah sebesar-besar pertolongan untuk membangun taqwa".

B. Definisi Kesehatan

Sungguh betapa nikmat yang diberikan Allah swt, tidak terhingga, sehingga tidak dapat dihitung dengan bilangan angka. Di antara nikmat yang tidak bisa diukur dengan materi adalah nikmat menjadi orang beriman, nikmat menjadi orang yang berserah diri (Islam), nikmat sehat, dan mikmat diberi umur panjang.

Dengan nikmat itulah, setiap tahun diberi-Nya kesempatan bertemu dengan bulan Ramadhan dan kemampuan menjalankan ibadah puasa yang diwajibkan pada bulan tersebut. Selain bernialai ibadah, puasa juga merupakan sarana terapi kesehatan sebagaimana hikmah puasa tersebut di atas.

Kesehatan merupakan nikmat yang tidak dapat dinilai dengan harta benda, kedudukan, maupun uang. Semuanya itu seakan-akan tiada artinya ketika tubuh dihuni oleh penyakit.

Untuk menjaga kesehatan, tubuh perlu diberi kesempatan untuk istirahat. Puasa, yang mensyaratkan pelakunya untuk tidak makan, minum, berhubungan seks, dan melakukan perbuatan-perbuataan lain yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani pelakunya.[4]

Meskipun telah terbukti bahwa puasa memiliki nilai yang tinggi dan manfaatnya bagi kehidupan seseorang, namun masih saja ada orang yang salah mengerti mengenai makna puasa. Ada yang berpendapat bahwa puasa hanya sebatas menahan diri dari lapar dan haus, sedangkan perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan hati nurani, semangat, dan hakikat puasa diabaikan. Bagi mereka hanya akan memperoleh lapar dan haus, tidak akan dapat memetik hikmah dari puasa yang dijalaninya, sebagaimana diingatkan oleh Nabi Muhammad saw:

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالْعَطْشُ، وَ رُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهْرُ.

"Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa selain lapar dan dahaga, dan betapa banyak orang yang bangun malam (tahajud) tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa selain berjaga".[5]

BAB III

TAKHRIJ HADITS

A. Matan Hadits.

سَافِرُوا تَصِحُْوا وَصُوْمُوا تَصِحُّوا واغْزُوا تَغْنَمُوا

"Safarlah kalian (niscaya) akan sehat, puasalah kalian (niscaya) akan sehat, berperanglah (niscaya) kalian akan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang)".[6]

B. Takhrij Hadits [7]

Hadits di atas "Berpuasalah niscaya akan sehat", diriwsayatkan oleh:

1. Ibnu ‘Adi dalam al Kamil (7/ 2521) dari jalur transmisi Nahsyal ibn Sa‘id dari al Dhahhak ibn dari Ibnu Abbas.

2. al Thabrani dalam al Ausath (1/Qaf, 69/ Alif-Majma‘ al Bahraini)

3. Abu Nu‘aim dalam "al Thibb al Nabawi"

4. al ‘Iraqi dalam "Takhrij Ahadits al Ihya" (7/87)

5. Ibnu Bukhait dalam Juz-nya-sebagaimana di dalam Syahr al Ihya (7/ 401) dari jalan Muhammad ibn Sulaiman ibn Abi Dawud dari Suhail ibn Abi Shalih dari Abi Hurairah.

C. Skema Transmisi Periwayatan

النبي

ابو هريرة ابن عباس علي بن ابي الطالب ابو عبيدة

سهيل بن ابي صالح الضحاك بن مزاحم ضميرة بن ابي ضميرة ابو عمرو

زهير بن محمد نهشل بن سعيد عبد الله بن ضميرة












محمد بن سليمان حسين بن عيد الله

أحمد بن محمد

إسحاق بن زيد

الطبراني ابو نعيم العقيلي ابن عدي

Hadits dengan lafazh صوموا تصحوا "Berpuasalah kalian (niscaya) akan sehat", memiliki beberapa transmisi periwayatan:

1. - Dari jalur Muhammad ibn Sulaiman ibn Abu Dawud—Zuhair ibn Muhammad Abu al Mundzir al Khurasany—Suhail ibn Abu Shalih—Abu Hurairah.

- Dari Uqaili—Ahmad ibn Muhammad al Nashby—Ishaq ibn Zaid al Khaththaby—Muhammad ibn Sulaiman ibn Abu Dawud—Zuhair ibn Muhammad Abu al Mundzir al Khurasani—Suhail ibn Abu Shalih—Abu Hurairah.

al Thabrani berkata setelah menyebutkan hadits ini, "Tidak meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ini kecuali Zuhair".

Pernyataan ini sebagai isyarat yang sangat halus dari al Thabrani untuk menunjukkan adanya kelemahan pada hadits ini. Dan memang demikianlah adanya, Zuhair ibn Muhammad walaupun ia seorang rawi tsiqah akan tetapi riwayat orang-orang dari negeri Syam darinya adalah riwayat yang lemah. Sementara hadits ini termasuk riwayat orang Syam darinya.

Dan ada jalan lain yang serupa dengan jalan Muhammad ibn Abu Dawud, diriwayatkan oleh Uqaili dalam al Dhu'afa jilid 1 hal. 92 beliau berkata: "Menceritakan kepada kami Ahmad ibn Muhammad al Nashiby beliau berkata menceritakan kepada kami Ishaq ibn Zaid al Khaththaby beliau berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Sulaiman beliau berkata menceritakan kepada kami Zuhair ibn Muhammad Abu al Mundzir berkata menceritakan kepada kami Suhail ibn Abe Shalih dari Abu Hurairah.

Berkata al Uqaily: "Tidak ada yang mendukungnya kecuali dari jalan lemah".

Oleh al Thabrani bahwa Ahmad ibn Muhammad al Nashiby, Ishaq ibn Zaid al Khaththaby dan Muhammad ibn Sulaiman tidak bisa ditentukan siapa mereka saat ini tapi perkataan al Uqaily di atas sudah cukup menunjukkan lemahnya hadits ini.

  1. Dari jalur Nahsyal ibn Sa‘idal Dhahhak ibn Muzahim—Ibnu Abbas.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam al Kamil fi Dhu'afa al Rijal, beliau berkata setelah membawakan beberapa hadits lain dari jalan Nahsyal: hadist-hadits ini semuanya dari al Dhahhak ghairu mhfuzhah (tidak terjaga) dan Nahsyal meriwayatkannya dari al Dhahhak.

  1. Dari jalur Husain ibn Abdullah ibn Dhumairah ibn Abu Dhumairah al Himyary al Madany—Ayahnya (Abdullah ibn Dhumairah)—Kakeknya (Dhumairah ibn Dhumairah al Himyary).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam Kamil fi Dhu'afa al Rijal, dikatakan bahwa Husain ibn Abdullah ibn Dhumairah matrukul hadits bahkan sebagian para ulama menganggapnya sebagai pendusta dan tidak diketahui siapa ayah dan kakeknya, maka jalan ini juga jalan yang lemah.

  1. Dari jalur Abu Amr al Rabi' ibn Habib al Azdy—Abu Ubaidah Muslim ibn Karimah al Tamimi.

Dikatakan bahwa Abu Ubaidah Muslim ibn Abu Karimah al tamimi majhul (tidak dikenal) kemudian sanadnya mursal.

BAB IV

KRITIK HADITS

A. Krtik Sanad

Untuk kritik sanad hadits ini dinukil hadits yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam al Kamil fi Dhu'afa al Rijal, yaitu dari jalur Nahsyal ibn Sa‘idal Dhahhak ibn Muzahim—Ibnu Abbas dengan redaksi hadits sebagai berikut [8]:

سَافِرُوا تَصِحُْوا وَصُوْمُوا تَصِحُّوا واغْزُوا تَغْنَمُوا

"Safarlah kalian (niscaya) akan sehat, puasalah kalian (niscaya) akan sehat, berperanglah (niscaya) kalian akan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang)".

1. Ketersambungan Sanad (Ittishal As Sanad)

Hadits yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam al Kamil-nya memiliki sanad yang bersambung sampai ke Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan transmisi periwayatan dari Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan—al Dhahhak ibn Muzahim—Ibnu Abbas --Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam.

Hadist ini menurut al Thayalusi dan al Bani sanadnya terputus pada al Dhahhak ibn Muzahim karena ia tidak mendengar dari Ibnu Abbas.[9]

2. Keadilan Perawi (Adalat Ar Ruwat)

Dalam hadits ini terdapat perawi yang bermasalah yang dinilai oleh Ishaq ibn Rahawiyah, bahwa Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan adalah seorang pendusta (kadzab)

3. Kompetensi Intelektual (Dhabt Ar Ruwat)

Dari segi kedhabitan para perawi hadits ini tidak terdapat perawi yang bermasalah dalam hal ingatan maupun hafalan.

4. Pertentangan dengan Perawi Tsiqah (Syad)

Hadits ini tidak menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan dengan perawi tsiqat. Hanya saja terdapat kecacatan pada perawinya seperti Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan dan al Dhahhak ibn Muhazim

5. Kecacatan (Illat)

Hadits ini memiliki jalur periwayatan yang di dalamnya terdapat dua orang perawi yang cacat ('ilat):

1) Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan[10]

Ishaq ibn Rahawiyah berkata: ia seorang pendusta (Kadzab)

Abu Hatim berkata: ia matruk

Al Nasa'i berkata: ia matruk

Yahya berkata: ia dha'if

Al Daruquthni: ia dha'if

2) Al Dhahhak ibn Muzahim (w. 105 H)

Al Thayalusi berkata: ia belum bertemu Ibn Abbas

Yahya ibn Sa'id berkata: ia dha'if indana

Al Bani berkata: ia tidak mendengar dari Ibnu Abbas

B. Kritik Matan

1. Bertentangan dengan Teks Al Qur'an yang Sharih

Di dalam uraian sebelumnya telah di bahas mengenai hikmah disyariatkannya puasa bagi umat Islam untuk mencapai derajat mutaqin, namun disamping itu ada hikmah lain yang dapat dipahami bahwa Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan dan juga dianjurkan (disunahkan) melaksankan puasa pada waktu-waktu yang lain, seperti hari Senin dan Kamis, serta hari Arafah. Dan hal ini mengisyaratkan bahwa di balik ibadah puasa tersembunyi mutiara hikmah bagi kesehatan manusia.

Dalam al Qur’an Allah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk menjalankan puasa selama satu bulan penuh, yaitu pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya Q.S. al Baqarah (2): 183-184:

$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÑÌÈ $YB$­ƒr& ;NºyŠrß÷è¨B 4 `yJsù šc%x. Nä3ZÏB $³ÒƒÍ£D ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$­ƒr& tyzé& 4 n?tãur šúïÏ%©!$# ¼çmtRqà)ÏÜム×ptƒôÏù ãP$yèsÛ &ûüÅ3ó¡ÏB ( `yJsù tí§qsÜs? #ZŽöyz uqßgsù ׎öyz ¼ã&©! 4 br&ur (#qãBqÝÁs? ׎öyz öNà6©9 ( bÎ) óOçFZä. tbqßJn=÷ès? ÇÊÑÍÈ

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui."

2. Bertentangan dengan Teks Hadits yang Sahih

Umat Islam juga dianjurkan (disunahkan) melaksanakan puasa pada waktu-waktu yang lain selain bulan Ramadhan, seperti hari Senin dan Kamis, puasa Arafah dan lain sebagainya.

Adapun hadits Nabi Muhammad terkait dengan puasa sunah yaitu:[11]

a. Puasa Senin dan Kamis.

أنّ رسول الله -صلّى الله عليه وسلّم- سئل عن صوم الإثنين فقال: ذلك يوم ولدت فيه ويوم بعثت -أو أنزل عليّ- قيه.

"Rasulullah saw, ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab, "Itu adalah hari ketika saya dilahirkan dan awal saya menerima wahyu." (HR. Muslim)[12]

b. Puasa enam hari Syawal.

من صام رمضان ثمّ أتبعه ستّا من شوّال قكأنّما صام الدهر.

"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian ia iringi dengan (puasa) enam (hari) di bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa setahun." (HR. Muslim: 1164, Abu Dawud: 2433, al Timizi: 759, Ibnu Majah: 1716)

c. Puasa tanggal sembilan Dzulhijah dan hari Arafah.

أنّه صلّى الله عليه وسلم قال: صيام يوم عرفة إنّي أحتسب على الله تعالى أن يكفّر السنة التي بعده والسنة التي فبله.

"Beliau bersabda, "Puasa hari Arafah, saya berharap kepada Allah, dapat menghapus dosa setahun sesudahnya dan setahun sebelumnya". (HR. al Tirmizi)

d. Puasa hari Asyura dan Tasu‘a

صوم يوم عرفة يكفّر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفّر سنة ماضية.

"Puasa sehari di Arafah dapat menghapus (dosa dua tahun), yang lalu dan yang akan datang dan puasa sehari di hari Asyura menghapus (dosa) setahun".[13]

فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع قال: فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله –صلّى الله عليه وسلّم.

"Jika datang tahun depan, insya Allah kita puasa hari kesemmbilan. Selanjutnya Ibnu Abbas berkata, Tahun berikutnya tidaklah datang kecuali setelah Rasuluggah saw." (HR. Muslim dan Abu Dawud)

e. Puasa tiga hari setiap bulan

من صام من كلّ شهر ثلاثة أيام فذالك صيام الدهر

"Barangsiapa berpuasa tiga hari setiap bulan, itulah puasa setahun."[14]

من كان منكم صائما من الشهر ثلاثة أيام فليصم الثلاث البيض

"Barangsiapa di antara kalian berpuasa tiga hari dalam satu bulan, maka puasalah di tiga hari putih."[15]

3. Bertentangan dengan Akal

Konteks hadits "Bepuasalah kamu, niscaya kamu akan sehat", secara logika tidak bertentangan dengan akal sehat karena mengisyaratkan bahwa puasa merupakan ibadah yang tersirat di dalamnya mutiara hikmah bagi kesehatan manusia. Tentu saja sehat yang di maksud adalah sehat jasmani, rohani, penyembuhan penyakit dan sosial secara keseluruhan.[16]

4. Bertentangan dengan IPTEK

Pengaruh puasa sendiri terhadap kesehatan sangat baik, karena bukan hanya terhadap kesehatan jasmani dan rohani tapi juga berpengaruh terhadap penyembuhan penyakit.

a. Pengaruh puasa terhadap kesehatan jasmani

Tubuh manusia dibekali kemampuan terapi alamiah. Dalam keadaan tubuh tidak kemasukan sebutir nasi pun, manusia tetap masih mempunyai cadangan energi yang disebut glikogen. Cadangan yang didapat dari karbihidrat ini dapat bertahan selama 25 jam. Dengan demikian, mereka yang menjalankan puasa tidak perlu khawatir menjadi sakit karena tubuh mempunyai mekanisme alamiah untuk mempertahankan dirinya. Bahkan, dengan berhimpunnya 600 miliar sel selama seorang berpuasa, daya tahan tubuh seseorang akan semakin tangguh.

Pengaruh mekanisme puasa terhadap kesehatan jasmani meliputi berbagai aspek, yaitu aspek perlindungan, pencegahan, dan pengobatan. Adapun beberapa pengaruh puasa di antaranya:

Adapun pengaruh puasa terhadap kesehatan jasmani di antaranya:

- Memberikan kesempatan istirahat kepada alat pencernaan

- Membuat kulit lebih sehat dan berseri

- Menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh

- Memperbaiki fungsi hormone

- Meningkatkan fungsi organ reproduksi

- Meremajakan sel-sel tubuh

- Meningkatkan fungsi organ tubuh

- Meningkatkan fungsi susunang kandung kemih.n saraf pusat

b. Pengaruh puasa terhadap penyembuhan penyakit

Salah satu hikmah yang berhasil ditemukan oleh pakar ahli kesehatan adalah efek puasa terhadap penyembuhan penyakit.

Berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan, puasa tidak hanya memberikan efek kesehatan pada tubuh, tetapi juga dapat membantu usaha penyembuhan penyakit, antara lain: stroke, pengerasan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, tekanan darah rendah, diabetes, kanker hati, kanker radang tenggorokan, radang hidung, radang amandel dan rad

c. Pengaruh puasa terhadap kesehatan rohani

Selain bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan mengatasi berbagai penyakit, puasa juga melatih rohani atau jiwa menusia agar menjadi lebih baik. Temuan terakhir dunia kedokteran jiwa membuktikan bahwa puasa dapat meningkatkan derajat perasaan atau Emotional Quotient (EQ) manusia. Secara psikologis manusia tidak hanya diukur atau dinilai dari derajat kecerdasan atau Intelligence Quotient (IQ)-nya, tetapi juga diukur dari EQ-nya. EQ berpengaruh dalam pembentukan sifat-sifat seseorang, antara lain, sifat dermawan, santun terhadap fakir miskin, sabar (mampu mengendalikan nafsu), rela berkorban, kasih sayang dan rasa kepedulian. Sedangkan IQ berpengaruh pada bertambahnya rasa percaya diri dan meningkatnya daya ingat serta daya nalar seseorang.

5. Bertentangan dengan Fakta Sejarah.

Di kalangan ahli kesehatan, puasa telah menjadi lapangan penelitian tersendiri. Selama 36 tahun, Prof. H. M. Herlambang Wijayakusuma mencoba menelusuri rahasia puasa, dengan mengunjungi lembaga penelitian di berbagai Negara, seperti Jepang, Korea, Perancis, China, Taiwan dan Amerika Serikat. Di mana diteliti srcara lansung sanatorium puasa yang dijadikan tempat pengobatan dan terapi kesehatan. Dari berbagai kunjungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata puasa bukan saja merupakan ajang pelatihan mental dan spiritual, melainkan juga menjadi medium penyehatan fisik. Kesimpulan lain adalah bahwa berpuasa ternyata telah menjadi tradisi serta kecenderungan yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup di Negara-negara maju dan modern, di Negara-negara yang kebutuhan pangannya sudah tercukupi, bahkan berlebih.[17]

Bagi orang yang salah memahaminya, kemodernan dapat melahirkan ketidakseimbangan kepribadian. Oleh karena itu, agar kemodernan tidak berdampak negatif, disyaratkan adanya keseimbangan antara kehidupan jasmani, kehidupan rohani, dan kehidupan social. Bagi seorang muslim yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, ketiga kehidupan tersebut dapat diseimbangkan dengan cara melaksanakan empat pilar rukun Islam yang lain, yaitu shalat, zakat, puasa, dan berhaji.

Dalam suatu riset juga telah dibuktikan behwa puasa bisa mensegah berbagai macam penyakit sebagai berikut;

Pertama, peningkatan fungsi liver. Dari hasil riset Wahjoetomo (1997) ditemukan bahwa dengan puasa terjadi peningkatan fungsi liver atau semankin membaiknya fungsi liver. Hal tersebut digambarkan dengan penurunan SGOT dan SGPT. Setelah glikogen habis, maka hati meruntuhkan lemak. Pada mulanya kegiatan membuat empedu bertambah, tapi kemudian berkurang.

Kedua, penurunan kadar gula. Pada orang yang berpuasa, kadar gulanya akan semakin turun. Dari penelitian klinis (M. Thalib, 1999) terhadap 13 orang sukarelawan, rata-rata kadar gula responden sebelum puasa 84 mg/ml berhasil turun sampai 72 mg/ml (angka ini merupakan batas minimal dan dianggap normal). Laporan riset itu diperkuat hasil studi Nomani (1989).

Ketiga, kecenderungan perubahan tekanan darah. Menurut hasil riset Wahjoetomo (1994) maupun (Thalib, M. 1999), tingkat motivasi dan beban yang dirasakan terhadap puasa Ramadhan tidak memberikan perbedaan pada perubahan tekanan darah. Pengendalian tekanan darah dalam tubuh manusia sangat kuat sehingga jika tidak ada gangguan yang ekstrem, tekanan darah akan dipertahankan dalam keadaan stabil. Hasil riset keduanya diperkuat penelitian Dr. George Yhamphy dari Universitas of Indian, di mana dari 60 subyek sehat yang melakukan puasa yang terkendali selama tiga minggu ditemukan tekanan darah yang tinggi berubah menjadi normal.

Keempat, memblokir makanan untuk bakteri, virus, dan sel kanker. Dalam tubuh manusia terdapat parasit-parasit yang menumpang hidup, termasuk menumpang makan dan minum.

BAB V

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan terkait dengan kritik sanad hadits tersebut adalah:

  1. Sanadnya bersambung, sebab masing-masing rawi yang meriwayatkan hadits tersebut telah mendengar haditsnya dari syaikh (guru)nya hal ini dinilai oleh Ibnu Adi dalam al Kamil fi Dhu'afa al Rijal. Namun dinilai oleh al Bani sanad hadits ini terputus karena perawi yang bernama al Dhahhak ibn Muzahim tidak mendengar dari Ibnu Abbas.
  2. Parwinya ada yang bermasalah pada Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan bahwa ia seorang pendusta (kadzab) seperti yang telah dinilai oleh ulama ahli hadits pada uraian sebelumnya.
  3. Perawinya dhabit, tidak ada masalah dalam hal ingatan dan hafalan para perawi terutama Nahsyal ibn Sa'id dan al Dhahhak ibn Muhazim.
  4. Hadits ini tidak menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan dengan perawi tsiqat. Hanya saja terdapat kecacatan pada perawinya seperti Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan dan al Dhahhak ibn Muhazim
  5. Hadits ini terdapat dua kecacatan, yaitu

- Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan

Ishaq ibn Rahawiyah berkata: ia seorang pendusta (Kadzab)

Abu Hatim berkata: ia matruk

Al Nasa'i berkata: ia matruk

Yahya berkata: ia dha'if

Al Daruquthni: ia dha'if

- Al Dhahhak ibn Muzahim (w. 105 H)

Al Thayalusi berkata: ia belum bertemu Ibn Abbas

Yahya ibn Sa'id berkata: ia dha'if indana

Al Bani berkata: ia tidak mendengar dari Ibnu Abbas

Adapun dari segi kritik matan hadits shalat tasbih tidak bertentangan dengan nash al Qur'an yang sharih, nash hadits yang shahih, akal, ilmu dan teknologi atau fakta sejarah, dengan kata lain pesan dari hadits tersebut dapat diterima atau "Shahih"

Telah diketahui, bahwa hadits ini memiliki dua kecacatan perawi di mana Nahsyal ibn Sa'id oleh Ishaq ibn Rahawiyah dinilai bahwa ia seorang pendusta Abu Hatim dan al Nasa'i menilai matruk dan al Daruquthi menilai dha'if. Sedangkan dan al Dhahhak ibn Muhazim dinilai oleh al Bani bahwa ia tidak bertemu dengan Ibnu Abbas juga dinilai dha'if oleh Yahya ibn Sa'id Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hadits tersebut memiliki derajat kualitas "Maudhu' (palsu)" karena salah seorang perawinya pendusta yaitu Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan. Wallahu A'lam bi Shawwab

DAFTAR PUSTAKA

Al Bani, nashiruddin, Silsilah Ahadits al Dha'ifah, (t.tp: t.p, t.tt), J. 1.

Al Dzahabi, Utsman, Muhammad ibn Ahmad, Mizan al I'tidal fi Naqd al Rijal, (t.tp: Dar al Fikr, t.tt), J. IV.

Al Tirmizi, Sunan al Tirmizi, (Beirut: Dar Ihya al Tiraz al ‘Arabi, t.tt), J. III.

Ibnu ‘Adi, Abu Ahmad Abdullah, al Kamil fi Dhu‘afa’ al Rijal, (t.tp: Dar al Fikr, t.tt), J. V, cet. 3.

Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad al Imam Ahmad ibn Hanbal, (t.tp: Muasas al Risalah, 1999 H/1420 H), J. 14, cet. 2.

Ibn Khuzaimah, ibn Ishaq, Muhammad, Shahih Ibn Khuzaimah, (Beirut: al Maktab al Islami, 1970 M/ 1390 H), J. 3.

Ibnu Hiban, Shahih Kunuz al Sunah al Nabawiah, (t.tp: tp, t.tt), J. I.

al Nawawi dalam kitab Riyadh al Shalihin, (t.tp: t.p, t.tt)juz. II, h. 79.

Bahannan, Hannan Hoesin, dkk, Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, (Tegal: Maktabah Salafy Press, 1423 H/ 2002 H), cet. 1.

Qardhawi, Yusuf, Fiqih Puasa, (Surakarta: Era Intermedia, 2001), cet. 3.

Wijayakusuma, H. M, Hembing, Prof, Puasa Itu Sehat: Manfaat Puasa bagi Kesehatan dan Resep-resep Hidangan Sahur dan Berbuka Puasa yang Berkhasiat Obat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997).



[1] Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa, (Surakarta: Era Intermedia, 2001), cet. 3, h. 18.

[2] Ibid.

[3] Ibid., h. 22-28.

[4] Prof. H. M. Hembing Wijayakusuma, Puasa Itu Sehat: Manfaat Puasa bagi Kesehatan dan Resep-resep Hidangan Sahur dan Berbuka Puasa yang Berkhasiat Obat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. xiii-xiv.

[5] Ahmad ibn Hanbal, Musnad al Imam Ahmad ibn Hanbal, (t.tp: Muasas al Risalah, 1999 H/1420 H), J. 14, cet. 2, h. 445. Muhammad ibn Ishaq ibn Khuzaimah, Shahih Ibn Khuzaimah, (Beirut: al Maktab al Islami, 1970 M/ 1390 H), J. 3, h. 242

[6] Ibnu ‘Adi, al Kamil fi Dhu‘afa’ al Rijal, (t.tp: Dar al Fikr, t.tt), J. V, cet. 3, h. 56.

[7] Hannan Hoesin Bahannan, dkk, Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, (Tegal: Maktabah Salafy Press, 1423 H/ 2002 H), cet. 1, h. 145-146.

[8] Ibnu ‘Adi, op.cit., h. 56.

[9] Al Bani, Silsilah Ahadits al Dha'ifah, (t.tp: t.p, t.tt), J. 1, h. 421.

[10] Al Dzahabi, Mizan al I'tidal fi Naqd al Rijal, (t.tp: Dar al Fikr, t.tt), J. IV, h. 275.

[11] Yusuf Qardhawi, op.cit., h. 180-199.

[12] Lihat Imam al Nawawi dalam kitab Riyadh al Shalihin, (t.tp: t.p, t.tt)juz. II, h. 79.

[13] Ibnu Hiban, Shahih Kunuz al Sunah al Nabawiah, (t.tp: tp, t.tt), J. I, h. 37.

[14] Al Tirmizi, Sunan al Tirmizi, (Beirut: Dar Ihya al Tiraz al ‘Arabi, t.tt), J. III, h. 135.

[15] Ahmad ibn Hanbal, Musnad al Imam Ahmad ibn Hanbal, (t.tp: Muasasah al Risalah, 1999 H/ 1420 H), cet. 2, h. 280.

[16] Prof. H. M. Hembing Wijayakusuma, op.cit., h. 1.

[17] Prof. H. M. Hembing Wijayakusuma, loc.cit., h. xiv