STUDI NASKAH TAFSIR
Al-Baqarah [2]: 228
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[142]. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[143]. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
[142] Quru' dapat diartikan Suci atau haidh.
[143] hal Ini disebabkan Karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga (lihat surat An Nisaa' ayat 34).
Ayat ini menjelaskan tentang masa Iddah wanita yang ditalak dalam keadaan sudah digauli (bukan dalam keadaan hamil, atau bercerai akibat kematian suami, atau wanita yang sudah tidak haid atau belum haid dan bukan pula wanita yang ditalak dalam keadaan belum digauli), yaitu 3 kali suci atau haid. Dalam tulisan ini, penulis ingin menggaris bawahi penjelasan tentang ayat ini pada kalimat para suami mempunnyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Banyak perbedaan pendapat yang diungkapkan para mufassir tentang ayat ini, diantaranya:
1. Pendapat Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Dzilalil Qur’an
Sayyid Quthb berpendapat bahwa yang dimaksud dengan satu tingkatan kelebihan suami dari istri adalah bahwa si suami mempunyai hak untuk meruju’, karena itu suami mempunyai kelebihan dibanding istri, sedangkan istri tidak berhak untuk menentukan ruju’ kepada suami. Karena dalam masa iddah si istri terikat dengan hak suami untuk mengembalikannya kepada perlindungannya. Hak ini dijadikan sebagai hak suami karena dialah yang menjatuhkan talak. Tidaklah masuk akal kalau dia yang menjatuhkan tapi kemudian hak ruju’nya dikembalikan kepada si istri, untuk pergi kesuaminya dan mengembalikannya kedalam perlindungannya. Maka inilah hak yang diberikan kepada suami sesuai dengan posisinya, dan inilah derajat yang ditentukan di tempat ini, bukan hak mutlak dalam segala hal.
2. Pendapat as-Sya’rawi dalam tafsir al-Munir
Sedikit berbeda dari pendapatnya Sayyid Quthb, as-Sya’rawi memahami ayat para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya adalah bahwa suami mempunyai derajat wilayah (kekuasaan) dan Qawwamah (kepemimpinan). Derajat kekuasaan bersifat lebih umum dan universal, karena tiap masyarakat mempunyai pandangan masing-masing tentang pengertian kekuasaan. Sedangkan derajat Qawamah (kepemimpinan) lebih bersifat tanggung jawab bukan kesewenang-wenangan.
Suami yang menjadikan kepemimpinannya sebagai sarana untuk bertindak sewenang-wenang tidak mengerti arti Qawwamah. Mengingat arti Qawwamah adalah tanggung jawab yang diberikan agar kehidupan ini berjalan baik. Tidak pantas bagi suami untuk ikut campur dalam urusan wanita, karena kalau suami punya urusan, wanita pun punya urusan. Jadi derajat yang mengangkat harkat dan martabat suami adalah Qawwamah, dengan satu catatan bahwa Qawwamah itu berdampak langsung bagi kewajiban suami untuk menafkahi istri, kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) dengan sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) menafkahkan sebagian dari harta mereka (An-Nisa [4]: 34).
3. Analisis
Berdasarkan pendapat para Mufassir yang telah penulis kemukakan diatas, penulis lebih condong kepada pendapatnya Sayyid al-Quthb bahwa yang dimaksud dengan para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya adalah bahwa si suami mempunyai hak untuk meruju’, karena itu suami mempunyai kelebihan dibanding istri, sedangkan istri tidak berhak untuk menentukan ruju’ kepada suami. Penulis berpendapat bahwa kelebihan tersebut hak ruju’ karena sesuai dengan konteks permasalahan yang dibicarakan dalam ayat ini yaitu mengenai Talak.
Rabu, 03 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar