Jumat, 09 Juli 2010

mushaf sultan ternate

mushaf sultan ternate

mushaf masjid tua kaitetu, maluku

Mushaf Sultan Ternate


Mushaf Kuno Nusantara

Mengapa kajian mushaf perlu dilakukan?
Kebanyakan peneliti mengkaji teks (filologi), dan sedikit yang mengkaji fisik naskah (kodikologi: mengkaji antara lain tulisan/kaligrafi, hiasan/iluminasi, desain/perwajahan, jilidan, tinta, perdagangan naskah, dll)
Peneliti naskah kebanyakan meneliti teks-teks sastra (termasuk sastra kitab).
Banyak peneliti apriori karena teks Al-Qur’an sama, sehingga tidak perlu dibandingkan.
Seni mushaf merupakan bagian dari seni rupa Islam Indonesia (masih kurang dikaji).
Mushaf adalah naskah yang beriluminasi paling indah, selain surat raja-raja Nusantara.
Perguruan-perguruan tinggi Al-Qur’an (PTIQ, IIQ, dll) belum banyak yang meneliti mushaf-mushaf kuno.
Ada mata rantai yang hilang dalam kajian/penulisan sejarah Al-Qur’an. Kebanyakan berhenti pada masa Sahabat.
Sejarah Al-Qur’an di Nusantara/Indonesia belum ditulis.

Jumlah Mushaf Nusantara
Di Indonesia paling kurang 337 mushaf (koleksi museum, masjid, pesantren dan perorangan - yang diketahui).

Luar Negeri: 374 mushaf. [Malaysia 300; Inggris 11; Belanda 32 (+ 41 dgn jilidan terpisah); Prancis 5; Jerman 1; Australia 20]

Mushaf Tertua Nusantara?
Beberapa klaim:
Masjid Agung Banten 1553
Masjid Tua Kaitetu, Hila, Maluku 1550; Nur Cahya 1590
Ternate 1005/1050 H (1596/1641)

Di antara Mushaf tertua:
- Gallop: Perpustakaan SOAS: Jumadil Awal 993 H (1585) koleksi William Marsden.
- Riddle: Di Belanda, diperoleh di Johor pada 1606 (kolofon berbahasa Jawa) – dimuat di Jurnal Indonesia and The Malay World, London.
- Koleksi M Zen Usman, Singaraja, Bali 1035 H (1625).
PNRI: Sya’ban 1143 H (1731)

Mushaf Sultan Ternate:
Telah tersebar luas dalam tulisan ilmiah sebagai mushaf tertua di Nusantara. Namun di catatan wakaf di halaman depan tertera 9 Zulhijah 1185 M (Sabtu, 14 Maret 1772), ditulis oleh Haji Abdul Alim bin Abdul Hamid.

Mushaf koleksi pribadi Bpk M Zen Usman, Singaraja, Bali. Tertanggal Kamis, 21 Muharram 1035 H (23 Oktober 1625 M). Ditulis oleh Abd as-Sufi ad-Din. Bahan kertas dluwang (kulit kayu).

Jenis-jenis Mushaf
- Manuskrip
- Litografi/cetak batu
- Cetak offset/modern

Aspek-aspek Kajian Mushaf
- Teks/Nas (rasm, tanda tajwid, qiraat)
- Kaligrafi (teks dan gaya)
- Iluminasi (awal, tengah dan akhir mushaf; setiap hlm – mushaf Kraton Yogya)
- Jilidan (hiasan cover dan model jilidan dan jahitan). Jumlah jilid (3, 10, 30 jilid - berdasarkan juz)

Kajian Kaligrafi dalam Mushaf
Macam Teks
Teks Qur’an
Kepala surah
Teks pinggir hlm [qiraat, tanda juz dll],
Doa, kolofon dan teks tambahan lain.

Gaya Kaligrafi
Kaligrafi floral
Pilinan khas Jawa
Naskhi Banten
Sulsel

Kajian Iluminasi dalam Mushaf
- Awal (Surah al-Fatihah dan awal Surah al-Baqarah)
- Tengah (awal S. al-Isra, awal S al-Kahfi, atau awal juz ke-16)
- Akhir (S. al-Falaq dan an-Nas)
Iluminasi bisa di seluruh halaman (mushaf di Museum Kraton Yogya, dibuat di Surakarta; Mushaf Istiqlal dll).
- Gaya khas: Aceh, Bugis-Makassar, Jawa (sebagian), Lombok

Kamis, 11 Maret 2010

sistematika penyusunan laporan

1. Halaman Judul

2. Abstrak
Secara Teoritis, abstraksi abstrak (gambaran) dari temuan penelitian yang bersifat konkrit yang dituliskan secara singkat, namun demikian kebanyakan abstrak berisi tentang ringkasan penelitian.
Terdiri dari 4 alinea yang berisi ; tujuan penelitian, metodologi penelitian, temuan penelitian dan saran atau rekomendasi.
Abstrak pada umumnya di tulis dalam 1 halaman (1 spasi)

3. Daftar Isi

Bab I. Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
C. Metodologi Penelitian
D. Tujuan Penelitian
E. Hasil atau Kegunaan Penelitian
F. Sistematika Penelitian

Bab II. Deskripsi Teoritis (Variabel I)

Bab III. Deskripsi Teoritis (Variabel II)

Bab IV. Temuan Penelitian dan Pembahasan (Variabel I dan Variabel II)
A. Temuan Penelitian
B. Pembahasan

Bab V. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
B. Saran

C. Daftar Pustaka

D. Lampiran-Lampiran

E. Daftar Riwayat Hidup

NASIKH MANSUKH MENURUT AHMAD HASSAN

NASIKH MANSUKH MENURUT AHMAD HASSAN
(Studi Atas Karakteristik Penafsiran Kitab Al-Furqan)


A. Mengenal Ahmad Hassan

1. Riwayat Hidup
Nama Ahmad Hassan yang sebenarnya adalah Hassan bin Ahmad. Akan tetapi, berdasarkan kelaziman penulisan nama keturunan India di Singapura, yang menuliskan nama orang tua (ayah) di depannya, maka Hassan bin Ahmad lebih dikenal dengan panggilan Ahmad Hassan-untuk selanjutnya disebut dengan Ahmad Hassan. Dia lahir di Singapura pada tahun 1887, berasal dari keluarga campuran Indonesia dan India. Ayahnya bernama Ahmad, juga bernama Sinna Vappu Maricar, seorang penulis yang cukup ahli dalam bidang agama Islam dan kesusastraan Tamil. Ahmad pernah menjadi redaktur majalah Nur al-Islam (sebuah majalah dan sastra Tamil), di samping sebagai penulis beberapa kitab berbahasa Tamil dan beberapa terjemahan dari bahasa Arab. Ahmad sering pula berdebat mengenai bahasa dab agama. Dalam surat kabar yang dikelolanya, ia bahkan menyediakan kolom tanya jawab. Adapun ibu Ahmad Hassan bernama Muznah, berasal dari Pelekat Madras tetapi lahir di Surabaya. Ahmad dan Muznah menikah di Surabaya ketika Ahmad berdagang di kota itu. Mereka kemudian menetap di Singapura.
Sepanjang hidupnya, Hassan mempunyai seorang istri, Maryam, yang dinikahinya di Singapura pada tahun 1911. Maryam adalah seorang peranakan Tamil-Melayu, dari keluarga yang taat pada agama. Dari pernikahan ini, pasangan Hassan Maryam punya 7 anak, satu di antaranya, Abdul Qadir Hassan, yang juga penerus ayahnya. Pada tahun 1940, Hassan pindah ke Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, mendirikan dan mengasuh Pondok Pesantren Persis. Pada 10 November 1958, Hassan menghadap kepada-Nya.

2. Karir Intelektual
Ibarat pepatah,”Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.” Begitu pula dengan Hassan, rupanya juga mewarisi tradisi intelektual ayahnya. Sejak usia 7 tahun, Hassan sudah belajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Lalu masuk sekolah Melayu, dan belajar bahasa Melayu, Arab, Inggris, dan Tamil. Dengan ilmu itulah Hassan secara otodidak memperdalam agama, seperti Fara’id, Fiqh, Mantiq, Tafsir, dan lain-lainnya.
Secara formal, Hassan tak pernah benar-benar menamatkan pelajarannya di sekolah dasar yang di tempuhnya di Singapura itu. Soalnya, di usia 12 tahun, Hassan sudah ikut berdagang, menjaga toko milik iparnya, Sulaiman. Sambil berdagang, Hassan memperdalam ilmu agamanya pada Haji Ahmad di Bukittiung dan Muhammad Thaib di Minto Road untuk belajar ilmu Nahwu dan Sharaf.
Ketika usianya masih remaja, Hassan sudah mencari nafkah, dari pelayan toko sampai membuka vulkanisir ban. Setelah ilmunya dirasa cukup, pada tahun 1910, Hassan mengajar di Madrasah, dari tingkat Ibtidaiyah sampai Tsanawiyah.
Pada tahun 1912, Hassan bekerja di Utusan Melayu yang diterbitkan oleh Singapore Press. Hassan menulis artikel yang berisikan nasihat nasihat, mengajak kepada kebaikan, dan menjauhi kemungkaran. Tidak jarang, Hassan menulis dalam bentuk puisi yang cukup menggelitik dan menyentuh. Selain itu, Hassan juga sering ikut aktivitas di Persis (organisasi yang didirikan oleh Muhammad Yunus), dan secara resmi menjadi anggota, tahun 1926.
Hassan masuk Persis tatkala ormas Islam ini berusia 3 tahun. Dan rupanya, ia segera popular di kalangan kaum muda yang progresif. Tahun-tahun berikutnya, Hassan identik dengan Persis, begitu pula Persis, identik dengan Hassan.
Selain sezaman dengan Faqih Hasyim (seorang pedagang dan sekaligus pendakwah yang berasal dari Padang), Hassan juga sezaman dengan Muhammad Yunus (pendiri Persis), Ustadz Munawar Chalil (Semarang), Ustadz K.H. Imam Ghazali (Jamsaren Solo), Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy (Yogyakarta), K.H.M. Ma’shum (Yogyakarta), Ustadz Abdullah Ahmad (Jakarta), Ustadz M. Ali Hamidy (Jakarta), Ustadz Abdul Hakim, dan Ustadz H. Zainuddin Hamidy (Minangkabau).
Di antara murid-muridnya antara lain Muhammad Natsir (seorang ulama politikus), K.H.M. Isa Anshary (pernah menjadi Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis, Ketua Umum Masyumi Jawa Barat dan anggota DPP Masyumi), Ustadz K.H.E.Abdurrahman (pemimpin Pesantren Persis Bandung, Ketua Umum Pusat Pimpinan Persis 1962-1983 dan pengasuh majalah At-Taqwa dan Risalah), K.H.E. Qamaruddin Shaleh (pensyarah dan pernah menjadi Wakil Ketua Pusat Pimpinan Persis), K.H.M. Rusyad Nurdin (pensyarah di beberapa perguruan tinggi, ulama terkenal, dan pernah menjadi Wakil Ketua Pusat Pimpinan Persis dan Ketua DDII perwakilan Jawa Barat) dan Fakhroeddin Al-Khahiri (cendekiawan muslim). Bahkan Soekarno sendiri mengakui bahwa Ahmad Hassan adalah guru spiritualnya.

3. Karya-karyanya yang lain
Pengajaran Shalat, Pengajaran Shalat, Kitab Talqin, Risalah Jumat, Debat Riba, Al-Mukhatar, Soal Jawab, Al-Burhan, Debat Talqin, Kitab Riba, Risalah Ahmadiyah, Pepatah, Debat Luar Biasa, Debat Taqlid, A.B.C Politik, Merebut Kekuasaan, Kamus Persamaan, Al-Hikam, Al-Madzhab, At-Tauhid, Dosa-dosa Yesus, Al-Jawahir dan masih banyak buku-bukunya yang lain.





B. Mengenal Kitab Tafsir Al-Furqan

1. Indonesia pada saat penulisan
Secara spesifik, tafsir ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1928, tahun diikrarkannya sumpah pemuda oleh para pemuda Indonesia. Ketika untuk yang kedua kalinya tafsir ini diterbitkan, tepatnya pada tahun 1941, Indonesia sudah mendekati kemerdekaannya. Dan penulisan tafsir ini telah rampung dari Juz 1 sampai juz 30, ketika Indonesia sudah menikmati kemerdekaannya tepatnya pada tahun 1956.

2. Proses Penulisan
Tafsir Qur’an al-Furqan ini adalah karya besar dan penting yang dimiliki oleh (Alm.) Ahmad Hassan. Penulisan tafsir yang merupakan langkah pertama dalam sejarah penerjemahan al-Qur’an ke dalam bahasa Indonesia itu berlangsung dalam kurun waktu 1920-1950-an. Bagian pertama tafsir itu diterbitkan pada tahun1928. edisi pertama itu mungkin belum seperti yang diharapkan, karena baru dapat memenuhi sebagian ilmu yang diperlukan oleh umat Islam di Indonesia. Untuk memenuhi desakan sejumlah anggota Persatuan Islam (Persis), edisi kedua tafsir itu dapat diterbitkan tahun 1941, namun hanya sampai surat Maryam. Selanjutnya, atas bantuan seorang pengusaha yaitu Sa’ad Nabhan, pada tahun 1953 barulah proses penulisannya dilanjutkan kembali, hingga akhirnya tulisan tafsir al-Furqan secara keseluruhan (30 juz) dapat diterbitkan pada tahun 1956. oleh karena tafsir itu ditulis pada masa yang telah lampau, maka bahasa Indonesia yang digunakan pun tentunta tidak seperti bahasa Indonesia yang ada dan dipahami pada masa sekarang ini. Karena itulah kami memandang perlunya langkah revisi dan penyuntingan terhadap karya tersebut.




3. Sekilas tentang Tafsir Al-Furqan
Ahmad Hassan, salah seorang tokoh pembaharu Islam dio awal abad ke-20, menulis tafsir yang yang diberi nama tafsir al-Furqan. Tokoh Persis ini menulis tafsirnya dari tahun 1920 hingga tahun 1950-an. Beberapa juz yang telah selesai ditafsirkan lalu diterbitkan pertama kali tahun 1928. Atas desakan anggota Persis, ia kembali menerbitkan tafsirnya tahun 1941, tidak lengkap 30 juz hanya sampai surat Maryam. Barulah pada tahun 1956 tafsir al-Furqan diterbitkan lengkap dari juz pertama sampai juz 30. Tahun 2006, tafsir al-Furqan kembali diterbitkan oleh Pustaka Mantiq bekerjasama dengan Universitas al-Azhar dalam satu Jilid.
Dalam menyusun tafsirnya, Ahmad Hassan memulai dengan menuliskan pendahuluan yang terdiri dari 34 pasal. Di dalamnya dijelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan al-Qur’an dan tafsirnya. Di antaranya ia menjelaskan mengenai sejarah al-Qur’an, cara menerjemahkan ayat dalam tafsirnya dan penjelasan mengenai beberapa istilah dalam bidang tafsir.
Uniknya, Tafsir Al-Furqan merupakan gabungan dari terjemahan dan tafsiran yang dilakukan oleh Ahmad Hassan, seorang yang dikenal luas reputasi keilmuannya. Usaha yang serius dan bertanggung jawab yang dilakukannya dalam tafsir ini diakui oleh banyak kalangan sebagai usaha yang berhasil. Bahkan, tidak sedikit orang yang lebih memilih menggunakan tafsir ini untuk mendapatkan terjemahan dan pemahaman Qur’an daripada tafsir dan terjemahan al-Qur’an dalam bahasa Indonesia yang lain.
Jadi, tafsir al-Furqan ini adalah kitab tafsir yang memiliki periode-periode tertentu berkaitan dengan penerbitannya. Baik pra maupun pasca kemerdekaan. Tentunya menjadi keunikan tersendiri ketika sebuah karya ditulis ketika sebuah negara masih belum terbentuk. Apalagi penulisnya adalah seorang pembaharu yang sangat kosen terhadap pemurnian ajaran-ajaran agama Islam.



C. Karakteristik Kitab Tafsir Al-Furqan

1. Kecenderungan Perspektif penafsiran
Untuk melihat seberapa jauh karakteristik sebuah tafsir, dapat dilihat, paling tidak, pada aspek-aspek yang berkaitan dengan gaya bahasa, laun (corak) penafsiran, akurasi dan sumber penafsiran, konsistensi metodologis, sistematika, daya kritis, kecenderungan aliran (mazhab) yang diikuti dan objektivitas penafsirnya.
Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa karya Ahmad Hassan ini adalah gabungan antara terjemahan dan tafsiran. Bahkan, unsur terjemahannya lebih dominan daripada tafsirannya, karena tafsirannya sendiri hanya berupa catatan-catatan kaki (footnote) yang oleh tim penyunting kitab ini kemudian dipindahkan kebagian akhir (endnote). Jadi, corak penafsirannya sendiri lebih cenderung kepada corak kebahasaan. Dengan dua alas an. Pertama, bahwa tafsir ini sampai pada tahap terakhir penerbitannya lebih difokuskan pada penyuntingannya berdasarkan tata bahasa Indonesia yang berlaku terutama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).Kedua, metode penerjemahan dari harfiah ke maknawiah yang diterapkan oleh Ahmad Hassan adalah bukti lain dari corak kebahasaan yang begitu kental dalam tafsir Al-Furqan ini.
Tentang metode penafsirannya, Ahmad Hassan termasuk yang mengikuti aliran (thariqah) tafsir bira’yi. Ini bisa dibuktikan dari sekian banyak endnote yang lebih menonjolkan pemikiran penulis tentang penggalan ayat yang ingin dia jelaskan, termasuk di antaranya ayat 106 dari surat Al-Baqarah yang menjadi contoh tema penafsiran kitab tafsir Al-Furqan dan akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.






2. Sistematika Penyusunan Tafsir al-Furqan
Dalam kaitannya dengan sistematika penyusunan kitab tafsir, perlu diketahui adanya tiga sistematika penyusunan tafsir yang dikenal di kalangan para ahli tafsir: tartib mushafi (urutan ayat dan surat), tartib nuzuli (urutan kronologi turunnya surat-surat), dan tartib maudu’i (urutan sesuai tema).
Tafsir Al-furqan ini menggunakan metode tartib mushafi (urutan ayat dan surat). Jika terdapat ayat yang butuh penjelasan maka Ahmad Hassan memberikan penjelasan pada catatan kaki (yang oleh tim penyunting diletakkan di akhir menjadi endnote).
Penulis tafsir ini mengakui bahwa metode yang digunakannya adalah metode harfiah. Artinya, penulis menerjemahkan kata demi kata dalam al-qur’an ke dalam bahasa Indonesia. Hal itu dilakukan oleh penulis dengan maksud berusaha mempertahankan sepenuhnya nuansa teks asli dalam terjemahannya. Akan tetapi metode itu diakui pula oleh penulisnya tidak menghasilkan terjemahan yang mudah dipahami dan tidak begitu sejalan dengan dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia; dalam beberapa hal, penulis akhirnya menggunakan metode, menurut istilahnya, maknawiah. Oleh karena itu, penyuntingan (terhadap kitab tafsir) ini, dilakukan dengan menggunakan metode penerjemahan yang didasarkan atas teori dan metode penerjemahan ilmiah. Setelah itu, perbaikan atas terjemahan yang dihasilkan dilakukan dengan berpedoman kepada kaidah-kaidah tata bahasa Indonasia. Langkah itu diambil dengan tujuan agar dihasilkan terjemahan yang mudah dipahami tanpa tanpa harus menghilangkan berbagai aspek pemikiran penulis.






D. Pandangan Ahmad Hassan tentang Nasikh dan Mansukh

1. Tafsir Ahmad Hassan atas ayat tentang ayat 106 surat al-Baqarah
Apabila ada suatu keterangan yang menghalalkan sesuatu, kemudian datang keterangan lain yang mengharamkannya, maka ayat yang pertama tadi dinamakan mansukh ‘terhapus’ dan yang kedua dinamakan nasikh ‘yang menghapus’. Kata ayat mempunyai beberapa arti, yaitu ‘tanda’, ‘mukjizat’, ‘keterangan’, ‘hukum’, ‘serangkaian perbuatan’, dan ‘agama’, karena setiap agama mengandung berbagai firman dan keterangan dari Allah.
Simpulan saya Allah tidak menghapus satu ayat (mukjizat) atau Allah membuat manusia lupa akan ayat itu, melainkan Allah menggantikannya dengan ayat (mukjizat) yang lebih baik atau dengan yang sebanding dengannya karena Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.

2. Penjelasan Ahmad Hassan tentang penolakan terhadap Nasikh Mansukh
Jika turun suatu undang-undang tentang suatu urusan yang bertentangan dengan undang-undang yang lama tentang hal itu, maka undang-undang yang lama terhapus. Undang-undang yang baru itu dinamakan nasikh ‘penghapus’ dan yang lama disebut mansukh ‘yang dihapuskan’.
Di dalam al-Qur’an, ada ayat-ayat yang nasikh, yaitu ayat-ayat yang dating menghapus perkara-perkara yang pernah dikerjakan oleh sahabat atas perintah Nabi saw atau sebagai kebiasaan, atau ayat yang mengubah atau membolehkan kebiasaan yang pada awalnya tidak dikerjakan oleh mereka, karena dilarang oleh Nabi saw adapun ayat yang mansukh, tidak satu pun terdapat dalam al-Qur’an.
Memang ada ulama yang beranggapan bahwa ada suatu ayat yang mansukh oleh ayat lainnya. Sebagian ulama yan lain menerangkan bahwa orang yang berpendapat adanya ayat yang mansukh dalam al-Qur’an, tidak lain karena yang bersangkutan melihat adanya pertentangan antara dua ayat dan tidak ada hubungan antara keduanya. Setelah orang tersebut meneliti sejarah turunnya ayat, kemudian menganggap bahwa bahwa ayat yang turun kemudian itu adalah nasikh, dan yang turun lebih dahulu itu mansukh. Di dalam al-Qur’an, tidak ada sedikit pun pernyataan yang menunjukkan adanya ayat yang mansukh dengan ayat yang lain.
Di dalam hadis-hadis pun tidak terdapat hal tersebut, bahkan tidak ada satu pun hadis yang mengatakan adanya ayat yang mansukh di dalam al-Qur’an. Hanya ada ayat 106 di surah al-Baqarah yang artinya “Ayat apa pun yang Kami gantikan atau Kami lupakan, Kami menggantikannya dengan dengan ayat yang lebih baik daripadanya atau yang serupa dengannya. Tidakkah kamu mengetahui, bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu?” Dari ayat itu, ada ulama yang memahami bahwa di dalam al-Qur’an ada ayat yang mansukh. Namun arti yang sebenarnya dari ayat 106 surah al-Baqarah itu adalah ‘ayat-ayat (mukjizat) yang kami menggantinya atau kami menjadikan manusia lupa kepadanya, Kami mengganti dengan mukjizat yang lebih baik atau yang sebanding dengannya, yaitu mukjizat-mukjizat yang kami berikan kepada seorang Nabi pada zaman dahulu, kami sudah menggantinya dan tidak kami memberikannya lagi kepada Nabi yang datang sesudahnya, baik mukjizat itu masih diingat oleh pengikut Nabi berikutmya maupun mereka telah melupakannya.Untuk Nabi yang datang kemudian, Kami memberikan mukjizat yang sama baiknya atau sebanding dengan yang dahulu. Arti semacam itu lebih pantas dengan rangkaian ayat tersebut karena di akhir ayat ada ungkapan “Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu?”.
Kata Qadir yang berarti ‘Maha Berkuasa’ lebih layak dan lebih sesuai digunakan berkaitan dengan mukjizat daripada dikaitkan dengan penghapusan hokum, sedangkan dalam hal penghapusan undang-undang syariat, lebih sesuai digunakan kata Hakim ‘Maha Bijaksana’, bukan Qadir ‘Maha Berkuasa’.
Selain itu, ada firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 7 yang artinya “Dialah yang menurunkan kitab kepadamu. Sebagian ayatnya muhkam dan merupakan isi pokok kitab serta yang sebagian lainnya mutasyabih”. Ayat-ayat yang muhkam artinya ayat-ayat yang terang, tegas dan tidak memerlukan ta’wil, sedangkan ayat-ayat yang mutasyabih adalah ayat-ayat yang ‘samar’.
Sekiranya di dalam al-Qur’an ada ayat yang mansukh, tentu lebih utama bagi Allah untuk menjelaskannya. Tidak mungkin bagi Allah menerangkan adanya ayat-ayat yang mutasyabih, yang bisa memiliki beberapa arti, sedangkan yang mansukh, Dia tidak menerangkannya, padahal mansukh ini jauh lebih penting untuk dijelaskan.























E. Kesimpulan

 Ahmad Hassan adalah seorang pembaharu sangat giat dalam dakwah pemurnian ajaran-ajaran agama Islam.
 Periode penulisan tafsir al-Furqan yang terbagi menjadi tiga periode penerbitan, diwarnai dengan upaya Indonesia dalam upaya meraih kemerdekaan dari tangan belanda.
 Proses penulisan tafsir ini dari tahun 1920-an sampai tahun 1950-an. Dan dalam proses penulisan ini pun Ahmad Hassan dipengaruhi juga oleh desakan anggota Persis agar segera menyelesaikan karya besar ini.
 Tafsir Al-Furqan sendiri adalah kombinasi antara terjemahan dan tafsiran. meskipun harus diakui bahwa terjemahannya lebih dominant daripada tafsirannya.
 Salah satu hal yang membuat karya ini kurang signifikan adalah tidak adanya sumber penafsiran yang jelas.
 Corak dari Tafsir ini adalah corak kebahasaan.
 Ahmad Hassan juga dalam penafsirannya mengikuti aliran (thariqah) tafsir birra’yi. Ini bisa dibuktikan dari sekian banyak endnote yang lebih menonjolkan pemikiran penulis tentang penggalan ayat yang ingin dia jelaskan
 Dalam sistematika penulisan tafsirnya Ahmad Hassan menggunakan metode tartib Mushafi (urutan ayat dan surat).
 Ahmad Hassan dalam menafsirkan ayat 106 surat al-Baqarah termasuk salah seorang yang menolak adanya nasikh dan mansukh dalam al-Qur’an.








DAFTAR PUSTAKA

Hassan, Ahmad, Al-Furqan Tafsir Qur’an, Pustaka Mantiq (Jakarta: Februari 2006), Cet.I

Mohammad, Herry, et al., Tokoh-tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Gema Insani (Jakarta: Desember 2006), Cet. I

Wildan, Dadan, Yang Da’i yang Politikus Hayat dan Perjuangan Lima Tokoh Persis, Remaja Rosdakarya (Bandung: Desember 1997), Cet. I

Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, Teras (Yogyakarta: September 2004), Cet.I

Literatur Tafsir Indonesia

Literatur Tafsir Indonesia
Oleh : Arjonson


1. Pengaruh Tradisi Timur Tengah terhadap Tafsir di Indonesia
Sejarah ulama-ulama Indonesia bermunculan melalui berbagai jaringan yang berpusat di Timur Tengah. Oleh karena itu, tradisi dan pemikiran-pemikiran ulama di Indonesia juga tidak terlepas dari jaringan-jaringan tersebut termasuk terhadap tafsir di Indonesia. Islam yang masuk ke Indonesia adalah islam yang dibawa langsung oleh ulama-ulama Arab yang juga bekerja sebagai pedagang. Sebagai pedagang yang lalu-lalang, mereka juga membawa info-info aktual dari Timur Tengah. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan banyaknya pemuda-pemuda Melayu dan Indonesia yang mengembara ke pusat peradaban islam di Timur Tengah untuk belajar islam. Ketika mereka kembali, tentu saja membawa info-info serta perkembangan aktual seputar Timur Tengah yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan islam di Indonesia termasuk tafsir di Indonesia.

Pengaruh tradisi Timur Tengah terhadap tafsir Indonesia, sbb :
a. Sufisme, penyebaran islam di Indonesia diyakini secara konvensional, melalui proses penyebaran yang sangat damai dengan memakai pendekatan sufisme. Tokoh-tokoh besar nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin Sumatrani, ar-Raniri, dan Wali Songo dikenal sebagai tokoh-tokoh sufi dan kalam dengan karakternya masing-masing. Dengan pendekatan sufisme ini, islam diterima secara damai, tanpa melalui perang fisik yang berarti. Pendekatan sufisme/kalam ini, tentu saja akan mempengaruhi cara berfikir jaringan ulama generasi selanjutnya, termasuk ketika diterapkan dalam tafsir atau terjemahan Alquran. Tokoh sufi nusantara, seperti hamzah Pansuri dan Samsuddin Sumatrani seringkali mengutip ayat-ayat Alquran yang kemudian difahami dalam konteks mistisme. Ada riwayat kecil menyebutkan bahwa masa kedua sufi itu, telah muncul tafsir kecil terhadap surah Al-Kahfi yang diperkirakan dan dinilai mengikuti tradisi tafsir Al-Khasin.
b. Terjemahan dan Bahasa, Abdur Rauf Sengkel belajar di Saudi Arabia sejak 1640, dan kembali pada 1661. Beliau inilah yang mempelopori kajian-kajian tentang Alquran, ketika menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad VII. Tafsir tersebut bernama Tarjuman al-Mustafid. Sebagai perintis, tafsir ini mendapat tempat, bahkan tidak hanya di Indonesia. Tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), Mekkah (al-Amiriah).
Metodologi Singkel dalam Tarjuman Mustafid sangat sederhana. Tafsir Jalalain yang dikenal sangat ringkas dan padat, itu setelah diterjemahkan menjadi lebih ringkas. Singkel menerjemahkan kata perkata sambari menahan diri untuk menambahkan pemahaman-pemahamannya sendiri. Uraian-uraian linguistic yang menjadi salah satu karakter Tafsir Jalalain serta penjelasan yang tidak perlu, ditinggalkan oleh Singkel. Penjelasan yang dinilai cukup panjang dalam Tafsir Jalalain dan diperkirakan akan memalingkan perhatian, tidak diterjemahkan oleh Singkel, ini dilakukan oleh Singkel agar umat islam Melayu lebih dapat memahami dan mencerna karyanya dengan mudah.
c. Pengajaran atau Pendidikan, maraknya syiar islam di Indonesia, ikut mengundang beberapa ahli untuk menerjemahkan berbagai karya tafsir besar dalam bahasa Indonesia, karya-karya terjemahan ini, pada akhirnya mendukung sistem pengajaran tafsir di Indonesia, yang menurut Quraish Shihab dan Jalaluddin Rahmat memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Metode serogan di pesantren dan muhadarah di perguruan tinggi, hanya mengantar peserta didik menguasai produk tafsir, bukan ilmunya. Kelebihan metode serogan adalah pemahaman peserta didik terhadap seluruh ayat, yang dikemukakan serta metodologi mufassirnya. Sementara itu, kelebihan metode muhadarah lebih terletak pada sisi efisiensi dan spesialisasi. Oleh karena itu, Quraish Shihab menawarkan beberapa hal, seperti pendefinisian dan pengajaran kaidah tafsir, pengenalan kitab-kitab tafsir serta metode pengajaran tafsir yang sesuai dengan teori komunikasi modern.
d. Ideologi, Secara umum referensi standar berbahasa Arab yang digunakan oleh pernulis tafsir di Indonesia, meliputi Tafsir Jauhari, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Maragi, Tafsir al-Qasimi, Tafsir al-Razi, Tafsir al-manar, Tafsir al-Tabari, Tafsir al-Baidawi, Fi Zilal Alquran dan sebagainya. Kesemua tafsir ini mewakili zaman serta ideologinya masing-masing, sehingga dengan sendirinya menggambarkan pemahaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pemahaman salah satu sumber tersebut juga mewarnai wacana pemikiran tafsir di Indonesia. Kategorisasi tafsir Indonesia berdasarkan waktu, tidak menemukan signifikasinya, mengingat perbedaan ideologis dalam sumber-sumber klasik tersebut juga mewarnai perbedaan ideologis para penulis tafsir, tentu saja hal ini didasari dengan asumsi bahwa perkembangan islam di timur tengah juga memegang kunci tersendiri.
e. Penggolongan (Golongan Modernis dan Tradisionalis, Penguasa dan Ulama, Golongan keras dan modern), kemunculan beberapa tafsir di Indonesia juga ikut memicu friksi antara kaum modernis dan tradisionalis, penguasa dan ulama, Golongan keras dan modern, dll) . Ulama-ulama tradisionalis lebih berkutat pada persoalan kemasyarakatan (fiqhiyah). Hamka merupakan jebolan gerakan pembaruan agama (madrasah tawalib) di Minangkabau dan akhirnya harus berhadapan dengan Orde Lama, yang nota bene sealur dengan kalangan tradisionalis. Hasbi Ash-Shiddieqi dibesarkan oleh kalangan al-Irsyad. A.Hassan diasuh bahkan kemudian memimpin Persis Bandung. Sementara itu, kalangan tradisionalis hanya bisa bangga dengan Tarjuman Mustafid dan Al-Ibriz karya Bisri Mustafa Rembang.
f. Orientalis Timur Tengah, Abu Bakar Atceh pernah menyerukan menulis berbagai hal tentang Alquran dalam bahasa Indonesia guna membendung arus orientalisme. Hamka juga pernah mewanti-wanti bahaya orientalisme dalam salah satu juz tafsir Azhar. Namun kita sebentar lagi akan menyaksikan sebuah karya orisinil Taufik Adnan Amal berjudul Rekonstruksi Sejarah Alquran yang sangat mengacu pada sumber-sumber Barat.

2. Pengaruh Kolonialisme di Indonesia (Belanda dan Jepang) pada Tafsir di Indonesia

a. Tafsir Indonesia berkembang sesuai dengan kondisi yang ada ketika itu yaitu selalu mendapat tekanan dari penjajah, tidak memiliki kebebasan memberikan penafsiran dan belum adanya akses yang mudah untuk dakwah dan informasi. Tekanan penjajah dengan politik devide et impera, memecahbelah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, seperti Perang Paderi di Sumatera Barat dan Perang Diponegoro di Jawa.
b. Tafsir kurang berkembang secara cepat karena para ulama/mufassir terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah. Pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya
c. Belum dijadikannya tafsir sebagai suatu ilmu khusus dan tersendiri sehingga dianggap sudah tergabung dalam ilmu fiqh, tauhid, hadist, dll.
d. Terputusnya atau terpotongnya informasi dan komunikasi dari ulama-ulama disatu daerah dengan daerah lain atau dipusat/dikota-kota terhadap para ulama di daerah sehingga tafsir berkembang dalam dalam daerah maisng-masing, wilayah cakupan kecil, sektoral dan bersifat untuk kalangan sendiri.
e. Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin dalam mengembangkan pemikirannya termasuk tafsir.

3. Kasus Tanjung Priok dan Pengaruhnya terhadap mufassir
Kronologi Kejadian
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pamflet yang mengumumkan acara pengajian remaja di dinding mushalla, dan imbauan agar setiap wanita Muslim mengenakan jilbab, padahal sikap “tak tertulis” pemerintah ketika itu adalah mencurigai jilbab dan aktivitas keagamaan (Islam).
Setelah peristiwa tersebut, beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah. Masing-masing bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur, yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian di bon dan ditahan di Kodim Jakarta Utara.
Pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh, Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, di dalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Mushola As Sa’adah yang ditahan.
Setelah mengetahui keempat orang tersebut belum dibebaskan pada pukul 23.00, 12 september 1984, Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja.
Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan, kira-kia 200 meter jaraknya. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati. Penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.


Pengaruhnya terhadap Mufassir
Secara langsung peristiwa tersebut tidak ada kaitannya dengan tafsir atau mufassir, namun dapat dicatat beberapa pengaruh peristiwa tersebut terhadap tafsir atau mufassir, antara lain :
• Suatu bukti buruknya hubungan ulama/mufassir dengan pemimpin sehingga tidak tercipta komunikasi dan koordinasi yang baik.
• Ulama/mufassir tidak bisa memberikan pemikiran dan penafsiran yang bebas terkait dengan kekuasaan dan politik, khususnya ulama/mufassir yang berada diluar lingkaran kekuasaan orde baru. Kebebasan politik dan agama dikungkung/dipenjara sehingga sering tercipta ketegangan-ketegangan antara ulama, mufassir dengan penguasa
• Terciptanya pandangan dikalangan ulama/mufassir dan umat islam ketika itu bahwa kekuasaan militer/ABRI dan pemerintah umumnya dikuasainya oleh non muslim/kafir yang siap memerangi umat islam.

4. Relevansi Peristiwa tersebut dengan Tafsir di Indonesia

• Kebijakan penguasa terhadap aktivis keagamaan islam (ulama, mufassir, dll) sangat merugikan, seperti : azas tunggal pancasila, keluarga berencana, perayaan natal bersama, pelarangan jilbab, pelarangan pengajian, pelarangan demonstrasi/hak bersuara, pelarangan suksesi/pergantian pemimpin (Presiden Soeharto), lingkungan kepresidenan dikuasai non muslim/kafir, dll. Hal ini membuat tafsir yang berkembang adalah tafsir yang mendukung kebijakan pemerintah.
• Media informasi (pers, elektronik, dll) tidak memiliki kebebasan sehingga perkembangan ilmu agama islam khususnya tafsir kurang berkembang. Kondisi tersebut kurang lebih sama ketika penjajahan Belanda dan Jepang. Hanya saja yang menjajah adalah penguasa orde baru terhadap rakyatnya sendiri.
• Tidak mudah menemukan kitab-kitab tafsir di jual secara bebas, sehingga referensi-referensi untuk tafsir sangat terbatas.

suami, mempunyai satu derajat

“Akan tetapi para suami, mempunyai satu derajat/tingkatan kelebihan daripada isterinya”

1. Para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya tentang hak, misalnya tentang keharusan ditaati disebabkan perkawinan/mas kawin dan belanja yang dikeluarkan oleh para suami. Secara utuh ayat ini berbunyi “”Wanita itu mempunyai hak, seperti juga ia mempinyai kewajiban, hak dan kewajibannya itu harus dipenuhi dengan baik-baik. Dan laki-laki mempunyai kelebihan dari wanita dan Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana” (Al-Baqarah : 228).....Tafsir Jalalain (Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti).
2. Suami mempunyai kelebihan derajat/tingkatan daripada isteri, kelebihan disini adalah kelebihan pada nalurinya, kemampuan untuk melaksanakan sekian banyak pekerjaan, kelebihan pada kewajiban yang ditugaskan, melaksanakan ibadah, kelebihan fisik/jasmani, watak, dll. Kelebihan disini juga sebenarnya bersumber dari rasa tanggung jawab dari laki-laki terhadap wanita secara umum dan standar yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Walaupun untuk beberapa hal ada wanita memiliki kelebihan dari laki-laki, namun ini adalah pengecualian dan bukanlah sesuatu yang umum dan standar yang menjadi ketetapan Qur’an………Wanita dalam Al-Qur’an (Abbas Mahmoud Al-‘Akkad, Bulan Bintang, 1976)
3. Derajat atau tingkatan yang diberikan kepada suami bukanlah sesuatu yang diberikan oleh Allah Swt tanpa adanya suatu usaha dan proses, sebenarnya suami/laki-laki hanya diberikan potensi kelebihan hak atas tanggung jawab yang telah dibebankan, maka tergantung suami/laki-laki tersebutlah untuk mengolahnya menjadi suatu daya atau kekuatan sehingga nantinya mempunyai derajat/kelebihan dari isteri/wanita. Apabila suami/laki-laki tersebut tidak mampu untuk mengolah potensi yang telah ada tersebut maka suami/laki-laki tidak akan dapat mencapai derajat/tingkatan kelebihan dari isteri/wanita bahkan tingkatannya bisa berada dibawah isteri/wanita. Suami atau laki-laki adalah manusia juga yang diberi peringatan oleh Allah Swt bahwa ia juga bisa lebih rendah dari binatang ternak/hewan sekalipun. Allah mensinyalir orang-orang yang semacam ini di dalam surat Al A`raaf 179 : “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. Dalam ayat tersebut sangat jelas suami/laki-laki juga bisa lebih rendah dari binatang ternak sekalipun apabila potensi kelebihan (dari hewan) yang telah diberikan yaitu hati, mata, telinga, panca indera lainnya yang nantinya diolah akal pikiran digunakan untuk memahami ayat-ayat Allah dan tanda-tanda kekuasaanNya……Arjonson (Mahasiswa Tafsir Hadist, Fakultas Ushuluddin. Institut PTIQ Jakarta).

TAKHRIJ HADITS PUASA SEHAT

BAB I
PENDAHULUAN


Kita mungkin sering mendengar bahwa "Berpuasalah (niscaya) akan sehat". Bisa jadi hadits ini sudah tidak asing lagi di masyarakat karena puasa sendiri menyimpan atau mengandung pesan yang baik, yang ditetapkan dalam syari‘at Islam yang lurus ini, yakni; al Qur’an dan al Sunnah dalam hal anjuran menjalankannya. Akan tetapi, hanya dengan hal itu semata tidak boleh bagi kita untuk menyandarkankan kepada Rasulullah saw, apa yang memang bukan dari beliau. Dan secara khusus, bahwa umat ini di antara seluruh umat yang ada telah Allah khususkan dengan ilmu sanad, maka dengannyalah dapat diketahui, mana yang diterima dan mana yang sengaja disusupkan. Dengan ilmu itu pula dapat diketahui, mana yang shahih dan mana yang dha‘if.
Ilmu sanad merupakan ilmu yang sangat rumit, maka sungguh benar dan telah berbuat kebaikan orang yang menamainya,
"منطق المنقول وميزان تصحيح الأخبار"
"Ucapan yang ternukil dan timbangan shahih-nya berita"

Kendati pun hadits tersebut dha‘if - (matruk) -, hadits tersebut sangatlah populer bahkan kita sering mendengarnya di tengah masyarakat kita. Terlepas apakah hadits tersebut memiliki esensi makna (pesan) yang logis dan baik, namun yang menjadi perhatian adalah sikap kita haruslah relevan dengan argumen yang kita jadikan pijakan dalam beramal, apalagi jika hal itu terkait dengan dalil syar‘i dalam urusan ushul (fundamental) yaitu dengan mendudukkan masalah tersebut secara proporsional. Apabila memang hadits itu ada, bagaimana status haditsnya, shahih, hasan atau dha‘if, dapat diamalkan atau tidak dan kita harus menetapkan bahwa hadits itu ada. Dan apabila hadits itu tidak ada, atau hadits itu palsu, kita juga harus berani dan yakin mengatakan bahwa hadits itu palsu (maudhu‘). Dan untuk bersikap seperti ini, tampaknya tidaklah mudah. Namun kita harus tetap menganalisis masalah tersebut dengan sungguh-sungguh dan cermat yang pada akhirnya akan dapat kita simpulkan status hadits itu, sehingga kita pun yakin dan mudah mengatakan bahwa hadits tersebut memiliki status shahih, hasan, dha‘if yang mencapai derajat palsu (maudhu‘).



BAB II
PUASA DAN KESAHATAN


A. Definisi Puasa
Puasa yang diperintahkan, yang dituangkan nashnya dalam al Qur’an dan al Sunnah, bererti meninggalkan dan menahan diri. Dengan kata lain menahan dan mencegah diri dari memenuhi hal-hal yang boleh, meliputi keinginan perut dan keinginan kelamin, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Adapun makna puasa secara syar‘i, yaitu menahan dan mencegah diri secara dari sadar dari makan, minum, bersetubuh dan hal-hal semisalnya selama sehari penuh. Yakni dari kemunculan fajar hingga terbenamnya matahari, dengan niat memenuhi perintah dan taqarrub kepada Allah Swt.
Islam tidak mensyariatkan sesuatu melainkan pasti mengandung hikmah; ada yang diketahui, ada pula yang tidak. Demikian juga, perbuatan-perbuatan Allah tidah lepas dari berbagai hikmah yang terkandung dalam ciptaan-Nya, hukum-hukum-Nya pun tidak lepas dari lautan hikmah. Dia Mahabijaksanadalam penciptaan-Nya, Mahabijaksana dalam perintah-Nya, tidak pernah menciptakan sesuatu yang batil dan tidak pernah mensyariatkan suatu hukum yang sia-sia.
Ini semua terkandung dalam aspek-aspek ibadah dan muamalah secara keseluruhan, juga terkandung dalam hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang diharamkan.
Sesungguhnya Allah Swt, tidak berhajat kepada apa pun, namun hamba-hamba-Nyalah yang menghajatkan-Nya. Dia tidak mendapatkan manfaat dari ketaatan hamba-hamba-Nya sedikitpun, tidak juga mendapat mudharat dari pembangkangan mereka. Hikmah dari ketaatan akan kembali kepada orang-orang mukalaf itu sendiri.
Dalam ibadah puasa terdapat sejumlah hikmah dan mashlahat, sebagaimana telah disyariatakan oleh nash-nash syariat itu sendiri. Di antaranya adalah :
1. Tazkiyah al nafs (pembersihan jiwa).
2. Terbukti bahwa puasa merupakan tarbiah bagi iradah (kemauan), jihad bagi jiwa, pembiasan kesabaran, dan pemberontakan kepada hal-hal yang telah lekat mentradisi. Adakah manusia kecuali memiliki kemauan? Adakah agama selain kesabaran untuk taat atau kesabaran menghadapi ma‘siat? Puasa mewakili dua kesabaran itu.
3. Sudah sama-sama dipahami bahwa nafsu seksual adalah senjata setan yang paling ampuh untuk menundukkan manusia, sehingga sejumlah aliran psikologi menganggap bahwa ia adalah penggerak utama semua perilaku manusia. Karenanya puasa berpengaruh mematahkan gelora syahwat ini dan mengangkat tinggi-tinggi nalurinya, khususnya jika terus-menerus melakukan puasa dengan mengharap ridha Allah Swt.
4. Menajamkan perasaan terhadap nikmat Allah Swt, kepadanya. Akrabnya nikmat bisa membuat orang kehilangan perasaan terhadap nilainya. Ia tidak mengetahui kadar kenikmatan, kecuali jika sudah tidak ada di tangannya. Dengan hilangnya nkmat, berbagai hal dengan mudah dibedakan
5. Puasa mempunyai hikmah ijtima‘iyyah (hikmah sosial), karena puasa ini –dengan memeksa orang untuk lapar, sekalipun mereka bisa kenyang- memiliki sejenis persamaan umum yang dipaksakan, menanamkan dalam diri orang-orang yang mampu agar ber-empati terhadap derita orang-orang fakir miskin. Atau sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu al Qayim, "Ia dapat mengingatkan mereka akan kondisi laparnya orang-orang miskin".
6. Bahwa puasa, di samping menyehatkan badan –sebagaimana dinyatakan oleh para dokter spesialis- juga bisa mengangkat aspek kejiwaan mengungguli aspek materi dalam diri manusia. Manusia, sebagaimana sering dipersepsikan banyak orang, memiliki tabiat ganda. Ada unsur tanah, ada pula unsur ruh ilahi yang ditiupkan Allah padanya. Satu unsur menyeret manusia ke bawah, unsur yang lain mengangkatnya ke atas.
7. Gabungan dari semua itu, adalah bahwa puasa dapat mempersiapkan orang menuju derajat takwa dan naik ke kedudukan orang-orang mutaqin. Ibnu al Qayim berkata, "Puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam memelihara fisik, memelihara kekuatan batin, dan mencegah bercampuraduknya berbagai bahan makanan yang dapat merusak kesehatan. Puasa memelihara kesehatan hati dan anggota badan, serta mengembalikan lagi hal-hal yang telah dirampas oleh tangan-tangan nafsu syahwat. Ia adalah sebesar-besar pertolongan untuk membangun taqwa".

B. Definisi Kesehatan
Sungguh betapa nikmat yang diberikan Allah swt, tidak terhingga, sehingga tidak dapat dihitung dengan bilangan angka. Di antara nikmat yang tidak bisa diukur dengan materi adalah nikmat menjadi orang beriman, nikmat menjadi orang yang berserah diri (Islam), nikmat sehat, dan mikmat diberi umur panjang.
Dengan nikmat itulah, setiap tahun diberi-Nya kesempatan bertemu dengan bulan Ramadhan dan kemampuan menjalankan ibadah puasa yang diwajibkan pada bulan tersebut. Selain bernialai ibadah, puasa juga merupakan sarana terapi kesehatan sebagaimana hikmah puasa tersebut di atas.
Kesehatan merupakan nikmat yang tidak dapat dinilai dengan harta benda, kedudukan, maupun uang. Semuanya itu seakan-akan tiada artinya ketika tubuh dihuni oleh penyakit.
Untuk menjaga kesehatan, tubuh perlu diberi kesempatan untuk istirahat. Puasa, yang mensyaratkan pelakunya untuk tidak makan, minum, berhubungan seks, dan melakukan perbuatan-perbuataan lain yang membatalkan puasa dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, sangat bermanfaat untuk menjaga kesehatan jasmani dan rohani pelakunya.
Meskipun telah terbukti bahwa puasa memiliki nilai yang tinggi dan manfaatnya bagi kehidupan seseorang, namun masih saja ada orang yang salah mengerti mengenai makna puasa. Ada yang berpendapat bahwa puasa hanya sebatas menahan diri dari lapar dan haus, sedangkan perbuatan-perbuatan lain yang bertentangan dengan hati nurani, semangat, dan hakikat puasa diabaikan. Bagi mereka hanya akan memperoleh lapar dan haus, tidak akan dapat memetik hikmah dari puasa yang dijalaninya, sebagaimana diingatkan oleh Nabi Muhammad saw:
رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالْعَطْشُ، وَ رُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهْرُ.
"Betapa banyak orang yang berpuasa tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa selain lapar dan dahaga, dan betapa banyak orang yang bangun malam (tahajud) tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa selain berjaga".



BAB III
TAKHRIJ HADITS


A. Matan Hadits.
سَافِرُوا تَصِحُْوا وَصُوْمُوا تَصِحُّوا واغْزُوا تَغْنَمُوا
"Safarlah kalian (niscaya) akan sehat, puasalah kalian (niscaya) akan sehat, berperanglah (niscaya) kalian akan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang)".

B. Takhrij Hadits
Hadits di atas "Berpuasalah niscaya akan sehat", diriwsayatkan oleh:
1. Ibnu ‘Adi dalam al Kamil (7/ 2521) dari jalur transmisi Nahsyal ibn Sa‘id dari al Dhahhak ibn dari Ibnu Abbas.
2. al Thabrani dalam al Ausath (1/Qaf, 69/ Alif-Majma‘ al Bahraini)
3. Abu Nu‘aim dalam "al Thibb al Nabawi"
4. al ‘Iraqi dalam "Takhrij Ahadits al Ihya" (7/87)
5. Ibnu Bukhait dalam Juz-nya-sebagaimana di dalam Syahr al Ihya (7/ 401) dari jalan Muhammad ibn Sulaiman ibn Abi Dawud dari Suhail ibn Abi Shalih dari Abi Hurairah.








C. Skema Transmisi Periwayatan

النبي

ابو هريرة ابن عباس علي بن ابي الطالب ابو عبيدة

سهيل بن ابي صالح الضحاك بن مزاحم ضميرة بن ابي ضميرة ابو عمرو

زهير بن محمد نهشل بن سعيد عبد الله بن ضميرة

محمد بن سليمان حسين بن عيد الله

أحمد بن محمد

إسحاق بن زيد
الطبراني ابو نعيم العقيلي ابن عدي

Hadits dengan lafazh صوموا تصحوا "Berpuasalah kalian (niscaya) akan sehat", memiliki beberapa transmisi periwayatan:
1. - Dari jalur Muhammad ibn Sulaiman ibn Abu Dawud—Zuhair ibn Muhammad Abu al Mundzir al Khurasany—Suhail ibn Abu Shalih—Abu Hurairah.
- Dari Uqaili—Ahmad ibn Muhammad al Nashby—Ishaq ibn Zaid al Khaththaby—Muhammad ibn Sulaiman ibn Abu Dawud—Zuhair ibn Muhammad Abu al Mundzir al Khurasani—Suhail ibn Abu Shalih—Abu Hurairah.
al Thabrani berkata setelah menyebutkan hadits ini, "Tidak meriwayatkan hadits ini dengan lafazh ini kecuali Zuhair".
Pernyataan ini sebagai isyarat yang sangat halus dari al Thabrani untuk menunjukkan adanya kelemahan pada hadits ini. Dan memang demikianlah adanya, Zuhair ibn Muhammad walaupun ia seorang rawi tsiqah akan tetapi riwayat orang-orang dari negeri Syam darinya adalah riwayat yang lemah. Sementara hadits ini termasuk riwayat orang Syam darinya.
Dan ada jalan lain yang serupa dengan jalan Muhammad ibn Abu Dawud, diriwayatkan oleh Uqaili dalam al Dhu'afa jilid 1 hal. 92 beliau berkata: "Menceritakan kepada kami Ahmad ibn Muhammad al Nashiby beliau berkata menceritakan kepada kami Ishaq ibn Zaid al Khaththaby beliau berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn Sulaiman beliau berkata menceritakan kepada kami Zuhair ibn Muhammad Abu al Mundzir berkata menceritakan kepada kami Suhail ibn Abe Shalih dari Abu Hurairah.
Berkata al Uqaily: "Tidak ada yang mendukungnya kecuali dari jalan lemah".
Oleh al Thabrani bahwa Ahmad ibn Muhammad al Nashiby, Ishaq ibn Zaid al Khaththaby dan Muhammad ibn Sulaiman tidak bisa ditentukan siapa mereka saat ini tapi perkataan al Uqaily di atas sudah cukup menunjukkan lemahnya hadits ini.

2. Dari jalur Nahsyal ibn Sa‘id—al Dhahhak ibn Muzahim—Ibnu Abbas.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam al Kamil fi Dhu'afa al Rijal, beliau berkata setelah membawakan beberapa hadits lain dari jalan Nahsyal: hadist-hadits ini semuanya dari al Dhahhak ghairu mhfuzhah (tidak terjaga) dan Nahsyal meriwayatkannya dari al Dhahhak.

3. Dari jalur Husain ibn Abdullah ibn Dhumairah ibn Abu Dhumairah al Himyary al Madany—Ayahnya (Abdullah ibn Dhumairah)—Kakeknya (Dhumairah ibn Dhumairah al Himyary).
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Adi dalam Kamil fi Dhu'afa al Rijal, dikatakan bahwa Husain ibn Abdullah ibn Dhumairah matrukul hadits bahkan sebagian para ulama menganggapnya sebagai pendusta dan tidak diketahui siapa ayah dan kakeknya, maka jalan ini juga jalan yang lemah.

4. Dari jalur Abu Amr al Rabi' ibn Habib al Azdy—Abu Ubaidah Muslim ibn Karimah al Tamimi.
Dikatakan bahwa Abu Ubaidah Muslim ibn Abu Karimah al tamimi majhul (tidak dikenal) kemudian sanadnya mursal.






BAB IV
KRITIK HADITS


A. Krtik Sanad
Untuk kritik sanad hadits ini dinukil hadits yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam al Kamil fi Dhu'afa al Rijal, yaitu dari jalur Nahsyal ibn Sa‘id—al Dhahhak ibn Muzahim—Ibnu Abbas dengan redaksi hadits sebagai berikut :
سَافِرُوا تَصِحُْوا وَصُوْمُوا تَصِحُّوا واغْزُوا تَغْنَمُوا
"Safarlah kalian (niscaya) akan sehat, puasalah kalian (niscaya) akan sehat, berperanglah (niscaya) kalian akan mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang)".

1. Ketersambungan Sanad (Ittishal As Sanad)
Hadits yang diriwayatkan Ibnu Adi dalam al Kamil-nya memiliki sanad yang bersambung sampai ke Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dengan transmisi periwayatan dari Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan—al Dhahhak ibn Muzahim—Ibnu Abbas --Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam.
Hadist ini menurut al Thayalusi dan al Bani sanadnya terputus pada al Dhahhak ibn Muzahim karena ia tidak mendengar dari Ibnu Abbas.

2. Keadilan Perawi (Adalat Ar Ruwat)
Dalam hadits ini terdapat perawi yang bermasalah yang dinilai oleh Ishaq ibn Rahawiyah, bahwa Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan adalah seorang pendusta (kadzab)



3. Kompetensi Intelektual (Dhabt Ar Ruwat)
Dari segi kedhabitan para perawi hadits ini tidak terdapat perawi yang bermasalah dalam hal ingatan maupun hafalan.

4. Pertentangan dengan Perawi Tsiqah (Syad)
Hadits ini tidak menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan dengan perawi tsiqat. Hanya saja terdapat kecacatan pada perawinya seperti Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan dan al Dhahhak ibn Muhazim

5. Kecacatan (Illat)
Hadits ini memiliki jalur periwayatan yang di dalamnya terdapat dua orang perawi yang cacat ('ilat):
1) Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan
Ishaq ibn Rahawiyah berkata: ia seorang pendusta (Kadzab)
Abu Hatim berkata: ia matruk
Al Nasa'i berkata: ia matruk
Yahya berkata: ia dha'if
Al Daruquthni: ia dha'if
2) Al Dhahhak ibn Muzahim (w. 105 H)
Al Thayalusi berkata: ia belum bertemu Ibn Abbas
Yahya ibn Sa'id berkata: ia dha'if indana
Al Bani berkata: ia tidak mendengar dari Ibnu Abbas

B. Kritik Matan
1. Bertentangan dengan Teks Al Qur'an yang Sharih
Di dalam uraian sebelumnya telah di bahas mengenai hikmah disyariatkannya puasa bagi umat Islam untuk mencapai derajat mutaqin, namun disamping itu ada hikmah lain yang dapat dipahami bahwa Allah mewajibkan puasa pada bulan Ramadhan dan juga dianjurkan (disunahkan) melaksankan puasa pada waktu-waktu yang lain, seperti hari Senin dan Kamis, serta hari Arafah. Dan hal ini mengisyaratkan bahwa di balik ibadah puasa tersembunyi mutiara hikmah bagi kesehatan manusia.
Dalam al Qur’an Allah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk menjalankan puasa selama satu bulan penuh, yaitu pada bulan Ramadhan, sebagaimana firman-Nya Q.S. al Baqarah (2): 183-184:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui."

2. Bertentangan dengan Teks Hadits yang Sahih
Umat Islam juga dianjurkan (disunahkan) melaksanakan puasa pada waktu-waktu yang lain selain bulan Ramadhan, seperti hari Senin dan Kamis, puasa Arafah dan lain sebagainya.
Adapun hadits Nabi Muhammad terkait dengan puasa sunah yaitu:
a. Puasa Senin dan Kamis.
أنّ رسول الله -صلّى الله عليه وسلّم- سئل عن صوم الإثنين فقال: ذلك يوم ولدت فيه ويوم بعثت -أو أنزل عليّ- قيه.
"Rasulullah saw, ditanya tentang puasa hari Senin, beliau menjawab, "Itu adalah hari ketika saya dilahirkan dan awal saya menerima wahyu." (HR. Muslim)
b. Puasa enam hari Syawal.
من صام رمضان ثمّ أتبعه ستّا من شوّال قكأنّما صام الدهر.
"Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian ia iringi dengan (puasa) enam (hari) di bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa setahun." (HR. Muslim: 1164, Abu Dawud: 2433, al Timizi: 759, Ibnu Majah: 1716)
c. Puasa tanggal sembilan Dzulhijah dan hari Arafah.
أنّه صلّى الله عليه وسلم قال: صيام يوم عرفة إنّي أحتسب على الله تعالى أن يكفّر السنة التي بعده والسنة التي فبله.
"Beliau bersabda, "Puasa hari Arafah, saya berharap kepada Allah, dapat menghapus dosa setahun sesudahnya dan setahun sebelumnya". (HR. al Tirmizi)
d. Puasa hari Asyura dan Tasu‘a
صوم يوم عرفة يكفّر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفّر سنة ماضية.
"Puasa sehari di Arafah dapat menghapus (dosa dua tahun), yang lalu dan yang akan datang dan puasa sehari di hari Asyura menghapus (dosa) setahun".
فإذا كان العام المقبل إن شاء الله صمنا اليوم التاسع قال: فلم يأت العام المقبل حتى توفي رسول الله –صلّى الله عليه وسلّم.
"Jika datang tahun depan, insya Allah kita puasa hari kesemmbilan. Selanjutnya Ibnu Abbas berkata, Tahun berikutnya tidaklah datang kecuali setelah Rasuluggah saw." (HR. Muslim dan Abu Dawud)
e. Puasa tiga hari setiap bulan
من صام من كلّ شهر ثلاثة أيام فذالك صيام الدهر
"Barangsiapa berpuasa tiga hari setiap bulan, itulah puasa setahun."
من كان منكم صائما من الشهر ثلاثة أيام فليصم الثلاث البيض
"Barangsiapa di antara kalian berpuasa tiga hari dalam satu bulan, maka puasalah di tiga hari putih."

3. Bertentangan dengan Akal
Konteks hadits "Bepuasalah kamu, niscaya kamu akan sehat", secara logika tidak bertentangan dengan akal sehat karena mengisyaratkan bahwa puasa merupakan ibadah yang tersirat di dalamnya mutiara hikmah bagi kesehatan manusia. Tentu saja sehat yang di maksud adalah sehat jasmani, rohani, penyembuhan penyakit dan sosial secara keseluruhan.

4. Bertentangan dengan IPTEK
Pengaruh puasa sendiri terhadap kesehatan sangat baik, karena bukan hanya terhadap kesehatan jasmani dan rohani tapi juga berpengaruh terhadap penyembuhan penyakit.
a. Pengaruh puasa terhadap kesehatan jasmani
Tubuh manusia dibekali kemampuan terapi alamiah. Dalam keadaan tubuh tidak kemasukan sebutir nasi pun, manusia tetap masih mempunyai cadangan energi yang disebut glikogen. Cadangan yang didapat dari karbihidrat ini dapat bertahan selama 25 jam. Dengan demikian, mereka yang menjalankan puasa tidak perlu khawatir menjadi sakit karena tubuh mempunyai mekanisme alamiah untuk mempertahankan dirinya. Bahkan, dengan berhimpunnya 600 miliar sel selama seorang berpuasa, daya tahan tubuh seseorang akan semakin tangguh.
Pengaruh mekanisme puasa terhadap kesehatan jasmani meliputi berbagai aspek, yaitu aspek perlindungan, pencegahan, dan pengobatan. Adapun beberapa pengaruh puasa di antaranya:
Adapun pengaruh puasa terhadap kesehatan jasmani di antaranya:
- Memberikan kesempatan istirahat kepada alat pencernaan
- Membuat kulit lebih sehat dan berseri
- Menyeimbangkan kadar asam dan basa dalam tubuh
- Memperbaiki fungsi hormone
- Meningkatkan fungsi organ reproduksi
- Meremajakan sel-sel tubuh
- Meningkatkan fungsi organ tubuh
- Meningkatkan fungsi susunang kandung kemih.n saraf pusat
b. Pengaruh puasa terhadap penyembuhan penyakit
Salah satu hikmah yang berhasil ditemukan oleh pakar ahli kesehatan adalah efek puasa terhadap penyembuhan penyakit.
Berdasarkan hasil penelitian para ilmuwan, puasa tidak hanya memberikan efek kesehatan pada tubuh, tetapi juga dapat membantu usaha penyembuhan penyakit, antara lain: stroke, pengerasan pembuluh darah, tekanan darah tinggi, tekanan darah rendah, diabetes, kanker hati, kanker radang tenggorokan, radang hidung, radang amandel dan rad
c. Pengaruh puasa terhadap kesehatan rohani
Selain bermanfaat bagi kesehatan jasmani dan mengatasi berbagai penyakit, puasa juga melatih rohani atau jiwa menusia agar menjadi lebih baik. Temuan terakhir dunia kedokteran jiwa membuktikan bahwa puasa dapat meningkatkan derajat perasaan atau Emotional Quotient (EQ) manusia. Secara psikologis manusia tidak hanya diukur atau dinilai dari derajat kecerdasan atau Intelligence Quotient (IQ)-nya, tetapi juga diukur dari EQ-nya. EQ berpengaruh dalam pembentukan sifat-sifat seseorang, antara lain, sifat dermawan, santun terhadap fakir miskin, sabar (mampu mengendalikan nafsu), rela berkorban, kasih sayang dan rasa kepedulian. Sedangkan IQ berpengaruh pada bertambahnya rasa percaya diri dan meningkatnya daya ingat serta daya nalar seseorang.

5. Bertentangan dengan Fakta Sejarah.
Di kalangan ahli kesehatan, puasa telah menjadi lapangan penelitian tersendiri. Selama 36 tahun, Prof. H. M. Herlambang Wijayakusuma mencoba menelusuri rahasia puasa, dengan mengunjungi lembaga penelitian di berbagai Negara, seperti Jepang, Korea, Perancis, China, Taiwan dan Amerika Serikat. Di mana diteliti srcara lansung sanatorium puasa yang dijadikan tempat pengobatan dan terapi kesehatan. Dari berbagai kunjungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata puasa bukan saja merupakan ajang pelatihan mental dan spiritual, melainkan juga menjadi medium penyehatan fisik. Kesimpulan lain adalah bahwa berpuasa ternyata telah menjadi tradisi serta kecenderungan yang dilakukan oleh orang-orang yang hidup di Negara-negara maju dan modern, di Negara-negara yang kebutuhan pangannya sudah tercukupi, bahkan berlebih.
Bagi orang yang salah memahaminya, kemodernan dapat melahirkan ketidakseimbangan kepribadian. Oleh karena itu, agar kemodernan tidak berdampak negatif, disyaratkan adanya keseimbangan antara kehidupan jasmani, kehidupan rohani, dan kehidupan social. Bagi seorang muslim yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, ketiga kehidupan tersebut dapat diseimbangkan dengan cara melaksanakan empat pilar rukun Islam yang lain, yaitu shalat, zakat, puasa, dan berhaji.
Dalam suatu riset juga telah dibuktikan behwa puasa bisa mensegah berbagai macam penyakit sebagai berikut;
Pertama, peningkatan fungsi liver. Dari hasil riset Wahjoetomo (1997) ditemukan bahwa dengan puasa terjadi peningkatan fungsi liver atau semankin membaiknya fungsi liver. Hal tersebut digambarkan dengan penurunan SGOT dan SGPT. Setelah glikogen habis, maka hati meruntuhkan lemak. Pada mulanya kegiatan membuat empedu bertambah, tapi kemudian berkurang.
Kedua, penurunan kadar gula. Pada orang yang berpuasa, kadar gulanya akan semakin turun. Dari penelitian klinis (M. Thalib, 1999) terhadap 13 orang sukarelawan, rata-rata kadar gula responden sebelum puasa 84 mg/ml berhasil turun sampai 72 mg/ml (angka ini merupakan batas minimal dan dianggap normal). Laporan riset itu diperkuat hasil studi Nomani (1989).
Ketiga, kecenderungan perubahan tekanan darah. Menurut hasil riset Wahjoetomo (1994) maupun (Thalib, M. 1999), tingkat motivasi dan beban yang dirasakan terhadap puasa Ramadhan tidak memberikan perbedaan pada perubahan tekanan darah. Pengendalian tekanan darah dalam tubuh manusia sangat kuat sehingga jika tidak ada gangguan yang ekstrem, tekanan darah akan dipertahankan dalam keadaan stabil. Hasil riset keduanya diperkuat penelitian Dr. George Yhamphy dari Universitas of Indian, di mana dari 60 subyek sehat yang melakukan puasa yang terkendali selama tiga minggu ditemukan tekanan darah yang tinggi berubah menjadi normal.
Keempat, memblokir makanan untuk bakteri, virus, dan sel kanker. Dalam tubuh manusia terdapat parasit-parasit yang menumpang hidup, termasuk menumpang makan dan minum.

BAB V
KESIMPULAN


Dari uraian di atas, dapat disimpulkan terkait dengan kritik sanad hadits tersebut adalah:
a. Sanadnya bersambung, sebab masing-masing rawi yang meriwayatkan hadits tersebut telah mendengar haditsnya dari syaikh (guru)nya hal ini dinilai oleh Ibnu Adi dalam al Kamil fi Dhu'afa al Rijal. Namun dinilai oleh al Bani sanad hadits ini terputus karena perawi yang bernama al Dhahhak ibn Muzahim tidak mendengar dari Ibnu Abbas.
b. Parwinya ada yang bermasalah pada Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan bahwa ia seorang pendusta (kadzab) seperti yang telah dinilai oleh ulama ahli hadits pada uraian sebelumnya.
c. Perawinya dhabit, tidak ada masalah dalam hal ingatan dan hafalan para perawi terutama Nahsyal ibn Sa'id dan al Dhahhak ibn Muhazim.
d. Hadits ini tidak menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan dengan perawi tsiqat. Hanya saja terdapat kecacatan pada perawinya seperti Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan dan al Dhahhak ibn Muhazim
e. Hadits ini terdapat dua kecacatan, yaitu
- Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan
Ishaq ibn Rahawiyah berkata: ia seorang pendusta (Kadzab)
Abu Hatim berkata: ia matruk
Al Nasa'i berkata: ia matruk
Yahya berkata: ia dha'if
Al Daruquthni: ia dha'if
- Al Dhahhak ibn Muzahim (w. 105 H)
Al Thayalusi berkata: ia belum bertemu Ibn Abbas
Yahya ibn Sa'id berkata: ia dha'if indana
Al Bani berkata: ia tidak mendengar dari Ibnu Abbas

Adapun dari segi kritik matan hadits shalat tasbih tidak bertentangan dengan nash al Qur'an yang sharih, nash hadits yang shahih, akal, ilmu dan teknologi atau fakta sejarah, dengan kata lain pesan dari hadits tersebut dapat diterima atau "Shahih"
Telah diketahui, bahwa hadits ini memiliki dua kecacatan perawi di mana Nahsyal ibn Sa'id oleh Ishaq ibn Rahawiyah dinilai bahwa ia seorang pendusta Abu Hatim dan al Nasa'i menilai matruk dan al Daruquthi menilai dha'if. Sedangkan dan al Dhahhak ibn Muhazim dinilai oleh al Bani bahwa ia tidak bertemu dengan Ibnu Abbas juga dinilai dha'if oleh Yahya ibn Sa'id Dengan demikian dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hadits tersebut memiliki derajat kualitas "Maudhu' (palsu)" karena salah seorang perawinya pendusta yaitu Nahsyal ibn Sa‘id ibn al Wardan. Wallahu A'lam bi Shawwab




















DAFTAR PUSTAKA


Al Bani, nashiruddin, Silsilah Ahadits al Dha'ifah, (t.tp: t.p, t.tt), J. 1.

Al Dzahabi, Utsman, Muhammad ibn Ahmad, Mizan al I'tidal fi Naqd al Rijal, (t.tp: Dar al Fikr, t.tt), J. IV.

Al Tirmizi, Sunan al Tirmizi, (Beirut: Dar Ihya al Tiraz al ‘Arabi, t.tt), J. III.

Ibnu ‘Adi, Abu Ahmad Abdullah, al Kamil fi Dhu‘afa’ al Rijal, (t.tp: Dar al Fikr, t.tt), J. V, cet. 3.

Ibn Hanbal, Ahmad, Musnad al Imam Ahmad ibn Hanbal, (t.tp: Muasas al Risalah, 1999 H/1420 H), J. 14, cet. 2.

Ibn Khuzaimah, ibn Ishaq, Muhammad, Shahih Ibn Khuzaimah, (Beirut: al Maktab al Islami, 1970 M/ 1390 H), J. 3.

Ibnu Hiban, Shahih Kunuz al Sunah al Nabawiah, (t.tp: tp, t.tt), J. I.

al Nawawi dalam kitab Riyadh al Shalihin, (t.tp: t.p, t.tt)juz. II, h. 79.

Bahannan, Hannan Hoesin, dkk, Tuntunan Ibadah Ramadhan dan Hari Raya, (Tegal: Maktabah Salafy Press, 1423 H/ 2002 H), cet. 1.

Qardhawi, Yusuf, Fiqih Puasa, (Surakarta: Era Intermedia, 2001), cet. 3.

Wijayakusuma, H. M, Hembing, Prof, Puasa Itu Sehat: Manfaat Puasa bagi Kesehatan dan Resep-resep Hidangan Sahur dan Berbuka Puasa yang Berkhasiat Obat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997).

Rabu, 03 Maret 2010

TAFSIR INTI SURAT YUSUF

TAFSIR INTI SURAT YUSUF

A. Tentang Surat Yusuf
Surat Yusuf adalah surat ke-12 dalam al-Qur'an -menurut pendapat sementara pemakalah- karena di dalam surat ini menceritakan kisah tentang 12 bersaudara keturunan Ya'kub. Surat ini terdiri atas 111 ayat 1996 kalimat dan 7176 huruf. Surat ini termasuk golongan surat-surat Makkiyyah.
Yusuf adalah satu-satunya nama dari surat ini. Ia dikenal sejak masa Nabi Muhammad Saw. Penamaan itu sejalan juga dengan kandungannya yang menguraikan kisah Nabi Yusuf as. Berbeda dengan banyak nabi yang lain, kisah beliau hanya disebut dalam surat ini. Nama beliau –sekedar nama- disebut dalam surat al-An’am dan surat al-Mu’min (Ghafir) .
Surat Yusuf turun di Mekah sebelum Nabi Saw. berhijrah ke Madinah. Situasi dakwah ketika itu serupa dengan situasi turunnya surat Yunus, yakni sangat kritis, khususnya setelah peristiwa Isra’ dan Mi’raj di mana sekian banyak yang meragukan pengalaman Nabi Saw. itu; bahkan sebagian yang lemah imannya menjadi murtad. Di sisi lain jiwa Nabi Muhammad Saw. sedang diliputi oleh kesedihan, karena istri beliau Sayyidah Khadijah ra. dan paman beliau Abu Thalib baru saja wafat. Nah, dalam situasi semacam itulah turun surat ini untuk menguatkan hati Nabi Saw.
Menurut riwayat Al Baihaqi dalam kitab ad Dalail bahwa segolongan orang Yahudi masuk agama Islam sesudah mereka mendengar cerita Yusuf a.s. ini, karena adanya kesesuaian dengan cerita-cerita yang mereka ketahui.ini. Surat ini dinamakan surat Yusuf adalah karena titik berat dari isinya mengenai riwayat Nabi Yusuf a.s. Riwayat tersebut salah satu di antara cerita-cerita ghaib yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai mukjizat bagi beliau, sedang beliau sebelum diturunkan surat ini tidak mengetahuinya. Dari cerita Yusuf a.s. ini, Nabi Muhammad s.a.w. mengambil pelajaran-pelajaran yang banyak dan merupakan penghibur terhadap beliau dalam menjalankan tugasnya.

B. Isi kandungan surat Yusuf
1. Keimanan
Kenabian Yusuf a.s. dan mukjizat-mukjizatnya; ketentuan yang berhubungan dengan keagamaan adalah hak Allah semata-mata; qadha Allah tak dapat dirobah; para rasul semuanya laki-laki.
2. Hukum-hukum
Keharusan merahasiakan sesuatu untuk menghindari fitnah; barang dan anak temuan wajib dipungut tidak boleh dibiarkan; boleh melakukan helah yang tidak merugikan orang lain untuk memperoleh sesuatu kemaslahatan.
3. Kisah-kisah
Riwayat Nabi Yusuf a.s. dan 11 saudaranya dengan orang tua mereka Ya'qub a.s.
4. Lain-lain
Beberapa sifat dan suri tauladan yang mulia yang dapat diambil dari cerita Yusuf a.s: persamaan antara agama para nabi-nabi ialah tauhid.

C. Hubungannya dengan surat sebelum dan sesudahnya
1. Hubungan Surat Huud Dengan Surat Yusuf
a. Kedua surat ini sama-sama dimulai dengan aliif laam raa dan kemudian diiringi dengan penjelasan tentang Al Quran.
b. Surat Yusuf menyempurnakan penjelasan kisah para rasul yang disebut dalam surat Hud dan surat Yusuf, kemudian kisah itu dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa Al Quran itu adalah wahyu Ilahi; tidak ada lagi sesudah Nabi Muhammad s.a.w. nabi-nabi atau rasul-rasul yang diutus Allah.
c. Perbedaan kedua surat ini dalam menjelaskan kisah-kisah para Nabi ialah bahwa dalam surat Hud diutarakan kisah beberapa orang rasul dengan kaumnya dalam menyampaikan risalahnya, akibat-akibat bagi orang yang mengikuti mereka dan akibat bagi orang yang mendustakan, kemudian dijadikan perbandingan dan khabar yang mengancam kaum musyrikin Arab beserta pengikut-pengikutnya. Dalam surat Yusuf diterangkan tentang kehidupan Nabi Yusuf yang mula-mula dianiaya oleh saudara-saudaranya yang kemudian menjadi orang yang berkuasa yang dapat menolong saudara-saudaranya dan ibu bapanya. Pribadi Nabi Yusuf a.s. ini harus dijadikan teladan oleh semua yang beriman kepada Nabi Muhammad s.a.w.

2. Hubungan Surat Yusuf dengan Surat ar-Ra'd
a. Dalam surat ini Allah secara umum mengemukakan adanya tanda-tanda keesaan Allah di langit dan di bumi. Didalam surat Ar Ra'd Allah mengemukannya lagi secara lebih jelas.
b. Kedua surat tersebut sama-sama memuat pengalaman nabi-nabi zaman dahulu beserta umatnya. Yang menentang kebenaran mengalami kehancuran sedang yang mengikuti kabenaran mendapat kemenangan.
c. Pada akhir surat Yusuf diterangkan bahwa Al Quran itu bukanlah perkataan yang diada-adakan, melainkan petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman, dan keterangan yang demikian itu diulangi lagi di awal surat Ar Ra'd.
d. Surat Hud mengandung hal-hal yang berhubungan dengan pokok-pokok agama, seperti: Ketauhidan, kerasulan, hari berbangkit, kemudian dihubungkan dengan da'wah yang telah dilakukan oleh para Nabi kepada kaumnya.

D. Inti surat Yusuf
Secara umum, surat ini mengisahkan tentang perjalanan hidup Nabi Yusuf as. Apabila diurutkan secara sistematis, kisah perjalanan Nabi Yusuf yang terekam dalam al-Qur'an adalah sebagai berikut:
1. Mimpi nabi Yusuf as.: (Yusuf [12]:4, 5, 100)
2. Nabi Yusuf as. dan saudara-saudaranya: (Yusuf [12]:7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 58, 59, 60, 61, 65, 69, 70, 71, 77, 80, 89, 90, 91, 92, 93 dan 97).
3. Dibuang ke dalam sumur: (Yusuf [12]: 15).
4. Allah menyelamatkan Yusuf: (Yusuf [12]:19 ).
5. Dijual dengan harga murah: (Yusuf [12]:20 )
6. Perjalanannya ke Mesir: (Yusuf [12]:21)
7. Fitnah isteri pembesar Mesir (Zulaikha): (Yusuf [12]:23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30 dan 32 )
8. Masuk penjara: (Yusuf [12}:32, 33, 35 dan 36)
9. Kenabian Yusuf as.: (al-An'am [6]:84, Yusuf [12]:6, 22, al-Mu'min [40]:34)
10. Menafsirkan mimpi: (Yusuf [12]:6, 21, 36, 37, 41, 46, 47, 48, 49, 101).
11. Dakwah nabi Yusuf as.: (Yusuf [12]:37, 38, 39 dan 40).
12. Raja Mesir dan nabi Yusuf as.
 Mimpi raja Mesir: (Yusuf [12]:43, 44, 45 dan 46 ).
 Posisi nabi Yusuf as. di sisi raja Mesir: (Yusuf [12]:50 dan 54).
 Yusuf as. terbukti tidak bersalah: (Yusuf [12]:28, 51, 52 dan 100).
13. Mengurus baitul mal: (Yusuf [12]:55, 56, 59, 60, 62, 88, 90, 101).
14. Nabi Yusuf as. dan adiknya (Bunyamin)
 Tuntutan menghadirkan adiknya: (Yusuf [12]:59, 60 dan 61).
 Membujuk nabi Ya'kub as. agar rela mengutus Bunyamin: (Yusuf [12]:63, 64, 65 dan 66).
 Siasat nabi Yusuf as.: (Yusuf [12:62, :63, 65, 69, 70, 72, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81 dan 82).
15. Pertemuan anak-anak Israel (Ya'kub): (Yusuf [12]:93, 99 dan 100).
16. Sifat nabi Yusuf as.: (Yusuf [12]:22, 24, 27, 31, 36, 51, 54, 55, 59 dan 78).
17. Pelajaran yang dapat diambil dari kisah Yusuf as: (Yusuf [12]: 102-110).
Yusuf adalah putra Ya’kub ibnu Ishaq ibnu Ibrahim as. Ibunya adalah Rahil, salah seorang dari tiga istri Nabi Ya’kub as. Ibunya meninggal ketika adiknya (Benyamin) dilahirkan, sehingga ayahnya mencurahkan kasih sayang kepada keduanya melebihi kasih sayang kepada kakak-kakaknya.
Surat Yusuf ini seluruh isinya berkisar pada cerita Nabi Yusuf a.s. dan saudara-saudaranya beserta orang tua mereka. Cara penuturan kisah Nabi Yusuf ini kepada Nabi Muhammad s.a.w. berbeda dengan kisah-kisah nabi-nabi yang lain, yaitu kisah Nabi Yusuf a.s. ini khusus diceritakan dalam satu surat sedang kisah-kisah nabi-nabi yang lain disebutkan dalam beberapa surat. Isi dari kisah Nabi Yusuf a.s. ini berlainan pula dengan kisah-kisah nabi-nabi yang lain. Dalam kisah nabi-nabi yang lain Allah menitik beratkan kepada tantangan yang bermacam-macam dari kaum mereka, kemudian mengakhiri kisah itu dengan kemusnahan para penantang para nabi itu. Didalam kisah Nabi Yusuf a.s ini, Allah s.w.t. menonjolkan akibat yang baik daripada kesabaran, dan bahwa kesenangan itu datangnya sesudah penderitaan. Allah menguji Nabi Ya'qub a.s. dengan kehilangan puteranya Yusuf a.s. dan penglihatannya, dan menguji ketabahan dan kesabaran Yusuf a.s. dengan dipisahkan dari ibu bapanya, dibuang ke dalam sumur, dan diperdagangkan sebagai budak. Kemudian Allah s.w.t menguji imannya dengan godaan wanita cantik lagi bangsawan dan akhirnya dimasukkan kedalam penjara. Kemudian Allah s.w.t. melepaskan Yusuf a.s. dan ayahnya dari segala penderitaan dan cobaan itu; menghimpunkan mereka kembali; mangembalikan penglihatan Ya'qub a.s. dan menghidupkan lagi cinta kasih antara mereka dengan Yusuf a.s.
Yang menjadi inti surat Yusuf ini terdapat pada ayat 3.
نحن نقص عليك احسن القصص بما اوحينا اليك هذ القران وان كنت من قبله لمن الغفلين
Artinya: Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (Kami mewahyukan) nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.

Kini al-Qur’an mengajak kita menuju kepada kisah yang di wahyukan ini. Allah Swt. Bagaikan berfirman, “kami tahu, masyarakat Arab yang engkau temui, wahai Muhammad, termasuk sahabat-sahabatmu, bermohon kiranya engkau mengisahkan kepada mereka suatu kisah. Orang-orang Yahudi pun ingin mendengarnya. Karena itu, kami kini dan juga di masa yang akan datang akan menceritakan kepadamu kisah untuk memenuhi peremintaan mereka dan juga untuk menguatkan hati dan agar mereka menarik pelajaran. Kisah ini adalah kisah yang terbaik gaya kandungan dan tujuannya. Itu Kami lakukan dengan mewahyukan kepadamu al-Qur’an ini, dan sesungguhnya engkau sebelumnya yakni sebelum Kami mewahyukan sungguh termasuk kelompok orang-orang yang tidak mengetahui. Betapa engkau wahai Muhammad bahkan betapa kamu semua mengetahui, padahal kamu adalah masyarakat yang tidak pandai membaca. Kalaupun pandai, peristiwa yang dikisahkan ini sudah terlalu jauh masanya, sehingga rincian yang diketahui oleh siapapun sungguh banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan kenyataan.
(القصص ) al-Qashash adalah bentuk jama’ dari (قصة) qishsah/kisah. Ia terambil dari kata (قصّ) qashsa yang pada mulanya berarti mengikuti jejak. Kisah adalah upaya mengikuti jejak peristiwa yang benar-benar terjadi atau Imajinatif, sesuai dengan urutan kejadiannya dan dengan jalan menceritakannya satu episode, atau episode demi episode.
Kata (الغافلين) al-Ghafilin terambil dari kata (غفل) ghafala yang makna dasarnya berkisar pada ketertutupan. Dari sini, sampul yang berfungsi menutup sesuatu di namai (غلاف) ghilaf, tanah yang tidak dikenal karena tanpa tanda-tanda dinamai (غلف) ghulf dan karena ketiadaan tanda itulah maka orang tidak mengetahuinya. Kata (غافل) ghaafil biasa juga diartikan lengah, yang tidak mengetahui bukan karena kepicikan akal, tetapi karena kurangnya perhatian.
Tujuan utama surat ini menurut al-Biqai adalah untuk membuktikan bahwa kitab suci al-Qur’an benar-benar adalah penjelasan menyangkut segala sesuatu yang mengantar kepada petunjuk, berdasar pengetahuan dan kekuasaan Allah Swt. secara menyeluruh-baik terhadap yang nyata maupun yang ghaib.
Kisah Nabi Yusuf ini merupakan salah satu di antara cerita-cerita ghaib yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. sebagai mukjizat bagi beliau, sedang beliau sebelum diturunkan surat ini tidak mengetahuinya.
ذالك من انباء الغيب نوحيه اليك وما كنت لديهم إذ اجمعوا امرهم وهم يمكرون
Artinya: Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya.




DAFTAR PUSTAKA

Al Hafidz, Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, (Mesir: Dar al-Hadits, 2003). Jilid 2.
Depag RI, Tim Penerjemah al-Qur'an, Al-Qur'an dan Terjemahannya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah / Penafsiran Al-Qur'an Depag, 1975).
Nawawi, Marah Labid li Kasyfi Ma'na Qur'anin Majid, (Semarang: Taha Putra, Semarang. T.t). Jilid 1.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Mishbah “Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran”, (Jakarta:Lentera Hati, 2000) Jilid 7.

CONTOH PENAFSIRAN SYI’AH TERHADAP SURAT AL-AHZAB [33]: 33

CONTOH PENAFSIRAN SYI’AH TERHADAP SURAT AL-AHZAB [33]: 33
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1], dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[2] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlu bait[3] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[1]. Maksudnya: Istri-istri Rasul agar tetap dirumah dan keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’, perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[2]. Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu adalah Jahiliyah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad SAW. Dan yang dimaksud dengan Jahiliyah sekarang adalah Jahiliyah kemaksiatan yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[3]. “Ahlu Bait” disini yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah SAW
Istilah ahlulbait berasal dari 2 kata dalam bahasa Arab: ahlul/ahli(= penghuni) dan bait/bayt(= rumah).Dalam Islam, istilah ahlulbait merujuk pada Firman Allah SWT: “Sesengguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kami, hai ahlulbait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” (QS. Al-Ahzab:33).
Ada beberapa penafsiran terhadap ayat tersebut:
Pertama, sebagian ulama ahlussunah (al-Qurthubi, Ibnu Kayyah, ath-Thabari, asy-Syaukani, dll) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlulbait dalam ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. Sebab konteks ayat sebelum dan sesudahnya berbicara tentang istri-istri Rasulullah. Muhammad asy-Syaukani berkata,”Sesungguhnya Allah SWT berpesan kepada istri-istri nabi supaya bertakwa, berbicara yang makruf, diam di rumah, tidak bersolek, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.....”
Kedua, pendapat beberapa kalangan ulama ahlussunah yang menyatakan bahwa ahlulbait menurut ayat di atas adalah Bani Hasyim secara keseluruhan. Dalam kitab Muslim diceritakan bahwa Hashin bin Samrah bertanya pada Zaid bin Arqam, “Siapakah ahlulbait Rasulullah itu wahai Zaid? Apakah istri-istri Rasulullah saw termasuk Ahlulbaitnya?” Zaid menjawab,”istri-istri Rasulullah saw tidak termasuk ahlulbaitnya. Yang dimaksud ahlulbait Rasulullah adalah mereka yang haram menerima sedekah sepeninggal Rasulullah saw.” “Siapa mereka itu?”tanya Hashin lagi. Zaid menjawab,”Mereka itu adalah keluarga ‘Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.” Namun riwayat ini lemah dari segi perawinya.
Ketiga, pendapat kalangan syiah dan beberapa kalangan ahlussunah, yang dikuatkan dari sebab kejadian (asbabun nuzul) turunnya ayat tersebut. Tarmudzi meriwayatkan dari Ummu Salamah (seorang istri Nabi saw) bahwa ketika turun ayat tersebut, Rasulullah, ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan, dan Husein berada di rumahnya. Ummu Salamah bertanya, “Tidakkah aku juga termasuk ahlulbaitmu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Engkau berada dalam kebaikan. Engkau dari istri-istriku.” Kemudian Rasulullah memanggil ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein, kemudian menyelimuti mereka semua dengan sorban sambil berkata,”ya Allah, merekalah ahlulbaitku, hindarkanlah noda dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.” Pada riwayat lain yang disebutkan oleh al-Khazin, Rasulullah menyelimuti ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein dengan kisa/pakaian penutup dan tidak mengizinkan Ummu Salamah untuk bergabung, seraya berkata kepada,”Engkau dalam kebaikan...” .Jadi, ayat di atas menunjukkan bahwa ahlulbait Rasulullah itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin ‘Ali, dan Husein bin ‘Ali.
Sedangkan mufassir kalangan Syiah Itsna Asyariah Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan at-Thubrusy dengan Tafsirnya "Majma' al-Bayan fi tafsiril Qur'an" menafsirkan bahwasanya Nabi Saw., Fatimah Ra., Hasan dan Husain Ra. Adalah orang-orang yang Ma'shum (terjaga dari dosa) yang kemudian dijadikan penguat keyakinan mereka akan terjaganya Imam-imam Syiah yang memiliki hubungan Nasab dengan Nabi Saw.






Surah Al-Ahzāb : 33
Pensucian Ahlul Bayt as
“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala jenis kekotoran darimu wahai Ahlul bayt dan mensucikanmu sesuci-sucinya.”
Berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin Malik, ayat ini turun hanya untuk lima orang, yaitu Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein as
Rasulullah SAW bersabda seraya menunjuk kepada Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein as: “Ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baytku, maka peliharalah mereka dari keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya.” Banyak hadis lain yang searti dengan hadis tersebut. Silahkan rujuk:
• Shahih Muslim, kitab Fadhā`ius Shahābah, bab Fadhā`il Ahli Baytin Nabi SAWW, juz 2, hal. 368, cetakan Isa Al-Halabi; juz 15 hal. 194, Syarah An-Nawawi, cetakan Mesir.
• Shahih Tirmidzi, juz 5, hal. 30, hadis ke 3258; hal. 328, hadis ke 3875, cetakan Darul Fikr.
• Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 5, hal. 25, cetakan Darul Ma’arif, Mesir.

Istilah ahlulbait berasal dari 2 kata dalam bahasa Arab: ahlul/ahli(= penghuni) dan bait/bayt(= rumah).Dalam Islam, istilah ahlulbait merujuk pada Firman Allah SWT: “Sesengguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kami, hai ahlulbait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” (QS. Al-Ahzab:33).Ada beberapa penafsiran terhadap ayat tersebut. Pertama, sebagian ulama ahlussunah (al-Qurthubi, Ibnu Kayyah, ath-Thabari, asy-Syaukani, dll) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlulbait dalam ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. Sebab konteks ayat sebelum dan sesudahnya berbicara tentang istri-istri Rasulullah. Muhammad asy-Syaukani berkata,”Sesungguhnya Allah SWT berpesan kepada istri-istri nabi supaya bertakwa, berbicara yang makruf, diam di rumah, tidak bersolek, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.....”
• Kedua, pendapat beberapa kalangan ulama ahlussunah yang menyatakan bahwa ahlulbait menurut ayat di atas adalah Bani Hasyim secara keseluruhan. Dalam kitab Muslim diceritakan bahwa Hashin bin Samrah bertanya pada Zaid bin Arqam, “Siapakah ahlulbait Rasulullah itu wahai Zaid? Apakah istri-istri Rasulullah saw termasuk Ahlulbaitnya?” Zaid menjawab,”istri-istri Rasulullah saw tidak termasuk ahlulbaitnya. Yang dimaksud ahlulbait Rasulullah adalah mereka yang haram menerima sedekah sepeninggal Rasulullah saw.” “Siapa mereka itu?”tanya Hashin lagi. Zaid menjawab,”Mereka itu adalah keluarga ‘Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.” Namun riwayat ini lemah dari segi perawinya.
• Ketiga, pendapat kalangan syiah dan beberapa kalangan ahlussunah, yang dikuatkan dari sebab kejadian (asbabun nuzul) turunnya ayat tersebut. Tarmudzi meriwayatkan dari Ummu Salamah (seorang istri Nabi saw) bahwa ketika turun ayat tersebut, Rasulullah, ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan, dan Husein berada di rumahnya. Ummu Salamah bertanya, “Tidakkah aku juga termasuk ahlulbaitmu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Engkau berada dalam kebaikan. Engkau dari istri-istriku.” Kemudian Rasulullah memanggil ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein, kemudian menyelimuti mereka semua dengan sorban sambil berkata,”ya Allah, merekalah ahlulbaitku, hindarkanlah noda dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.” Pada riwayat lain yang disebutkan oleh al-Khazin, Rasulullah menyelimuti ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein dengan kisa/pakaian penutup dan tidak mengizinkan Ummu Salamah untuk bergabung, seraya berkata kepada,”Engkau dalam kebaikan...” .Jadi, ayat di atas menunjukkan bahwa ahlulbait Rasulullah itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin ‘Ali, dan Husein bin ‘Ali.
• Satu hal yang menjadi perhatian bahwa ayat tersebut-yang selanjutnya disebut ayat Tathir-adalah ayat yang terpisah dan bukan merupakan bagian dari ayat yang lain. Hal ini tampak dari setiap orang yang menceritakan sebab-sebab turunnya. Penyusunan ayat-ayat Al Quran tidak dilakukan dengan melihat dari sisi urutan waktu, melainkan dari sebab yang bermacam-macam, sesuai dengan pendapat para pengumpul Al Quran. Jadi pendapat yang mengatakan bahwa ahlulbait itu adalah istri-istri Rasulullah saw tertolak karena alasan ini. Lagi pula, tidak seorang pun istri-istri Rasulullah mengaku bahwa ayat Tathir ini turun untuk dirinya.
Riwayat Tarmudzi di atas telah disahihkan oleh Ibnu Jarir. Brgitu juga Ibnu Mundzir dan al-Hakim meriwayatkan dan dibenarkan oleh Ibnu Mardawaih. Baihaqi juga meriwayatkannya dari berbagai jalur yang semua berasal dari Ummu Salamah. Riwayat dari Ummu Salamah ini sahih menurut syarat Bukhari. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa ahlulbait Rasulullah saw (yang hidup pada masa itu) adalah: ‘Ali bin Abi Thalib as., Fatimah az-Zahra as., Hasan bin ‘Ali as., Husein bin ‘Ali as.
• Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang menjadi makna ayat tersebut, dan mengapa hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu? Ternyata jawabannya dapat dihubungkan dengan hadits Rasulullah saw,” Perumpamaan ahlulbaitku tidak ubahnya seperti bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa yang menaikinya maka ia selamat. Barangsiapa yang bergantung padanya maka ia menang. Dan barangsiapa yang berpaling darinya maka ia terlempar ke dalam neraka”(dari Kitab Dzakha’ir al-‘Uqba, Muhib ath-Thabari, hal 50). Ini adalah wasiat Rasulullah. Sebagai petunjuk, apabila Rasulullah wafat, seorang dari ahlulbaitnya-lah yang menjadi pengganti. Sebagai pemimpin (Imam), penerus kenabian, tempat rujukan permasalahan (ushul) dan hukum-hukum (fiqih). Seterusnya, jika Sang Pengganti ini wafat, maka posisinya akan ditempati oleh seorang ahlulbait Rasulullah yang masih hidup, demikian seterusnya. Pada kesempatan lain, Nabi menjelaskan mengenai pengganti (washi) beliau satu persatu hingga akhir zaman.
1. ANALISIS TERHADAP PENAFSIRAN SYI’AH
Kemudian beralih pada Uslub pemahaman Nash Al-Qur'an. Ulama sepakat bahwa yang paling pertama dipahami dari sebuah teks adalah makna Dhahirnya, dan tidak dilarikan kepada makna lain kecuali ada Qarinah yang menunjukkan untuk mengambil makna lain tersebut. Hal itu bisa terjadi ketika pemaknaan secara Dhahirnya
bertentangan dengan teks lain, atau mengarah kepada sesuatu yang dilarang oleh
Syari'at.
2. Seiring dengan kaidah di atas, yaitu memaknai Nash dengan melihat makna Dhahir terlebih dahulu. Mereka justru menjadikan Imam-imam Syiah setara dengan Nabi Saw. Dalam porsi menjelaskan maksud dari Firman Allah Swt. Bahkan ketika makna Dhahir teks Al-Qur'an tidak mendukung Aqidah mereka, maka dengan sengaja melarikan maknanya kepada makna Ta'wil sesuai dengan keinginan mereka meskipun maknanya
sudah tidak sesuai dengan makna Dhahir dari teks tersebut.
3. Selain itu, kelompok Itsna Asyariyah memiliki sebuah asumsi bahwasanya Al-Qur'an memiliki sisi yang Dhahir dan Bathin. Yaitu selain dari teks Al-Qur'an yang berada ditangan kaum Muslim sekarang yang merupakan bentuk Dhahir dari Al-Qur'an, masih ada yang tersembunyi melebihi jumlah teks yang telah ada sekarang. Bahkan
menjelaskan bahagian Al-Qur'an yang tersembunyi tersebut ada beberapa pendapat,
sebahagian mengatakan jumlahnya sekitar tujuh kali lipat dari Al-Qur'an Dhahir
dan sebahagian lainnya menganggap lebih banyak lagi yaitu sekitar tujuh puluh
kali lipat dari jumlah teks yang telah ada.
4. Kecendrungan Syiah mengatakan sisi Dhahir dan Bathin Al-Qur'an ini, membuat mereka bersaing dalam mencari sisi yang tersembunyi tersebut. Sampai-sampai mereka tertuju pada sebuah hasil yang rancu. Ada yang menganggap bahwa jumlah yang tersembunyi adalah sepertiga Al-Qur'an, sementara pendapat lain menganggap seperempatnya. Dan setiap yang berpendapat menyandarkan ungkapan mereka kepada para Imam untuk memperkuat anggapan masing-masing ditelinga para pengikutnya. Hal itu mengarah kepada kesesatan yang menyesatkan orang lain.

TELAAH ATAS PENAFSIRAN AL-QUR'AN KALANGAN SYI'AH

TELAAH ATAS PENAFSIRAN AL-QUR'AN KALANGAN SYI'AH

A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah sebuah kitab suci yang kaya makna. Saking kayanya, setiap orang bisa memaknai al-Qur’an secara berbeda, sesuai latar belakang sosial dan latar belakang pengetahuannya. Pantas saja jika Abdullah Darraz men-tamsilkan al-Qur’an ibarat permata yang setiap sudutnya memancarkan cahaya.[1] Begitu juga al-Qur’an, setiap sudutnya memancarkan makna yang demikian mendalam. Jika hal tersebut dikorelasikan dengan tradisi penafsiran al-Qur’an kontemporer (dalam hal ini hermeneutika, yang selalu menyatukan antara teks dan realitas) maka wajar saja jika hal tersebut terjadi. Karena setiap mufassir selalu membawa latar belakang yang berbeda. Akibatnya, al-Qur’an pun ditafsirkan dengan corak dan ragam yang berbeda-beda pula.
Keragaman penafsiran al-Qur’an yang berbeda-beda tersebut semakin mendapat tempatnya pada periode pertengahan (merujuk periodisasi madzhab-madzhab tafsir Abdul Mustaqim[2]). Pada periode ini, berbagai cabang keilmuan Islam, juga ideologi yang berkembang di dunia Islam, turut memberi warna dalam tradisi penafsiran al-Qur’an. Sehingga melahirkan beberapa corak penafsiran yang berbeda-beda. Di antaranya tafsir corak fiqih, teologis, sufistik, falsafi, dan ‘ilmi.[3]
1Di antara gemuruh corak penafsiran di atas, muncul sebuah corak penafsiran yang unik. Unik karena penafsiran ini sama sekali tidak dipengaruhi cabang keilmuan apapun. Corak penafsiran ini hanya dipengaruhi oleh salah satu aliran dalam dunia Islam, yaitu aliran Syi’ah. Aliran yang merupakan rival utama dunia Sunni ini banyak memberikan kontribusi yang berarti dalam tradisi penafsiran di dunia Islam. Dari kalangan ini, telah bermunculan banyak kitab tafsir. Dalam tulisan ini, akan dikaji banyak hal tentang tafsir Syi’ah. Mulai dari pengertian, latar belakang kemunculan, corak dan metodologi yang dipakai, tokoh-tokoh dan karya-karyanya, kelebihan dan kekurangan, serta sekilas contoh penafsiran ulama Syi’ah terhadap al-Qur’an. Paling tidak, tulisan ini mampu membuka mata kita lebar-lebar, bahwa ternyata kalangan Syi’ah pun cukup memberikan apresiasi yang berarti dalam tradisi penafsiran al-Qur’an di dunia Islam, seperti terjadi di kalangan Sunni.
B. Pengertian Tafsir Syi’ah
Sebelum memberikan definisi mengenai tafsir Syi’ah, perlu kita perhatikan dulu dua term, yaitu ‘tafsir’ dan ‘Syi’ah.’ Dalam beberapa literatur ilmu-ilmu al-Qur’an, tafsir bisa disimpulkan sebagai upaya seorang mufassir dalam memaknai dan menjelaskan makna al-Qur’an. Di antaranya Muhammad Husain al-Dzahabi mengatakan, tafsir adalah ilmu yang membahas tentang maksud Allah swt. sesuai dengan kemampuan mufassir, yang mencakup segala sesuatu tentang pemahaman terhadap makna dan penjelasan terhadap maksud ayat.[4] Sedangkan Syi’ah, secara bahasa, adalah pengikut, pendukung, partai, atau kelompok. Menurut istilah adalah kaum muslim yang dalam bidang spiritual dan keagamaan merujuk pada keturunan Nabi Muhammad saw. atau yang disebut sebagai ahl al-bait. Dalam bahasa mudahnya, dan hal ini lazim dikenal di dunia Islam, Syi’ah adalah aliran dalam teologi Islam yang memihak dan sangat memuliakan Ali beserta keluarganya.[5] Bahkan Muhammad Husain al-Dzahabi menyebut Syi’ah sebagai kelompok yang mengagungkan Ali beserta keluarganya. Sampai-sampai disebutkan bahwa Ali adalah imam setelah Rasulullah, dan orang yang berhak mewarisi kekhalifahan.[6]
Selanjutnya, dalam tubuh kelompok Syi'ah sendiri ada dua aliran. Muhammad Ali al-Shabuni menyebutkan, ada kelompok Syi'ah yang terlalu fanatik, sehingga mereka sampai terjerumus pada kekufuran dan kesesatan. Sampai-sampai Ali bin Abi Thalib sendiri membenci mereka. Tokoh utamanya adalah Ibnu Saba,' keturunan Yahudi. Di samping itu, ada juga kelompok Syi'ah yang moderat. Mereka tidak sampai terjerumus pada kekufuran dan kesesatan, walaupun mereka tetap saja menentang kaum Sunni.[7]
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah adalah tafsir al-Qur’an yang muncul dari kalangan Syi’ah yang banyak memakai pendekatan simbolik, yaitu mengkaji aspek batin al-Qur’an.[8] Lebih lanjut kalangan Syi’ah menyebutkan, bahwa aspek batin al-Qur’an bahkan dipandang lebih kaya daripada aspek lahirnya.[9]

C. Latar Belakang Kemunculan Tafsir Syi’ah
Untuk melihat kapan pastinya tafsir Syi’ah muncul di dunia Islam, perlu kiranya diperhatikan faktor yang menyebabkan timbulnya tafsir di kalangan ini. Dalam bahasa Ignaz Goldziher, kita harus mempertanyakan apa tujuan yang ingin dicapai oleh penganut sekte Syi’ah dengan memasukkan kepentingan sekte keagamaan serta prinsip-prinsip dasar mereka ke dalam penafsiran al-Qur’an?[10] Selanjutnya Goldziher menyebutkan bahwa sebenarnya mereka mencari justifikasi dari al-Qur’an untuk melakukan penolakan terhadap kepemimpinan Ahlu Sunnah, dengan melakukan rongrongan atas kekhalifahan di bawah kekuasaan Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyah, kemudian melontarkan gagasan kesucian atas diri sahabat Ali serta para imam.[11] Dari sini penulis melihat, sebenarnya upaya penafsiran (baca: pencarian justifikasi) al-Qur’an sudah dilakukan sejak zaman Ali. Dan momentumnya terjadi pada zaman Dinasti Umayah dan Dinasti Abbasiyyah. Pada masa tersebut golongan Syi’ah mendapat tekanan begitu besar dari penguasa waktu itu. Sehingga penafsiran mereka pun lebih banyak pada upaya-upaya apologetik dari kekuasaan dan pengaruh penguasa. Dimana, perseturuan antara golongan Syi’ah dengan pihak penguasa sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh permasalahan teologis dan politik.
Memperkuat argumentasi di atas, Rosihon Anwar bahkan berani menyebutkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul dengan tujuan memperkuat (melegitimasi) doktrin teologis mereka, terutama doktrin imamah.[12] Hal ini diperkuat dengan bukti-bukti sebagai berikut.
Pertama, menurut Imam al-Dzahabi, tafsir simbolik (dalam hal ini tafsir Syi’ah) muncul pertama kali di kalangan Syi’ah ketika Syi’ah Isma’illiyah muncul, yakni setelah wafatnya Imam Ja’far Shadiq pada tahun 147 H. Adapun doktrin imamah muncul sebelum Ja’far meninggal. Bahkan, ada yang mengatakan, doktrin imamah muncul semenjak Syi’ah Zaidiyyah, aliran Syi’ah yang muncul terlebih dahulu.
Kedua, menurut para teolog muslim, benih-benih doktrin teologis Syi’ah dimunculkan oleh Abdullah bin Saba.’ Beliau menebar benih-benih ini mendapat inspirasi dari ajaran Kristen dan Yahudi. Di antaranya adalah doktrin imamah. Dan perlu diketahui, Ibnu Saba’ hidup pada masa pemerintahan Utsman dan Ali.[13]
Selanjutnya Rosihon menyimpulkan, bahwa tafsir Syi’ah muncul setelah kemunculan doktrin imamah, dan kemunculannya dipicu oleh doktrin ini. Dalam arti tafsir Syi’ah digunakan sebagai alat untuk mencari justifikasi bagi doktrin imamah.[14] Lebih rigidnya, tafsir Syi’ah muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Ismailliyah (147 H). Kemunculan tafsir ini terjadi setelah munculnya doktrin imamah yang muncul bertepatan dengan kemunculan Syi’ah Zaidiyyah.[15] Jika demikian, benar bahwa tafsir Syi’ah muncul sejak zaman pemerintahan Ali, bahkan lebih jauh lagi sejak pemerintahan Utsman. Kemunculannya lebih banyak dipicu oleh kepentingan teologis (atau bahkan politis?) untuk mencari justifikasi doktrin Syi’ah, terutama masalah imamah.

D. Tokoh-tokoh Tafsir Syi’ah dan Karya-karyanya
Prof. Dr. Abubakar Aceh menganggap Ali bin Abi Thalib sebagai ahli tafsir pertama dari kalangan Syi’ah, karena memang beliau diklaim sebagai imam Syi’ah, pewaris utama Rasulullah. Tidak itu saja, beliau juga dianggap sebagai ahli tafsir pertama di dunia Sunni.[16] Selanjutnya, muncul Ubay bin Ka’ab (w. 30 H) dan Abdullah bin Abbas (w. 68 H). Abdullah bin Abbas, yang biasa dipanggil dengan Ibnu Abbas memiliki karya tafsir, yaitu Tafsir Ibnu Abbas. Tafsir ini sering digunakan di dunia Syi’ah. Kedua tokoh ini disebut oleh Imam al-Suyuthi, dalam kitab al-Itqan, sebagai sepuluh ahli tafsir dari sahabat kurun pertama.[17]
Adapun dari kalangan tabi’in, di antaranya Maisam bin Yahya al-Tamanar (w. 60 H), Sa’id bin Zubair (w. 94 H), Abu Saleh Miran (w. akhir abad I H), Thaus al-Yamani (w. 106 H), Imam Muhammad al-Baqir (w. 114 H), Jabir bin Yazid al-Ju’fi (w. 127 H), dan Suda al-Kabir (w. 127 H). Yang terakhir sebenarnya bukan ulama dari kalangan Syi’ah. Tetapi beliau sangat menguasai seluk-beluk tentang Syi’ah. Selanjutnya, ahli tafsir Syi’ah secara umum, dalam arti bukan hanya dari kalangan Syi’ah (insider) tapi juga dari luar Syi’ah (outsider), di antaranya Abu Hamzah al-Samali (w. 150 H), Abu Junadah al-Saluli (w. pertengahan abad 2 H), Abu Ali al-Hariri (w. pertengahan abad 2 H), Abu Alim bin Faddal (w. akhir abad 2 H), Abu Thalib bin Shalat (w. akhir abad 2 H), Muhammad bin Khalil al-Barqi (w. akhir abad 2 H), Abu Utsman al-Mazani 9w. 248 H), Ahmad bin Asadi (w. 573 H), Al-Fattal al-Syirazi (w. 984 H), Jawad bin Hasan al Balaghi (w. 1302 H), dan lain-lain.
Ada juga ulama yang menulis tafsir dengan topik-topik tertentu, seperti al-Jazairi (w. 1151 H) dalam bidang hukum, al-Kasai (w. 182 H) tentang ayat-ayat mutasyabihat, Abul Hasan al-Adawi al-Syamsyathi (w. awal abad IV H) menulis tentang gharib al-Qur’an, Muhammad bin Khalid al-Barqi (w. akhir abad 2 H) menulis tentang asbab al-nuzul, Suduq bin Babuwih al-Qummi (w. 381 H) tentang nasikh-mansukh, dan Ibnu al-Mutsanir (w. 206 H) menulis tentang majaz.[18]
Sementara itu, Ignaz Goldziher menganggap Imam al-Jabir al-Ju’fi (w. 128 H/745 M) sebagai ulama yang pertama kali meletakkan dasar-dasar madzhab Syi’ah. Beliau menulis kitab tafsir. Sayang kitab tersebut tidak sampai kepada kita, kecuali melalui cerita sepotong-sepotong. Selanjutnya, Goldziher hanya mampu menyebutkan kitab tafsir Syi’ah sejak abad ketiga hijriyah. Di antaranya, yang paling tua adalah kitab Bayan al-Sa’adat fi Maqam al-Ibadah karya al-Sulthan Muhammad bin Hajar al-Bajakhti. Kitab ini dirampungkan pada tahun 311 H/923 M. Pada abad keempat hijriyah muncul karya tafsir Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim al-Qummi. Sejak saat itulah, menurut Goldziher, bermunculan produk-produk tafsir dari kalangan Syi’ah. Salah satunya dalah kitab tafsir yang memiliki pembahasan panjang dan terdiri dari 20 bagian karya ulama besar Syi’ah, Abu Ja’far al-Thusi (w. 460 H/1068 M).[19] Kemudian, Muhammad Husain al-Dzahabi menyebutkan beberapa karya tafsir Syi’ah secara lebih gamblang. Dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyara di antaranya tafsir karya al-Hasan al-‘Askari (w. 254 H), tafsir Muhammad bin Mas’ud bin Muhammad bin ‘Iyasy al-Silmi al-Kufi (w. abad III H), tafsir 'Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. awal abad IV H), al-Tibyan karya Abu Ja'far Muhammad bin al-Hasan bin 'Ali al-Thusi (w. 460 H), Majma’ al-Bayan karya Abu Ali al-Fadlal bin al-Hasan al-Thabrasi (w. 538 H), al-Shafi karya Mala Muhsin al-Kasyi, Mir-at al-Anwar wa Misykat al-Asrar karya Abdul Lathif al-Kazirani, Tafsir al-Qur’an karya Abdullah bin Muhammad Ridla al’Alawi (w. 1242 H), Bayan al-Sa’adah fi Maqamat al-‘Ibadah karya Sulthan bin Muhammad bin Haidar al-Khurasani (w. abad XIV H), dan Ala-u al-Rahman fi Tafsir al-Qur’an karya Muhammad Jawad bin Hasan al-Najafi (w. 1352 H).
Dari kalangan Syi’ah Imamiyah Isma'iliyah atau Bathiniyah, baik Mutaqadimin maupun Mutaakhirin, Imam al-Dzahabi tidak menyebutkan secara jelas karya tafsir yang muncul. Begitu juga dari kalangan Syi’ah Babiyah dan Bahaiyah. Karena memang dari tiga aliran Syi'ah ini tidak banyak kitab tafsir yang dijumpai, disebabkan ulama dari kalangan ini tidak memfokuskan diri mengarang kitab tafsir.
Selanjutnya, dari kalangan Syi’ah Zaidiyah ada beberapa karya tafsir. Di antaranya Gharib al-Qur’an karya Imam Zaid bin Ali, al-Tahdzib karya Muhsin bin Muhammad bin Karamah al-Zaidi (w. 464 H), al-Taisir fi al-Tafsir karya Hasan bin Muhammad al-Nahawi al-Zaidi (w. 791 H), tafsir Ibn al-Aqdlam, Tafsir Ayat al-Ahkam karya Hasan bin Ahmad al-Najari, Muntaha al-Maram karya Muhammad bin al-Hasan bin al-Qasim, dan Fath al-Qadir karya al-Syaukani (w. 1250 H).[20]
E. Corak dan Metode Tafsir Syi’ah
Merujuk pada kajian yang dilakukan Rosihon Anwar,[21] secara umum, corak tafsir Syi’ah adalah tafsir simbolik (menekankan pada aspek batin al-Qur’an)[22]. Dalam khazanah Ulum al-Qur’an, tafsir seperti ini biasa dikenal dengan tafsir bathini. Al-Dzahabi menyebut tafsir simbolik dengan ungkapan al-tafsir al-ramzi, sedangkan Habil Dabashi menggunakan istilah tafsir esoterik.[23] Kalangan Syi’ah lebih menekankan penafsirannya pada aspek batin al-Qur’an. Pengklasifikasian al-Qur’an menjadi dua bagian, aspek lahir dan aspek batin, merupakan prinsip terpenting dalam penafsiran Syi’ah, terutama Syi’ah Imamiyah. Bahkan, aspek batin dianggap mereka sebagai aspek yang lebih kaya daripada aspek lahir.
Adapun metode yang dipakai kalangan Syi’ah dalam menafsirkan al-Qur’an, beragam. Setiap aliran dalam Syi’ah berbeda metodenya dalam menafsirkan al-Qur’an. Tapi secara umum, seperti dikemukakan Rosihon Anwar, metode yang umum dipakai kalangan Syi'ah, yang banyak memakai pendekatan tafsir esoterisme-sentris, adalah metode takwil.[24] Dan perlu diketahui, dalam Syi’ah ada beberapa macam aliran. Imam al-Dzahabi membaginya ke dalam dua aliran, yaitu Zaidiyah dan Imamiyah. Aliran Imamiyah terdiri dari Imamiyah Itsna ‘Asyariyah dan Imamiyah Isma’iliyah. Kemudian, Imamiyah Isma’iliyah memiliki tujuh sebutan, yaitu Isma’iliyah, Bathiniyah, Qaramithah, Haramiyah, Sab’iyah, Babikiyah atau Khurmiyah, dan Muhmirah.[25] Setiap aliran tersebut memiliki metode tafsir khasnya masing-masing. Selanjutnya, kita bahas metode tafsir al-Qur’an masing-masing aliran di atas. Setidaknya, pembahasan ini bisa menggambarkan metode tafsir yang digunakan kalangan Syi’ah secara umum.
Metode Tafsir Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah
Adalah sudah menjadi tradisi di kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah untuk menyesuaikan ayat-ayat Allah dengan prinsip-prinsip ajaran mereka. Misalnya dengan prinsip imamah. Sehingga, mereka akan berusaha menjadikan al-Qur’an sebagai dalil (justifikasi) bagi klaim-klaim mereka. Adapun metode yang mereka pakai adalah metode takwil.[26] Dan seperti dijelaskan Jalaluddin al-Suyuthi, takwil adalah memindahkan makna ayat dari makna yang dikehendaki oleh ayat tersebut.[27] Atau seperti yang disimpulkan Rosihon Anwar, takwil adalah mengartikan lafadz dengan beberapa alternatif kandungan makna yang bukan makna lahirnya.[28]
Salah satunya bisa kita lihat dalam kitab tafsir al-Tibyan al-Jami’ li kulli ‘Ulum al-Qur’an karya Abu Ja’far Muhammad bin al-Hasan bin Ali al-Thusi (selanjutnya disebut Syaikh al-Thusi). Di kalangan Syi’ah, kitab ini merupakan kitab al-Thabari-nya kalangan Sunni. Kitab tafsir ini sekaligus merupakan kitab tafsir lengkap pertama yang muncul di kalangan Syi’ah Itsna ‘Asyariyah.
Contohnya seperti ketika menafsirkan surat al-Maidah ayat 55.

انما وليكم الله ورسوله والذ ين امنوا والذ ين يقيمون الصلاة ويؤتون الزكاة وهم راكعون

“Sesungguhnya pemimpinmu adalah Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman, yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat, sedang mereka itu ruku.” (Q.S. al-Maidah [5]: 55).
Al-Thusi menjadikan ayat tersebut sebagai dasar bagi keimaman Ali kw. sesudah Nabi saw. langsung tanpa terputus. Pengertian wali dalam ayat di atas, menurut al-Thusi, adalah ‘yang lebih berhak’ atau ‘yang lebih utama,’ yaitu Ali. Juga, yang dimaksud wa al-ladzina amanu adalah Ali kw. Maka, ayat ini ditujukan kepada Ali kw.[29]
Sama halnya dengan al-Thusi, al-Thabrisi, dalam tafsir Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, menggunakan ayat di atas untuk mengukuhkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Tidak beda dengan pendahulunya, al-Thabrisi juga memaksudkan ayat ini kepada Ali kw.[30]
Melihat contoh di atas, tampak bagaimana Syaikh al-Thusi dan al-Thabrisi menggunakan penakwilan untuk menakwilkan kata wali dan wa al-ladzina amanu yang ditujukan kepada Sayyidina Ali kw. Selain dua mufassir Syi’ah di atas, ada satu lagi mufassir dari kalangan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, yaitu Mala Muhsin al-Kasyi. Berbeda dengan metode yang dipakai al-Thusi dan al-Thabrisi, al-Kasyi, dalam tafsirnya al-Shafi fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, memakai metode tafsir bi al-ma’tsur. Hal ini terbukti dengan banyaknya beliau menggunakan atsar-atsar. Hanya saja, karena bermaksud memperkukuh pandangan madzhabnya, atsar-atsar yang digunakan kebanyakan riwayat-riwayat yang dinisbatkan kepada Ahl al-Bait.[31] Contoh mengenai pendapat bahwa al-Qur’an diturunkan untuk memberikan pujian kepada Ahl al-Bait serta menyalahkan musuh-musuh mereka. Untuk menerangkan hal ini, al-Kasyi menggunakan riwayat Abu Ja’far: “Apabila engkau mendengar Allah menyebutkan suatu kaum dari umat ini dengan sebutan baik, maka kitalah mereka itu. Dan apabila engkau mendengar Allah menyebutkan suatu kaum dengan sebutan yang jelek daripada umat terdahulu, maka mereka itu adalah musuh-musuh kita”.[32]
Metode Tafsir Syi’ah Imamiyah Isma’iliyah (Bathiniyah)
Tidak jauh berbeda dengan metode penafsiran Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah, Syi’ah Imamiyah Ismailiyah, atau dikenal dengan Syi’ah Bathiniyah, juga menggunakan metode takwil dalam upaya-upaya mereka menafsirkan al-Qur’an. Bedanya, mereka tidak menulis kitab-kitab tersendiri yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Mereka hanya melakukan penafsiran pada kitab-kitab secara terpisah.[33] Dan perlu diperhatikan, penakwilan mereka terhadap ayat-ayat al-Qur'an terlalu bebas, dalam arti tidak mengenal aturan-aturan takwil, seperti yang kita ketahui dalam 'Ululum al-Qur'an.[34]
Dalam hal penafsiran al-Qur’an, mereka berpendapat bahwa al-Qur’an itu memiliki dua makna, makna lahir dan makna batin. Dan yang dikehendaki oleh golongan Syi’ah ini adalah makna batin. Karena menurut mereka, orang yang mengambil makna lahir al-Qur’an akan mendapatkan siksaan dari hal-hal yang memberatkan dari kandungan kitab suci itu.[35] Karena pendapat mereka bahwa al-Qur’an itu memiliki makna batin, golongan Syi’ah ini biasa disebut kaum Bathiniyah.[36]
Contohnya adalah ketika mereka menafsirkan surat al-Hijr ayat 99.

واعبدوا ربك حتى يأتيك اليقين

“Dan beribadahlah kepada Tuhan-mu, sehingga datang kepadamu al-yaqin.” (Q. S. al-Hijr [15]: 99). Mereka mengatakan bahwa maksud al-yaqin adalah ma’rifat takwil. Padahal, makna al-yaqin di sini adalah maut. Di lain tempat, kaum Bathiniyah menghalalkan perkawinan dengan saudara-saudara perempuan dan semua muhrim lainnya. Alasan mereka, saudara laki-laki lebih berhak atas saudara perempuan mereka.[37]
Menurut Abu Bakar Aceh, seperti dikutip Rosihon Anwar, penafsiran mereka merupakan cerminan dari keyakinan yang mirip Plato.[38] Mereka percaya bahwa hukuman ibadah seperti shalat, puasa, dan sebagainya hanya perlu buat lapisan rakyat yang bodoh dan awam. Akibatnya, setiap ayat al-Qur'an yang berkaitan dengan taklif, mereka takwilkan dengan mengambil makna batinnya. Mereka menakwilkan wudlu dengan kepemimpinan imam, zakat dengan penyesuaian jiwa melalui pengetahuan keagamaan, dan sebagainya.
Karena terlalu bebasnya mereka menggunakan takwil, Dr. Mahmud Basuni Faudah sampai berani menyebutkan, bahwa mereka bukanlah termasuk golongan orang Islam, walaupun mereka mengklaim sebagai pengikut Ahl al-Bait.[39]
Metode Tafsir Babiyah dan Bahaiyah
Kelompok ini termasuk pendahulu kaum Bathiniyah, sehingga masih termasuk ke dalam kelompok Syi'ah Ismailiyyah.[40] Nama Babiyah dinisbatkan kepada Mirza ‘Ali Muhammad al-Syirazi. Sedangkan Bahaiyah dinisbatkan kepada Bahaullah, gelar Mirza Husain ‘Ali.[41] Tidak jauh berbeda dengan kaum Bathiniyah, kelompok ini juga menggunakan metode takwil. Contohnya bisa kita lihat ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 4.

اذ قال يوسف لأبيه يا ابت اني رأيت احد عشر كوكبا والشمس والقمر رأيتهم لي ساجدين

“Ketika Yusuf berkata kepada bapaknya: “Wahai bapakku, sungguh aku telah melihat (dalam mimpiku) sebelas bintang, matahari, dan bulan. Mereka kulihat sama-sama bersujud kepadaku.” (Q. S. Yusuf [12]: 4).
Menurut kelompok Syi’ah Babiyah, yang dimaksud ‘Yusuf’ adalah Rasulullah dan Husain bin ‘Ali. Sedangkan yang dimaksud ‘matahari’ adalah Fatimah, dan ‘bulan’ adalah Muhammad. Adapun yang dimaksud ‘bintang’ adalah para Imam.
Dalam salah satu kitabnya yang terkenal, yaitu kitab al-Aqdas, kita akan mendapatkan sejumlah penakwilan mereka. Surga ditakwilkan sebagai kehidupan ruhaniah, dan neraka adalah kematian ruhaniah. Kehidupan ruhaniah adalah iman kepadanya, sedangkan kematian ruhaniah adalah dusta terhadap dakwahnya.[42]
Metode Tafsir Syi’ah Zaidiyah
Kelompok Syi'ah Zaidiyah adalah pengikut Zaid bin Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Jika dibandingkan dengan kelompok Syi'ah yang lain, kelompok Syi'ah ini lebih moderat dan lebih dekat dengan paham Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dari segi pandangan keagamaan, kaum Zaidiyah banyak dipengaruhi oleh Mu'tazilah, karena memang Imam Zaid pernah bertemu dengan Washil bin 'Atha,' pendiri aliran Mu'tazilah.[43]
Karena lebih dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah, maka metode penafsirannya pun banyak menggunakan metode tafsir bi al-ma'tsur. Demikian pula, karena banyak dipengaruhi pandangan Mu'tazilah, Syi'ah Zaidiyah juga tidak lepas dari metode tafsir bi al-ra'yi. Bahkan dalam kitab tafsir Fathu al-Qadir, Imam al-Syaukani sampai menyebutkan kitab tafsir al-Qurthubi dan tafsir al-Zamakhsyari sebagai rujukan tafsirnya.[44]
Contohnya adalah ketika Imam al-Syaukani menafsirkan surat Ali Imran ayat 169.
ولاتحسبن الذين قتلوا في سبيل الله امواتا بل احياء عند ربهم يرزقون

"Dan janganlah kamu mengira, bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati. Mereka itu tetap hidup di sisi Tuhannya, mereka itu mendapatkan rizki." (Q. S. Ali Imran [3]: 169).
Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Syaukani mengemukakan, bahwa orang yang mati syahid hidup secara hakiki, bukan secara majazi, dan mereka diberi rizki di sisi Tuhan mereka. Pendapatnya ini, beliau dasarkan kepada pendapat jumhur ulama. Bahkan, berdasarkan hadits Rasulullah saw. beliau mengatakan, bahwa ruh orang yang mati syahid ada dalam rongga perut burung-burung hijau, mereka mendapatkan rizki, dan mereka bersenang-senang.[45]
Itulah gambaran metode tafsir beberapa kelompok Syi'ah, baik Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah, Imamiyah Ismailiyyah (Bathiniyah), Babiyah dan Bahaiyah, maupun Syi'ah Zaidiyah. Ada beberapa perbedaan yang penulis lihat dari empat kelompok Syi'ah ini, dalam metode mereka menafsirkan al-Qur'an. Syi'ah Imamiyah Itsna 'Asyariyah lebih banyak memakai metode takwil. Di samping itu, mereka juga memakai metode tafsir bi al-ma'tsur. Hal ini dapat dilihat dalam kitab tafsir al-Shafi karya Imam al-Kasyi. Adapun Syi'ah Imamiyah Ismailiyah, atau biasa disebut kaum Bathiniyah, walaupun sama memakai metode takwil, tetapi cenderung arogan dan mengabaikan aturan-aturan takwil dalam khazanah 'Ulum al-Qur'an. Di samping itu, kelompok Syi'ah ini tidak pernah memiliki satu pun kitab tafsir. Penafsiran mereka tersebar di dalam kitab-kitab karangan ulama mereka, yang tidak mengkhususkan diri sebagai kitab tafsir.
Sementara itu, kaum Babiyah dan Bahaiyah tidak jauh berbeda dengan pendahulu mereka, yaitu Syi'ah Imamiyah Ismailiyah. Kelompok Syi'ah ini juga memakai metode takwil dalam penafsirannya. Takwil yang mereka pakai jauh lebih melenceng lagi dari kaum Bathiniyah. Sampai-sampai Dr. Mahmud Basuni Faudah menyebut mereka sebagai perkumpulan yang ingin menghancurkan Syari'at Islam.[46] Sehingga wajar saja jika para ulama Mesir, Irak, dan Iran bersepakat mengkafirkan aliran Syi'ah ini.[47]
Adapun Syi'ah Zaidiyah cenderung lebih moderat. Dari segi ajaran, mereka lebih dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Sehingga dalam penafsiran terhadap al-Qur'an, mereka memakai metode tafsir bi al-ma'tsur, yang banyak dipakai kaum Sunni. Pandangan mereka juga tidak jauh berbeda dengan aliran Mu'tazilah. Dan tafsirnya pun banyak memakai metode tafsir bi al-ra'yi, yang banyak dipakai oleh kalangan Mu'tazilah, di samping memakai metode tafsir bi al-ma'tsur.
F. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Syi’ah
Ada satu kelebihan yang bisa kita tiru dari metode tafsir yang digunakan kelompok Syi'ah. Dengan menggunakan metode takwil, kelompok Syi'ah lebih concern kepada makna batin al-Qur'an. Walaupun harus diperhatikan, bahwa banyak takwil mereka yang cenderung arogan. Hal ini berbeda dengan metode tafsir yang berkembang di dunia Sunni, yang cenderung literal dan skriptualis. Sehingga penafsiran al-Qur'an di dunia Sunni kurang memperhatikan weltanschaung al-Qur'an dan aspek batin (esoteris) al-Qur'an, yang merupakan pesan al-Qur'an yang sebenarnya.[48]
Adapun kekurangan tafsir Syi'ah, seperti yang dibicarakan di atas, penggunaan metode takwil mereka cenderung arogan dan tidak mengindahkan aturan-aturan takwil dalam khazanah 'Ulum al-Qur'an. Takwil yang mereka pakai hanya didasarkan pada kepentingan mereka mencari justifikasi untuk mendukung pandangan madzhabnya. Akibatnya, makna al-Qur'an sering mereka selewengkan demi kepentingan madzhab mereka. Sehingga, alih-alih mereka mencari makna batin al-Qur'an, malah makna al-Qur'an mereka selewengkan begitu jauh.
G. Penutup
Realitas apapun yang terjadi dalam penafsiran al-Qur'an di kalangan Syi'ah, patut kita hargai, bahwa kelompok ini telah memberikan sumbangan yang begitu besar dalam khazanah tafsir al-Qur'an di dunia Islam. Setidaknya, kita bisa mengambil sesuatu yang baik dari mereka untuk kita kembangkan, dalam rangka mencari metode yang sesuai dalam menafsirkan al-Qur'an. Dan adapun ada metode mereka yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang selama ini kita kenal, bisa kita jadikan cermin, supaya kita tidak terjerumus ke lubang yang sama. Bukankah Rasulullah saw. telah mewasiatkan, khudz ma shafa wa da' ma kadar, ambillah sesuatu yang baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk? [*]


DAFTAR PUSTAKA

Aceh, Abubakar. Perbandingan Madzhab Syi’ah Rasionalisme dalam Islam. Semarang: CV. Ramadhani, 1980
Anwar, Rosihon. Samudera al-Qur’an. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001

Dzahabi, Muhammad Husain al-. al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I dan Juz II. t.tp: t.p, 1976

Faudah, Mahmud Basuni. Tafsir-tafsir al-Qur’an: Perkenalan dengan Metodologi Tafsir, terj. H. M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid. Bandung: Pustaka, 1987

Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir: dari Aliran Klasik hingga Modern, terj. M. Alaika Salamullah, dkk. . Yogyakarta: eLSAQ Press, 2003

Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003

Shabuni, Muhammad Ali al-. Ikhtisar 'Ulum al-Qur'an Praktis, terj. Muhammad Qodirun Nur. Jakarta: Pustaka Amani, 2001

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992

Suyuthi, Jalaluddin al-. al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Juz II. Beirut: Dar al-Fikr, 195