Rabu, 03 Maret 2010

Langkah-Langkah Penelitian Tafsir

PENDAHULUAN

Sebuah fenomena menggembirakan yang bisa kita saksikan dewasa ini, yaitu semakin besarnya minat umat untuk mendalami ajaran agama mereka dari sumber aslinya, khususnya al-Qur’an al-Karim. Kenyataan ini disambut pula oleh munculnya buku-buku tentang bagaimana menerjemahkan, setidaknya bagaimana memahami terjemahan al-Qur’an. Hanya saja memahami dan mengamalkan al-Qur’an tidak cukup dengan memahami terjemahannya saja. Ada berbagai perangkat keilmuan yang harus diketahui dan diterapkan. Berbagai perangkat ilmu itulah yang lazim disebut dengan ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulumul Qur’an).

Ilmu-ilmu al-Qur’an (Ulumul Qur’an) adalah perangkat keilmuan untuk mampu menafsirkan ayat-ayat yang terkandung di dalam al-Qur’an, usaha penafsiran ini pada awalnya dilakukan oleh Rasulullah saw karena beliaulah yang diberi tugas langsung oleh Allah SWT untuk menjelaskan al-Qur’an kepada umat manusia. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh para sahabat, sehingga muncul tokoh-tokoh sahabat yang dikenal ahli di bidang tafsir. Dari generasi ke generasi usaha ini terus dilakukan, sehingga muncul berbagai karya tentang tafsir yang sampai sekarang dapat kita jumpai.

Saat ini muncul dua istilah yang sepintas sama, tetapi sesungguhnya berbeda, yaitu mufassir dan ahli tafsir[1]. Mufassir adalah orang yang mampu menafsirkan al-Qur’an karena telah memenuhi syarat-syaratnya. Sedang ahli tafsir adalah orang yang menguasai dengan baik tafsir-tafsir yang dihasilkan oleh para mufassir. Biasanya para ulama yang mendalami al-Qur’an, karena pertimbangan etika, lebih memilih disebut sebagai ahli tafsir, bukan mufassir, meski ada diantara mereka yang sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk menjadi mufassir.

Melakukan penafsiran terhadap Kitabullah Ta’ala dan menyibukkan diri dengannya merupakan pekerjaan yang agung nilainya dan memerlukan kebersihan diri, kesucian pikiran, keikhlasan hati dan kecerdasan akal.

1. Syarat-Syarat Penafsir

Orang yang menafsirkan (al-Qur’an) disebut mufassir, jamaknya mufassirun atau mufassirin. Untuk dapat menjadi mufassir, seseorang harus memiliki beberapa persyaratan, baik yang bersifat fisik dan psikis, maupun yang bersifat diniyah (keagamaan) dan syarat-syarat yang bersifat akademik.

Persyaratan fisik dan psikis (kejiwaan) seperti yang umum berlaku pada dunia keilmuan lainnya ialah bahwa mufassir itu harus orang dewasa (baligh) dan berakal sehat. Anak kecil dan orang gila tidak bisa diterima penafsirannya. Kemudian secara psikis, seorang mufassir juga harus memiliki etika penafsiran yang lazim dikenal dengan sebutan adab al-mufassir (niat baik dan tujuan benar, akhlak baik, taat beramal, jujur dan teliti, tawadu’, berjiwa mulia, vokal menyampaikan kebenaran, tenang dan jelas, berwibawa dan terhormat, berpenampilan baik, menempuh langkah-langkah penafsiran).

Syarat lain yang tidak kurang pentingnya ialah beragama islam (muslim). Orang kafir tidak dibenarkan menafsirkan al-Qur’an, karena dia tidak memiliki kepentingan apa pun dengan al-Qur’an dan juga dikhawatirkan akan menimbulkan kekacauan baik dikalangan umat islam secara internal maupun kemungkinan konflik eksternal dengan umat beragama lain. Adapun persyaratan akademik yang harus dipenuhi oleh para mufassir ialah menguasai perangkat-perangkat keilmuan, terutama ilmu-ilmu yang tergolong ke dalam kelompok ilmu-ilmu al-Qur’an (ulum al-Qur’an)[2].

Secara ringkas syarat-syarat yang harus dimiliki setiap mufassir[3], adalah sbb :

a. Akidah yang benar.

b. Bersih dari hawa nafsu.

c. Menafsirkan lebih dahulu, Qur’an dengan Qur’an.

d. Mencari Penafsiran dari Sunnah.

e. Meninjau pendapat para sahabat (bila tidak didapatkan penafsiran dalam sunnah).

f. Memeriksa pendapat tabi’in (generasi setelah sahabat).

g. Pengetahuan bahasa arab dengan segala cabangnya.

h. Pengetahuan dengan pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an.

i. Pemahaman yang cermat.

2. Ilmu-Ilmu yang Diperlukan dalam Menafsirkan Al-Qur’an

Para mufassir pada dasarnya dituntut supaya memiliki kemampuan akademik (ilmiah) dalam menafsirkan al-Qur’an. Terutama ilmu-ilmu yang tergolong ke dalam ilmu-ilmu al-Qur’an. Setiap mufassir dituntut supaya membekali dirinya dengan sejumlah cabang ilmu pengetahuan yang rinciannya dikemukakan para ahli tafsir dengan segala macam perbedaan.

Jalal al-Din al-Suyuthi (w. 911 H/1505 M) menyebutkan sedikitnya ada 15 cabang ilmu yang harus dikuasai/dikenali oleh seorang mufassir, yaitu : ilmu bahasa arab, ilmu nahwu, ilmu al-tashrif, ilmu al-isytiqaq, ilmu ma’ani, ilmu badi’, ilmu bayan, ilmu qira’at, ilmu ushul al-Din, ilmu ushul al-fiqh, ilmu asbab al-nuzul, ilmu nasikh wa al-mansukh, ilmu fiqh, hadits-hadits al-nabawi, ilmu-ilmu al-mauhibah/ladunni.

Muhammad ’Abd al-’Azhim al-Zarqani mengemukakan bahwa ilmu yang harus dimiliki mufassir yaitu : bahasa arab dan nahwu, sharf, ilmu-ilmu balaghah, ilmu ushul al-fiqh, ilmu tawhid, ilmu asbab al-nuzul, ilmu al-qashash, ilmu al-nasikh dan al-mansukh, hadits-hadits yang menjelaskan ayat-ayat yang mujmal dan ayat mubham serta ilmu al-mauibah.

Muhammad Rasyid Ridho (1282-1354 H/1865-1935 M), meringkasnya sebagai berikut :

  1. Memahami hakikat lafal-lafal mufradat (kosa kata) yang digunakan al-Qur’an.
  2. Memahami gaya bahasa (asalib) al-Qur’an.
  3. Mengetahui berbagai keadaan masyarakat (ilm ahwal al-basyar).
  4. Mengenali persis ke arah mana mufassir hendak menunjukkan (membawa masyarakat) dengan al-Qur’an.
  5. Menguasai sejarah Nabi dan para sahabatnya.

Komponen ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menafsirkan al-Qur’an secara global dapat dikelompokkan sbb :

  1. Kelompok ilmu bahasa (al-nahwu, al-tashrif, balaghah, dll).
  2. Kelompok ilmu ushul al-adin (kalam, tawhid, teologi, dll).
  3. Kelompok ilmu-ilmu syari’ah (fiqh dan ushul fiqh, dll).
  4. Kelompok ilmu-ilmu al-Qur’an (tafsir, qira’at, munasabah, asbab al-nuzul, dll).
  5. Kelompok ilmu-ilmu sosial (politik, sejarah, hukum, dll).
  6. Kelompok ilmu-ilmu ilmu pengetahuan alam (matematika, biologi, kimia, dll).
  7. Kelompok Ilmu al-mawhibah (ilmu ladunni, atau langsung dari Tuhan).
  8. Kelompok ilmu lain yang langsung maupun tidak langsung memiliki manfaat bagi penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.

3. Langkah-Langkah Penelitian Penafsir

Dilihat dari metode yang digunakan maka langkah-langkah penelitian penafsir dapat uraikan sebagai berikut[4]:

  1. Metode Tahlili

1. Menerangkan hubungan (munasabah), baik antara satu ayat dan ayat lain maupun antar satu surat dan surat lain.

2. Menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul)

3. Menganalisis kosakata (mufradat) dan lafal dari sudut pandang bahasa arab.

4. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya.

5. Menerangkan unsur-unsur fashahah, bayan, i’jaznya, bila dianggap perlu, khusus yang mengandung keindahan balaghah.

6. Menjelaskan hukum dari ayat yang dibahas (khusus ayat ahkam).

7. Menerangkan makna dan maksud syara’ yang terkandung dalam ayat yang bersangkutan.

  1. Metode Ijmali (Global)
    1. Menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an secara garis besar.
    2. Menggunakan ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an dengan menambahkan kata atau kalimat penghubung sehingga memudahkan orang untuk memahaminya.

  1. Metode Muqarin (Perbandingan)
    1. Perbandingan ayat dengan ayat lain (inventarisasi ayat-ayat yang mempunyai kesamaan dan kemiripan redaksi, meneliti kasus yang berkaitan dengan ayat tersebut dan mengadakan penafsiran)[5].
    2. Perbandingan ayat al-Qur’an dengan hadis.
    3. Perbandingan hasil mufassir dengan mufassir lainnya.

  1. Metode Maudhu’i (Tematik)

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).

2. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut.

3. Menyusun runtutan ayat sesuai masa turunnya disertai asbab an-nuzul-nya.

4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-masing.

5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline).

6. Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan dengan pokok pembahasan.

7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat yang mempunyai pengertian yang sama atau menyatukan/mengompromikan ayat ’am (umum) dan khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), sehingga didapat satu kesimpulan.

Daftar Isi :

1. DR. Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, Gaya Media Pratama, 2007.

2. Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001.

3. Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta : Litera AntarNusa, 2006.

4. DR. Rosihan Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia Bandung, 2008.

5. Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, Metodologi Studi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.



[1] DR. Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, Gaya Media Pratama, 2007.

[2] Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an 2, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001, h. 143.

[3] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta : Litera AntarNusa, 2006, cet. ke-9, h. 462.

[4] DR. Rosihan Anwar, M.Ag, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia Bandung, 2008, h. 185

[5] Prof. DR. H. Abuddin Nata, M.A, Metodologi Studi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. hal.221

Tidak ada komentar:

Posting Komentar