Rabu, 19 Agustus 2009

Kritik Hadist

KRITIK HADITS

Hadits tentang Adzan Sholat

pada Bayi yang Baru Lahir

A. Hadis



H.R. Tirmidzi Hadits No. : 1436 Bab : Adzan Fii udzunil Maulud

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yasyar, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dan Abdurrahman bin Mahdi dia telah berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari ‘Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Raafi’ dari bapaknya dia telah berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Saw. beradzan di telinga Hasan bin Ali ketika baru lahir dengan adzan sholat.” (H.R. Tirmidzi)

H.R. Abu Daud Hadits no : 4441 Bab. Fii Shabiyyi Yuladu Fa Yuadzinu fii Udzunihi

Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya dari Sufyan, dia berkata, “Telah menceritakan kepadaku ‘Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Raafi’ dari bapaknya, dia telah berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Saw. beradzan di telinga Hasan bin Ali ketika baru lahir dengan adzan shalat.” (H.R. Abu Daud)

H.R. Imam Ahmad Hadits no. : 22749 Kitab : Baqi Musnad Anshar. Bab : Hadits bin Abi Rafi’

Telah menceritakan kepada kami Yahya dan Abdurrahman dari Sufyan, dia berkata, “Telah menceritakan kepadaku ‘Ashim bin Ubaidillah dari Ubaidillah bin Abi Raafi’ dari bapaknya dia telah berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah Saw, beradzan di telinga Hasan bin Ali ketika baru lahir dengan adzan shalat.” (H.R. Ahmad)


Hadits Pertama :

Hadits Kedua :

Hadits Ketiga :

B. Kritik Sanad

Untuk mengetahui derajat hadits ini, maka dikeluarkan sanad-sanad dari ketiga hadits tersebut :

a. Sanad riwayat Tirmidzi adalah sebagai berikut :

Muhammad bin Yasyar, Yahya bin Sa’id, Abdurrahman bin Mahdi, Sufyan, ‘Ashim bin Ubaidillah, Ubaidillah bin Abi Raafi’, Abu Raafi’, Rasulullah Saw.

b. Sanad riwayat Abu Daud adalah sebagai berikut :

Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin Ubaidillah, Ubaidillah bin Abi Raafi’, Abu Raafi’, Rasulullah Saw.

c. Sanad riwayat Imam Ahmad adalah sebagai berikut :

Yahya bin Said/Abdurrahman, Sufyan, ‘Ashim bin Ubaidillah, Ubaidillah bin Abi Raafi’, Abu Raafi’, Rasulullah Saw.











Sanad Tirmidzi Sanad Abu Daud Sanad Imam Ahmad

Pada ketiga sanad di atas terdapat rawi yang bernama Ashim bin Ubaidillah (bin Ashim bin Umar). Berikut adalah komentar para ulama hadits mengenai statusnya :

  1. Ibnu Mahdi berkata : haditsnya sangat tertolak.
  2. Yahya bin Ma’in berkata : Haditsnya tidak bisa dipakai hujjah, dan dia itu dhaif.
  3. Imam Bukhari berkata : Munkarul hadits (haditsnya harus ditolak).
  4. Muhammad bin Sa’id berkata : jangan berhujjah dengan hadits darinya.
  5. Imam as-Saaji berkata : dia Mudhtharibul Hadits.

(Mizanul I’tidal 4 : 8 no. 461, Tahdzibu-Tahdzib 5:42. Tuhfatul-Ahwadzi)

C. Kesimpulan Kritik Sanad

- Hadits Matruk (yang harus ditinggalkan) adalah hadits yang salah satu perowinya dituduh kadzib (berdusta).

- Hadits Maudhu’ (palsu) adalah hadits yang salah satu perowinya dinilai kadzdzib (pendusta) yakni berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

D. Kritik Matan

Adzan di telinga bayi di saat ia baru lahir, hampir termasuk perkara yang disepakati. Fenomena seperti ini, nampak tersebar di Negeri kita. Selain itu, banyak da’i yang berpangku tangan dan tidak mau meneliti masalah ini lebih detail lagi dari segi keakuratan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini, masalah disyari’atkannya adzan ditelinga bayi di hari kelahirannya. Apalagi setelah tersebarnya kitab-kitab Syaikh Al-Albaniy ra. di dalamnya beliau menjelaskan bahwa derajat hadits adzan di telinga bayi adalah “hasan”, tanpa mau lagi berusaha mengetahui dan meneliti derajat hadits-hadits itu.

Kebanyakan buku atau kitab yang menjelaskan hal-hal yang mesti dilakukan ketika menyambut sang buah hati adalah amalan satu ini yaitu adzan dan iqomah di telinga bayi yang baru lahir. Bahkan bukan penulis-penulis kecil saja, ulama-ulama hebat pun menganjurkan hal ini. Namun, tentu saja dalam permasalahan ini yang jadi pegangan dalam beragama adalah bukan perkataan si A atau si B. Yang seharusnya yang jadi rujukan setiap muslim adalah Al Qur’an dan hadits yang shohih. Boleh kita berpegang dengan pendapat salah satu ulama, namun jika bertentangan dengan Al Qur’an atau menggunakan hadits yang lemah, maka pendapat mereka tidaklah layak diikuti.

Pendapat Para Ulama Madzhab

Para ulama Hambali hanya menyebutkan permasalahan adzan di telinga bayi saja. Para ulama Hanafiyah menukil perkataan Imam Asy Syafi’i dan mereka tidak menganggap mustahil perkataannya (maksudnya : tidak menolak perkataan Imam Asy-Syafi’i yang menganjurkan adzan di telinga bayi, pen). Imam Malik memiliki pendapat yang berbeda yaitu beliau membenci perbuatan ini, bahkan menggolongkannya sebagai perkara yang tidak ada tuntunannya.
Sebagian ulama Malikiyah menukil perkataan para ulama Syafi’iyah yang mengatakan bahwa tidak mengapa mengamalkan hal ini. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 2/779, pada Bab Adzan, Wizarotul Awqof, Asy Syamilah).

Ulama lain yang menganjurkan hal ini adalah Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman dan Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud. Inilah pendapat para ulama madzhab dan ulama lainnya. Intinya, ada perbedaan dalam masalah ini. Lalu manakah pendapat yang kuat?

Tentu saja harus kembalikan pada dalil yaitu Firman Allah dan Sabda Rasul-Nya.
Itulah sikap seorang muslim yang benar. Dia selalu mengembalikan suatu perselisihan yang ada kepada Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana hal ini diperintahkan dalam firman Allah : “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya lah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (QS. Asy-Syuura : 10).

Ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah, mengatakan, ”Maksudnya adalah (perkara) apa saja yang diperselisihkan dan ini mencakup segala macam perkara, maka putusannya (dikembalikan) pada Allah yang merupakan hakim dalam perselisihan ini. (Di mana perselisihan ini) diputuskan dengan kitab-Nya dan Sunnah (petunjuk) Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala pada ayat yang lain (QS. An Nisa’ [4] : 59) “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dalam masalah adzan di telinga bayi terdapat khilaf (perselisihan pendapat). Sebagian ulama menyatakan dianjurkan dan sebagiannya lagi mengatakan bahwa amalan ini tidak ada tuntunannya. Dan setelah membahas penilaian hadits-hadits tentang dianjurkannya adzan di telinga bayi di atas terlihat bahwa semua hadits yang ada adalah hadits yang matruk bahkan maudhu’.

Kesimpulannya, hadits adzan di telinga bayi tidak bisa diamalkan sehingga amalan tersebut tidak dianjurkan. Jika ada yang mengatakan, “Kami ikut pendapat ulama yang membolehkan amalan ini.” Maka ini perlu diingatkan dengan kata-kata, “Ingatlah saudaraku, di antara pendapat-pendapat yang ada pasti hanya satu yang benar.

Ibnul Qosim mengatakan bahwa beliau mendengar Malik dan Al Laits berkata tentang masalah perbedaan pendapat di antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah tepat perkataan orang-orang yang mengatakan bahwa khilaf (perbedaan pendapat) boleh-boleh saja (ada kelapangan). Tidaklah seperti anggapan mereka. Di antara pendapat-pendapat tadi pasti ada yang keliru dan ada benar.” Begitu pula Asyhab mengatakan bahwa Imam Malik ditanya mengenai orang yang mengambil hadits dari seorang yang terpercaya dari sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau ditanya, “Apakah engkau menganggap boleh-boleh saja ada perbedaan pendapat (dalam masalah ijtihadiyah, pen)?” Imam Malik lantas menjawab, “Tidak demikian. Demi Allah, yang diterima hanyalah pendapat yang benar. Pendapat yang benar hanyalah satu (dari berbagai pendapat ijtihad yang ada). Apakah mungkin ada dua pendapat yang saling bertentangan dikatakan semuanya benar ? Tidak ada pendapat yang benar melainkan satu saja.” (Dinukil dari Shohih Fiqh Sunnah, 1/64).

E. Kesimpulan Kritik Matan

Hadits Maudhu’ (Palsu) dan tidak bisa dijadikan hujjah

Terkait dengan matan, fungsi adzan adalah untuk memberitahukan waktu shalat dan mengajak untuk melakukan shalat. Adzan boleh saja dilakukan kapan saja sehingga tidak bertentangan dengan segala aspek yang berkaitan dengan matan, namun yang patut dijadikan sorotan adalah orang yang menggunakan hadis ini sebagai hujjah/dalil untuk melakukan amalan karena secara tidak langsung dia telah mengabaikan pendapat para ahli hadits seperti Imam Bukhari (berkata : Munkarul hadits, haditsnya harus ditolak) dan al-Qur’an sebagai sumber segala kebenaran (…….taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu………, an-nisaa. : 59).

Jadi, hadits di atas tidak boleh dijadikan hujjah dalam menetapkan sunnahnya meng-adzan-i, telinga bayi yang baru lahir, karena kelemahan dan kepalsuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar