Kamis, 11 Maret 2010

Literatur Tafsir Indonesia

Literatur Tafsir Indonesia
Oleh : Arjonson


1. Pengaruh Tradisi Timur Tengah terhadap Tafsir di Indonesia
Sejarah ulama-ulama Indonesia bermunculan melalui berbagai jaringan yang berpusat di Timur Tengah. Oleh karena itu, tradisi dan pemikiran-pemikiran ulama di Indonesia juga tidak terlepas dari jaringan-jaringan tersebut termasuk terhadap tafsir di Indonesia. Islam yang masuk ke Indonesia adalah islam yang dibawa langsung oleh ulama-ulama Arab yang juga bekerja sebagai pedagang. Sebagai pedagang yang lalu-lalang, mereka juga membawa info-info aktual dari Timur Tengah. Perkembangan selanjutnya ditandai dengan banyaknya pemuda-pemuda Melayu dan Indonesia yang mengembara ke pusat peradaban islam di Timur Tengah untuk belajar islam. Ketika mereka kembali, tentu saja membawa info-info serta perkembangan aktual seputar Timur Tengah yang selanjutnya mempengaruhi perkembangan islam di Indonesia termasuk tafsir di Indonesia.

Pengaruh tradisi Timur Tengah terhadap tafsir Indonesia, sbb :
a. Sufisme, penyebaran islam di Indonesia diyakini secara konvensional, melalui proses penyebaran yang sangat damai dengan memakai pendekatan sufisme. Tokoh-tokoh besar nusantara, seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin Sumatrani, ar-Raniri, dan Wali Songo dikenal sebagai tokoh-tokoh sufi dan kalam dengan karakternya masing-masing. Dengan pendekatan sufisme ini, islam diterima secara damai, tanpa melalui perang fisik yang berarti. Pendekatan sufisme/kalam ini, tentu saja akan mempengaruhi cara berfikir jaringan ulama generasi selanjutnya, termasuk ketika diterapkan dalam tafsir atau terjemahan Alquran. Tokoh sufi nusantara, seperti hamzah Pansuri dan Samsuddin Sumatrani seringkali mengutip ayat-ayat Alquran yang kemudian difahami dalam konteks mistisme. Ada riwayat kecil menyebutkan bahwa masa kedua sufi itu, telah muncul tafsir kecil terhadap surah Al-Kahfi yang diperkirakan dan dinilai mengikuti tradisi tafsir Al-Khasin.
b. Terjemahan dan Bahasa, Abdur Rauf Sengkel belajar di Saudi Arabia sejak 1640, dan kembali pada 1661. Beliau inilah yang mempelopori kajian-kajian tentang Alquran, ketika menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Melayu pada pertengahan abad VII. Tafsir tersebut bernama Tarjuman al-Mustafid. Sebagai perintis, tafsir ini mendapat tempat, bahkan tidak hanya di Indonesia. Tafsir ini pernah diterbitkan di Singapura, Penang, Bombay, Istanbul (Matba’ah al-usmaniah, 1302 H/ 1884 M dan 1324 H/ 1906 M), Kairo (Sulaiman al-Maragi), Mekkah (al-Amiriah).
Metodologi Singkel dalam Tarjuman Mustafid sangat sederhana. Tafsir Jalalain yang dikenal sangat ringkas dan padat, itu setelah diterjemahkan menjadi lebih ringkas. Singkel menerjemahkan kata perkata sambari menahan diri untuk menambahkan pemahaman-pemahamannya sendiri. Uraian-uraian linguistic yang menjadi salah satu karakter Tafsir Jalalain serta penjelasan yang tidak perlu, ditinggalkan oleh Singkel. Penjelasan yang dinilai cukup panjang dalam Tafsir Jalalain dan diperkirakan akan memalingkan perhatian, tidak diterjemahkan oleh Singkel, ini dilakukan oleh Singkel agar umat islam Melayu lebih dapat memahami dan mencerna karyanya dengan mudah.
c. Pengajaran atau Pendidikan, maraknya syiar islam di Indonesia, ikut mengundang beberapa ahli untuk menerjemahkan berbagai karya tafsir besar dalam bahasa Indonesia, karya-karya terjemahan ini, pada akhirnya mendukung sistem pengajaran tafsir di Indonesia, yang menurut Quraish Shihab dan Jalaluddin Rahmat memiliki kelemahan-kelemahan tertentu. Metode serogan di pesantren dan muhadarah di perguruan tinggi, hanya mengantar peserta didik menguasai produk tafsir, bukan ilmunya. Kelebihan metode serogan adalah pemahaman peserta didik terhadap seluruh ayat, yang dikemukakan serta metodologi mufassirnya. Sementara itu, kelebihan metode muhadarah lebih terletak pada sisi efisiensi dan spesialisasi. Oleh karena itu, Quraish Shihab menawarkan beberapa hal, seperti pendefinisian dan pengajaran kaidah tafsir, pengenalan kitab-kitab tafsir serta metode pengajaran tafsir yang sesuai dengan teori komunikasi modern.
d. Ideologi, Secara umum referensi standar berbahasa Arab yang digunakan oleh pernulis tafsir di Indonesia, meliputi Tafsir Jauhari, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Maragi, Tafsir al-Qasimi, Tafsir al-Razi, Tafsir al-manar, Tafsir al-Tabari, Tafsir al-Baidawi, Fi Zilal Alquran dan sebagainya. Kesemua tafsir ini mewakili zaman serta ideologinya masing-masing, sehingga dengan sendirinya menggambarkan pemahaman yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pemahaman salah satu sumber tersebut juga mewarnai wacana pemikiran tafsir di Indonesia. Kategorisasi tafsir Indonesia berdasarkan waktu, tidak menemukan signifikasinya, mengingat perbedaan ideologis dalam sumber-sumber klasik tersebut juga mewarnai perbedaan ideologis para penulis tafsir, tentu saja hal ini didasari dengan asumsi bahwa perkembangan islam di timur tengah juga memegang kunci tersendiri.
e. Penggolongan (Golongan Modernis dan Tradisionalis, Penguasa dan Ulama, Golongan keras dan modern), kemunculan beberapa tafsir di Indonesia juga ikut memicu friksi antara kaum modernis dan tradisionalis, penguasa dan ulama, Golongan keras dan modern, dll) . Ulama-ulama tradisionalis lebih berkutat pada persoalan kemasyarakatan (fiqhiyah). Hamka merupakan jebolan gerakan pembaruan agama (madrasah tawalib) di Minangkabau dan akhirnya harus berhadapan dengan Orde Lama, yang nota bene sealur dengan kalangan tradisionalis. Hasbi Ash-Shiddieqi dibesarkan oleh kalangan al-Irsyad. A.Hassan diasuh bahkan kemudian memimpin Persis Bandung. Sementara itu, kalangan tradisionalis hanya bisa bangga dengan Tarjuman Mustafid dan Al-Ibriz karya Bisri Mustafa Rembang.
f. Orientalis Timur Tengah, Abu Bakar Atceh pernah menyerukan menulis berbagai hal tentang Alquran dalam bahasa Indonesia guna membendung arus orientalisme. Hamka juga pernah mewanti-wanti bahaya orientalisme dalam salah satu juz tafsir Azhar. Namun kita sebentar lagi akan menyaksikan sebuah karya orisinil Taufik Adnan Amal berjudul Rekonstruksi Sejarah Alquran yang sangat mengacu pada sumber-sumber Barat.

2. Pengaruh Kolonialisme di Indonesia (Belanda dan Jepang) pada Tafsir di Indonesia

a. Tafsir Indonesia berkembang sesuai dengan kondisi yang ada ketika itu yaitu selalu mendapat tekanan dari penjajah, tidak memiliki kebebasan memberikan penafsiran dan belum adanya akses yang mudah untuk dakwah dan informasi. Tekanan penjajah dengan politik devide et impera, memecahbelah atau mengadu domba antara kekuatan ulama dengan adat, seperti Perang Paderi di Sumatera Barat dan Perang Diponegoro di Jawa.
b. Tafsir kurang berkembang secara cepat karena para ulama/mufassir terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah. Pesantren-pesantren menjadi markas-markas perjuangan, santri-santri (peserta didik pesantren) menjadi jundullah (pasukan Allah) yang siap melawan penjajah sedangkan ulamanya menjadi panglima perangnya. Hampir seluruh wilayah di Indonesia yang melakukan perlawanan terhadap penjajah adalah kaum muslimin beserta ulamanya
c. Belum dijadikannya tafsir sebagai suatu ilmu khusus dan tersendiri sehingga dianggap sudah tergabung dalam ilmu fiqh, tauhid, hadist, dll.
d. Terputusnya atau terpotongnya informasi dan komunikasi dari ulama-ulama disatu daerah dengan daerah lain atau dipusat/dikota-kota terhadap para ulama di daerah sehingga tafsir berkembang dalam dalam daerah maisng-masing, wilayah cakupan kecil, sektoral dan bersifat untuk kalangan sendiri.
e. Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin dalam mengembangkan pemikirannya termasuk tafsir.

3. Kasus Tanjung Priok dan Pengaruhnya terhadap mufassir
Kronologi Kejadian
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan). Pamflet yang mengumumkan acara pengajian remaja di dinding mushalla, dan imbauan agar setiap wanita Muslim mengenakan jilbab, padahal sikap “tak tertulis” pemerintah ketika itu adalah mencurigai jilbab dan aktivitas keagamaan (Islam).
Setelah peristiwa tersebut, beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima. Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab, membakar sepeda motor petugas Koramil itu. Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah. Masing-masing bernama Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur, yang diduga terlibat pembakaran sepeda motor Babinsa. Mereka ditangkap oleh Polres Jakarta Utara, dan kemudian di bon dan ditahan di Kodim Jakarta Utara.
Pada tanggal 12 September 1984, diadakan tabligh akbar di Jalan Sindang oleh, Amir Biki, salah seorang tokoh masyarakat setempat, di dalam ceramahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Mushola As Sa’adah yang ditahan.
Setelah mengetahui keempat orang tersebut belum dibebaskan pada pukul 23.00, 12 september 1984, Amir Biki mengerahkan massa ke kantor Kodim Jakarta Utara dan Polsek Koja.
Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh satu regu Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan, kira-kia 200 meter jaraknya. Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati. Penembakan yang menimbulkan korban sebanyak 79 orang yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 24 orang.


Pengaruhnya terhadap Mufassir
Secara langsung peristiwa tersebut tidak ada kaitannya dengan tafsir atau mufassir, namun dapat dicatat beberapa pengaruh peristiwa tersebut terhadap tafsir atau mufassir, antara lain :
• Suatu bukti buruknya hubungan ulama/mufassir dengan pemimpin sehingga tidak tercipta komunikasi dan koordinasi yang baik.
• Ulama/mufassir tidak bisa memberikan pemikiran dan penafsiran yang bebas terkait dengan kekuasaan dan politik, khususnya ulama/mufassir yang berada diluar lingkaran kekuasaan orde baru. Kebebasan politik dan agama dikungkung/dipenjara sehingga sering tercipta ketegangan-ketegangan antara ulama, mufassir dengan penguasa
• Terciptanya pandangan dikalangan ulama/mufassir dan umat islam ketika itu bahwa kekuasaan militer/ABRI dan pemerintah umumnya dikuasainya oleh non muslim/kafir yang siap memerangi umat islam.

4. Relevansi Peristiwa tersebut dengan Tafsir di Indonesia

• Kebijakan penguasa terhadap aktivis keagamaan islam (ulama, mufassir, dll) sangat merugikan, seperti : azas tunggal pancasila, keluarga berencana, perayaan natal bersama, pelarangan jilbab, pelarangan pengajian, pelarangan demonstrasi/hak bersuara, pelarangan suksesi/pergantian pemimpin (Presiden Soeharto), lingkungan kepresidenan dikuasai non muslim/kafir, dll. Hal ini membuat tafsir yang berkembang adalah tafsir yang mendukung kebijakan pemerintah.
• Media informasi (pers, elektronik, dll) tidak memiliki kebebasan sehingga perkembangan ilmu agama islam khususnya tafsir kurang berkembang. Kondisi tersebut kurang lebih sama ketika penjajahan Belanda dan Jepang. Hanya saja yang menjajah adalah penguasa orde baru terhadap rakyatnya sendiri.
• Tidak mudah menemukan kitab-kitab tafsir di jual secara bebas, sehingga referensi-referensi untuk tafsir sangat terbatas.

1 komentar: