Rabu, 03 Maret 2010

CONTOH PENAFSIRAN SYI’AH TERHADAP SURAT AL-AHZAB [33]: 33

CONTOH PENAFSIRAN SYI’AH TERHADAP SURAT AL-AHZAB [33]: 33
Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1], dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[2] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlu bait[3] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
[1]. Maksudnya: Istri-istri Rasul agar tetap dirumah dan keluar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara’, perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[2]. Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu adalah Jahiliyah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad SAW. Dan yang dimaksud dengan Jahiliyah sekarang adalah Jahiliyah kemaksiatan yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[3]. “Ahlu Bait” disini yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah SAW
Istilah ahlulbait berasal dari 2 kata dalam bahasa Arab: ahlul/ahli(= penghuni) dan bait/bayt(= rumah).Dalam Islam, istilah ahlulbait merujuk pada Firman Allah SWT: “Sesengguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kami, hai ahlulbait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” (QS. Al-Ahzab:33).
Ada beberapa penafsiran terhadap ayat tersebut:
Pertama, sebagian ulama ahlussunah (al-Qurthubi, Ibnu Kayyah, ath-Thabari, asy-Syaukani, dll) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlulbait dalam ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. Sebab konteks ayat sebelum dan sesudahnya berbicara tentang istri-istri Rasulullah. Muhammad asy-Syaukani berkata,”Sesungguhnya Allah SWT berpesan kepada istri-istri nabi supaya bertakwa, berbicara yang makruf, diam di rumah, tidak bersolek, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.....”
Kedua, pendapat beberapa kalangan ulama ahlussunah yang menyatakan bahwa ahlulbait menurut ayat di atas adalah Bani Hasyim secara keseluruhan. Dalam kitab Muslim diceritakan bahwa Hashin bin Samrah bertanya pada Zaid bin Arqam, “Siapakah ahlulbait Rasulullah itu wahai Zaid? Apakah istri-istri Rasulullah saw termasuk Ahlulbaitnya?” Zaid menjawab,”istri-istri Rasulullah saw tidak termasuk ahlulbaitnya. Yang dimaksud ahlulbait Rasulullah adalah mereka yang haram menerima sedekah sepeninggal Rasulullah saw.” “Siapa mereka itu?”tanya Hashin lagi. Zaid menjawab,”Mereka itu adalah keluarga ‘Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.” Namun riwayat ini lemah dari segi perawinya.
Ketiga, pendapat kalangan syiah dan beberapa kalangan ahlussunah, yang dikuatkan dari sebab kejadian (asbabun nuzul) turunnya ayat tersebut. Tarmudzi meriwayatkan dari Ummu Salamah (seorang istri Nabi saw) bahwa ketika turun ayat tersebut, Rasulullah, ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan, dan Husein berada di rumahnya. Ummu Salamah bertanya, “Tidakkah aku juga termasuk ahlulbaitmu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Engkau berada dalam kebaikan. Engkau dari istri-istriku.” Kemudian Rasulullah memanggil ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein, kemudian menyelimuti mereka semua dengan sorban sambil berkata,”ya Allah, merekalah ahlulbaitku, hindarkanlah noda dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.” Pada riwayat lain yang disebutkan oleh al-Khazin, Rasulullah menyelimuti ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein dengan kisa/pakaian penutup dan tidak mengizinkan Ummu Salamah untuk bergabung, seraya berkata kepada,”Engkau dalam kebaikan...” .Jadi, ayat di atas menunjukkan bahwa ahlulbait Rasulullah itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin ‘Ali, dan Husein bin ‘Ali.
Sedangkan mufassir kalangan Syiah Itsna Asyariah Abu Ali al-Fadhl bin al-Hasan at-Thubrusy dengan Tafsirnya "Majma' al-Bayan fi tafsiril Qur'an" menafsirkan bahwasanya Nabi Saw., Fatimah Ra., Hasan dan Husain Ra. Adalah orang-orang yang Ma'shum (terjaga dari dosa) yang kemudian dijadikan penguat keyakinan mereka akan terjaganya Imam-imam Syiah yang memiliki hubungan Nasab dengan Nabi Saw.






Surah Al-Ahzāb : 33
Pensucian Ahlul Bayt as
“Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan segala jenis kekotoran darimu wahai Ahlul bayt dan mensucikanmu sesuci-sucinya.”
Berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Sa’id Al-Khudri dan Anas bin Malik, ayat ini turun hanya untuk lima orang, yaitu Rasulullah SAW, Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein as
Rasulullah SAW bersabda seraya menunjuk kepada Ali, Fathimah, Hasan, dan Husein as: “Ya Allah, mereka ini adalah Ahlul Baytku, maka peliharalah mereka dari keraguan dan sucikan mereka sesuci-sucinya.” Banyak hadis lain yang searti dengan hadis tersebut. Silahkan rujuk:
• Shahih Muslim, kitab Fadhā`ius Shahābah, bab Fadhā`il Ahli Baytin Nabi SAWW, juz 2, hal. 368, cetakan Isa Al-Halabi; juz 15 hal. 194, Syarah An-Nawawi, cetakan Mesir.
• Shahih Tirmidzi, juz 5, hal. 30, hadis ke 3258; hal. 328, hadis ke 3875, cetakan Darul Fikr.
• Musnad Ahmad bin Hanbal, juz 5, hal. 25, cetakan Darul Ma’arif, Mesir.

Istilah ahlulbait berasal dari 2 kata dalam bahasa Arab: ahlul/ahli(= penghuni) dan bait/bayt(= rumah).Dalam Islam, istilah ahlulbait merujuk pada Firman Allah SWT: “Sesengguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kami, hai ahlulbait, dan menyucikan kamu sesuci-sucinya” (QS. Al-Ahzab:33).Ada beberapa penafsiran terhadap ayat tersebut. Pertama, sebagian ulama ahlussunah (al-Qurthubi, Ibnu Kayyah, ath-Thabari, asy-Syaukani, dll) berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ahlulbait dalam ayat ini adalah istri-istri Rasulullah saw. Sebab konteks ayat sebelum dan sesudahnya berbicara tentang istri-istri Rasulullah. Muhammad asy-Syaukani berkata,”Sesungguhnya Allah SWT berpesan kepada istri-istri nabi supaya bertakwa, berbicara yang makruf, diam di rumah, tidak bersolek, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.....”
• Kedua, pendapat beberapa kalangan ulama ahlussunah yang menyatakan bahwa ahlulbait menurut ayat di atas adalah Bani Hasyim secara keseluruhan. Dalam kitab Muslim diceritakan bahwa Hashin bin Samrah bertanya pada Zaid bin Arqam, “Siapakah ahlulbait Rasulullah itu wahai Zaid? Apakah istri-istri Rasulullah saw termasuk Ahlulbaitnya?” Zaid menjawab,”istri-istri Rasulullah saw tidak termasuk ahlulbaitnya. Yang dimaksud ahlulbait Rasulullah adalah mereka yang haram menerima sedekah sepeninggal Rasulullah saw.” “Siapa mereka itu?”tanya Hashin lagi. Zaid menjawab,”Mereka itu adalah keluarga ‘Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga Abbas.” Namun riwayat ini lemah dari segi perawinya.
• Ketiga, pendapat kalangan syiah dan beberapa kalangan ahlussunah, yang dikuatkan dari sebab kejadian (asbabun nuzul) turunnya ayat tersebut. Tarmudzi meriwayatkan dari Ummu Salamah (seorang istri Nabi saw) bahwa ketika turun ayat tersebut, Rasulullah, ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan, dan Husein berada di rumahnya. Ummu Salamah bertanya, “Tidakkah aku juga termasuk ahlulbaitmu ya Rasulullah?” Rasulullah menjawab,”Engkau berada dalam kebaikan. Engkau dari istri-istriku.” Kemudian Rasulullah memanggil ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein, kemudian menyelimuti mereka semua dengan sorban sambil berkata,”ya Allah, merekalah ahlulbaitku, hindarkanlah noda dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya.” Pada riwayat lain yang disebutkan oleh al-Khazin, Rasulullah menyelimuti ‘Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein dengan kisa/pakaian penutup dan tidak mengizinkan Ummu Salamah untuk bergabung, seraya berkata kepada,”Engkau dalam kebaikan...” .Jadi, ayat di atas menunjukkan bahwa ahlulbait Rasulullah itu adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Fatimah az-Zahra, Hasan bin ‘Ali, dan Husein bin ‘Ali.
• Satu hal yang menjadi perhatian bahwa ayat tersebut-yang selanjutnya disebut ayat Tathir-adalah ayat yang terpisah dan bukan merupakan bagian dari ayat yang lain. Hal ini tampak dari setiap orang yang menceritakan sebab-sebab turunnya. Penyusunan ayat-ayat Al Quran tidak dilakukan dengan melihat dari sisi urutan waktu, melainkan dari sebab yang bermacam-macam, sesuai dengan pendapat para pengumpul Al Quran. Jadi pendapat yang mengatakan bahwa ahlulbait itu adalah istri-istri Rasulullah saw tertolak karena alasan ini. Lagi pula, tidak seorang pun istri-istri Rasulullah mengaku bahwa ayat Tathir ini turun untuk dirinya.
Riwayat Tarmudzi di atas telah disahihkan oleh Ibnu Jarir. Brgitu juga Ibnu Mundzir dan al-Hakim meriwayatkan dan dibenarkan oleh Ibnu Mardawaih. Baihaqi juga meriwayatkannya dari berbagai jalur yang semua berasal dari Ummu Salamah. Riwayat dari Ummu Salamah ini sahih menurut syarat Bukhari. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa ahlulbait Rasulullah saw (yang hidup pada masa itu) adalah: ‘Ali bin Abi Thalib as., Fatimah az-Zahra as., Hasan bin ‘Ali as., Husein bin ‘Ali as.
• Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah yang menjadi makna ayat tersebut, dan mengapa hanya ditujukan kepada orang-orang tertentu? Ternyata jawabannya dapat dihubungkan dengan hadits Rasulullah saw,” Perumpamaan ahlulbaitku tidak ubahnya seperti bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa yang menaikinya maka ia selamat. Barangsiapa yang bergantung padanya maka ia menang. Dan barangsiapa yang berpaling darinya maka ia terlempar ke dalam neraka”(dari Kitab Dzakha’ir al-‘Uqba, Muhib ath-Thabari, hal 50). Ini adalah wasiat Rasulullah. Sebagai petunjuk, apabila Rasulullah wafat, seorang dari ahlulbaitnya-lah yang menjadi pengganti. Sebagai pemimpin (Imam), penerus kenabian, tempat rujukan permasalahan (ushul) dan hukum-hukum (fiqih). Seterusnya, jika Sang Pengganti ini wafat, maka posisinya akan ditempati oleh seorang ahlulbait Rasulullah yang masih hidup, demikian seterusnya. Pada kesempatan lain, Nabi menjelaskan mengenai pengganti (washi) beliau satu persatu hingga akhir zaman.
1. ANALISIS TERHADAP PENAFSIRAN SYI’AH
Kemudian beralih pada Uslub pemahaman Nash Al-Qur'an. Ulama sepakat bahwa yang paling pertama dipahami dari sebuah teks adalah makna Dhahirnya, dan tidak dilarikan kepada makna lain kecuali ada Qarinah yang menunjukkan untuk mengambil makna lain tersebut. Hal itu bisa terjadi ketika pemaknaan secara Dhahirnya
bertentangan dengan teks lain, atau mengarah kepada sesuatu yang dilarang oleh
Syari'at.
2. Seiring dengan kaidah di atas, yaitu memaknai Nash dengan melihat makna Dhahir terlebih dahulu. Mereka justru menjadikan Imam-imam Syiah setara dengan Nabi Saw. Dalam porsi menjelaskan maksud dari Firman Allah Swt. Bahkan ketika makna Dhahir teks Al-Qur'an tidak mendukung Aqidah mereka, maka dengan sengaja melarikan maknanya kepada makna Ta'wil sesuai dengan keinginan mereka meskipun maknanya
sudah tidak sesuai dengan makna Dhahir dari teks tersebut.
3. Selain itu, kelompok Itsna Asyariyah memiliki sebuah asumsi bahwasanya Al-Qur'an memiliki sisi yang Dhahir dan Bathin. Yaitu selain dari teks Al-Qur'an yang berada ditangan kaum Muslim sekarang yang merupakan bentuk Dhahir dari Al-Qur'an, masih ada yang tersembunyi melebihi jumlah teks yang telah ada sekarang. Bahkan
menjelaskan bahagian Al-Qur'an yang tersembunyi tersebut ada beberapa pendapat,
sebahagian mengatakan jumlahnya sekitar tujuh kali lipat dari Al-Qur'an Dhahir
dan sebahagian lainnya menganggap lebih banyak lagi yaitu sekitar tujuh puluh
kali lipat dari jumlah teks yang telah ada.
4. Kecendrungan Syiah mengatakan sisi Dhahir dan Bathin Al-Qur'an ini, membuat mereka bersaing dalam mencari sisi yang tersembunyi tersebut. Sampai-sampai mereka tertuju pada sebuah hasil yang rancu. Ada yang menganggap bahwa jumlah yang tersembunyi adalah sepertiga Al-Qur'an, sementara pendapat lain menganggap seperempatnya. Dan setiap yang berpendapat menyandarkan ungkapan mereka kepada para Imam untuk memperkuat anggapan masing-masing ditelinga para pengikutnya. Hal itu mengarah kepada kesesatan yang menyesatkan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar