Rabu, 19 Agustus 2009

Hadis ke 20

20Hadist ke

Malu adalah Sebagian dari Iman






Abu Mas’ud Uqbah bin Amr Al-Anshari Al-Badri ra. berkata, Rasulullah saw bersabda,

Sesungguhnya sebagian yang masih ingat orang dari ajaran para nabi terdahulu adalah, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu.” (h.r. Bukhari).

A. MARAJI’UL HADIST (REFERENSI HADITS)

1. Shahih Bukhari, Al-Anbiya’. Hadist nomor 3296. Al-Adab, Idza lam Tastahi .......... Hadits nomor 5769.

2. Sunan Abu Dawud : Al-Adab, Al-Haya’. Hadist nomor 4796.

3. Sunan Ibnu Majah : Az-Zuhd, Al-Haya’. Hadist nomor 4183.

B. AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)

Jika makna malu adalah mencegah dari melakukan sesuatu yang tercela, maka seruan untuk memiliki malu, pada dasarnya, adalah seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Di samping itu rasa malu adalah ciri khas dari kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah kekurangan dan suatu aib.

Rasa malu juga merupakan bagian dari kesempurnaan iman. Sebagaimana disebutkan dalam Hadist Nabi, diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa suatu ketika Rasulullah saw. melewati seorang laki-laki Anshar yang sedang menasehati saudara laki-lakinya agar jangan malu-malu, kemudian Rasulullah saw. Bersabda : “Biarkanlah saudara laki-lakimu itu, karena rasa malu adalah bagian dari iman.”[1] (HR. Bukhari).

Hadis ini diriwayatkan pula dari sejumlah sahabat, dan As-Sayuthi mengatakan hadis ini diriwayatkan secara mutawatir.[2] Hadis lain menyebutkan, dari Imran bin Hushain ra. ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Perasaan malu selalu mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim dikatakan : “Setiap perasaan malu mengandung kebaikan.”[3]

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Rasulullah saw. bersabda : “Cabang iman ada enam puluh lebih, atau tujuh puluh lebih, yang paling utama adalah ucapan : LAA ILAAHA ILLALLAAH, dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan malu dalah bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Abu Sa’id Al-Khudriy ra. ia berkata : “Rasulullah saw. sangat pemalu, melebihi seorang gadis yang dipingit. Ketika melihat sesuatu yang tidak beliau sukai, kami dapat mengetahui melalui raut wajahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Banyak Ulama berpendapat : “Hakikat malu adalah budi pekerti yang mengajak agar meninggalkan kejelekan dan mencegah dari mengurangi hak orang lain.” Dalam riwayat Abul Qasim Al-Junaid ra. ia berkata : “Malu adalah memandang kebaikan dan melihat kekurangan diri sendiri. Dari kedua pandangan ini, lahirlah perasaan yang dinamakan malu.”

Pada dasarnya, Islam dalam keseluruhan hukum dan ajarannya, adalah ajakan yang bertumpu pada kebaikan dan kebenaran. Juga merupakan seruan untuk meninggalkan setiap hal yang tercela dan memalukan. Karena itulah, Imam Nawawi memilih hadist ini untuk ditempatkan dalam kitab Arba’in yang disusunnya.

Mengenai hadits ini beliau berkata, "Siklus hukum-hukum Islam berada pada hadits ini." Maksudnya, perintah yang bermakna wajib atau sunah, orang akan malu untuk tidak melaksanakannya. Sedangkan larangan yang bermakna haram atau makruh, orang akan malu untuk melanggarnya. Sedangkan terhadap apa-apa yang dibolehkan (mubah) maka rasa malu karena melakukannya atau sebaliknya tidak ada masalah. Dengan demikian, hadits ini mencakup lima hukum yang ada."

C. MUFRADATUL HADITS (ARTI KATA)




: Sesungguhnya apa-apa yang diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu. Sedangkan Imam Ahmad dan Al-Bazzar meriwayatkan dari Hudzaifah ra. dengan, "Ucapan terakhir, dari ucapan para nabi terdahulu, yang melekat di hati orang-orang jahiliyah.......”




: Yang disepakati dan dianjurkan oleh para nabi terdahulu, dan belum dihapus. Sekaligus bisa dipahami bahwa “malu” adalah perkara yang disepakati oleh para nabi. Dalam riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan perawi lain, disebutkan dengan lafadz (arab) An-Nubuwwah Al-Ula (Nabi-nabi sebelum Muhammad).




: Jika kamu tidak malu. Riwayat lain menyebutkan lafadz (arab) Idza Lam Tastahi. Akan tetapi riwayat pertama lebih shahih. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak malu untuk membuat perumpamaan.........” (Al-Baqarah : 26), selengkapnya ayat tersebut berbunyi ;

Sesungguhnya Allah tidak malu untuk membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.” (Al-Baqarah: 26).




: Maka lakukan apa saja sekehendak kamu. Kalimat perintah disini bermakna ancaman. Seolah-olah, jika kamu tidak malu maka lakukan apa saja, dan Allah swt. akan membalasmu.

D. BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADIST

UQBAH BIN AMR BIN TSA’LABAH BIN ASIRAH BIN ‘ATHIYAH AL-KHAZRAJI

AL-ANSHARI / ABU MAS’UD AL-BADRI RA.

Dia lebih dikenal dengan kun-yahnya, Abu Mas’ud Al-Badri. Tidak ikut dalam perang Badar. Tapi karena pernah tinggal di dekat mata air Badar maka ia disebut Al-Badri.

Ikut serta dalam Bai’at Aqabah kedua, dan termasuk orang yang paling muda usianya ketika itu. Dia ikut serta dalam perang Uhud dan perang-perang sesudahnya. Menetap di Kufah, dan ada di pihak Ali bin Abu Thalib, saat Ali menjabat sebagai khalifah. Ali mengangkatnya sebagai gubernur Kufah ketika dia pergi menuju Shiffin.

Ibnu Hajar mengatakan, bahwa dia meninggal setelah tahun empat puluh hijriyah karena dia mengalami masa kepemimpinan Mughirah bin Syu’bah di Kufah.

E. FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)

1. Warisan Para Nabi

Rasa malu adalah sumber akhlak yang terpuji, juga merupakan pendorong untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Wajar jika ia merupakan peninggalan nabi-nabi terdahulu. Yang tidak terhapus sebagaimana beberapa syariat yang lain. Lalu terpelihara secara turun temurun. Diwarisi para nabi dari zaman-ke zaman hingga akhirnya sampai pada umat Islam. Jika rasa malu adalah warisan dari para nabi dan rasul, juga jelas-jelas disebutkan dalam Al-Qur'an, maka kita wajib memelihara rasa malu yang telah diberikan Allah kepada kita. Menjadikannya sebagai akhlak, agar warisan para nabi tersebut tetap terpelihara dan menghiasi kehidupan.

2. Pengertian Hadist

Terdapat tiga versi penjabaran, ketika mengartikan hadits di atas :

a. Perintah, dalam hadits ini, menunjukkan ancaman. Seakan Rasulullah saw. bersabda, "Jika kalian tidak memiliki rasa malu maka lakukanlah sekehendakmu, dan Allah swt. akan membe­rimu siksa yang pedih. Perintah seperti ini juga terdapat dalam Al-Qur'an, "Berbuatlah sesuka hati kalian." (Fushshilat: 40), selengkapnya ayat tersebut berbunyi ;

“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Berbuatlah sesuka hati kalian; Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Fushshilat: 40)

b. Perintah, dalam hadits ini, berarti pemberitahuan. Seolah hadits di atas memberitakan bahwa jika seseorang tidak lagi memiliki rasa malu, ia akan melakukan apa saja. Karena yang bisa mencegah dari perbuatan keji adalah rasa malu. Tidak heran, jika rasa malu telah tiada, ia akan asyik dengan segala bentuk perbuatan keji dan munkar.

c. Perintah, dalam hadits ini, menunjukkan Ibahah (dibolehkan). Artinya, jika kalian tidak malu untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak dilarang oleh syara' maka lakukanlah. Karena pada prinsipnya, sesuatu yang tidak dilarang oleh syara' maka boleh dilakukan.

Namun demikian, yang paling shahih dari tiga pengertian di atas adalah pengertian pertama. Meskipun Imam Nawawi lebih memilih pengertian ketiga dan Ibnu Qutaibah memilih pengertian kedua.

3. Dua Macam Rasa Malu

a) Rasa malu pembawaan

Yaitu rasa malu yang sudah dibawa manusia sejak lahir. Rasa malu ini bisa membawa pemiliknya kepada akhlak yang mulia, yang diberikan Allah swt. pada hamba-Nya. Jika rasa malu ini terus tumbuh dan berkembang maka seseorang tidak akan melakukan maksiat, perbuatan keji, dan berbagai perilaku yang menunjukkan kerendahan akhlak. Karena itu, rasa malu merupakan sumber kebaikan dan salah satu cabang dari keimanan. Rasulullah saw. bersabda, "Rasa malu adalah satu cabang dari cabang-cabang keimanan."

Diriwayatkan bahwa Umar ra. berkata, "Barangsiapa yang merasa malu maka akan bersembunyi. Barangsiapa yang bersembunyi maka akan berhati-hati dan barangsiapa yang berhati-hati maka ia akan terjaga.”

b) Rasa malu yang diperoleh melalui usaha

Yaitu rasa malu yang didapat seseorang setelah ia mengenal Allah swt., mengetahui keagungan-Nya, kedekatan-Nya terhadap hamba-Nya, bahwa Allah swt. senantiasa mengawasi hamba-hamba-Nya dan bahwa Allah swt. mengetahui apa yang tampak dan apa yang tersembunyi, sekali pun dalam hati.

Seorang muslim yang berusaha mendapatkan "rasa malu” ini, akan dapat memperoleh keimanan dan sikap ihsan yang tinggi derajatnya.

Rasa malu ini, juga bisa diperoleh setelah seorang hamba menyadari betapa besar nikmat Allah swt. dan merasa bahwa ia masih teramat kurang dalam mensyukuri nikmat-nikmat tersebut.

Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu' (bersumber dari sabda Rasulullah saw.) bahwa Ibnu Mas'ud, "Merasa malu kepada Allah adalah dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkan, menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya, dan selalu mengingat mati dan cobaan. Barang siapa yang menghendaki akhirat maka akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan siapa pun yang melakukan hal tersebut maka ia telah memiliki rasa malu kepada Allah."

Jika dalam diri manusia, tidak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan maupun yang diusahakan, maka tidak ada lagi yang menghalanginya untuk melakukan perbuatan yang keji dan hina.

Bahkan, menjadi seperti orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tidak berbeda dengan golongan setan.

4. Rasa Malu yang Tercela

“Rasa malu” yang dapat menjadikan seseorang menghindari perbuatan keji adalah akhlak yang terpuji karena akan menambah sempurnanya iman dan tidak mendatangkan satu perbuatan kecuali kebaikan. Namun, "rasa malu" yang berlebih-lebihan hingga membuat pemiliknya senantiasa dalam kekacauan dan kebingungan serta menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu untuk melakukannya, maka ini adalah akhlak yang tercela, karena ia merasa malu bukan pada tempatnya.

Seorang ulama berkata, "Malu bukan pada tempatnya adalah kelemahan." Hasan Al-Bashry berkata, "Malu ada dua macam : Yang pertama merupakan bagian dari iman, dan yang kedua merupakan kelemahan."

Bisyr bin Ka'b Al-`Adawi berkata kepada Imran bin Hushain ra., "Kami mendapati dalam beberapa catatan, bahwa malu ada yang mendatangkan ketenangan dan ketakwaan kepada Allah swt., dan ada yang mendatangkan kelemahan." Imran ra berkata, "Aku beritahukan kepadamu, apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw, ....,” dikatakan oleh Imran ra. Bahwa "rasa malu" yang tertuang dalam sabda Rasulullah saw, adalah rasa malu yang menjadi pendorong untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Adapun sikap meninggalkan perintah Allah swt., atau perbuatan yang lain, bukanlah termasuk sifat malu yang terpuji.

5. Malu bagi Muslimah

Wanita muslimah dihiasi dengan rasa malu. Mereka mendampingi laki-laki dalam menjalani kehidupan dan mendidik anak-anak dengan fitrah kewanitaan yang masih bersih. Hal ini sebagaimana disyaratkan Allah swt. dalam Al-Qur'an, ketika bercerita tentang salah satu putri Nabi Syu'aib yang diperintahkan untuk memanggil Nabi Musa.

“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami." Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu." (Al-Qashash : 25).

Putri Syu’aib as. berjalan dengan penuh rasa iffah (kebersihan jiwa) ketika bertemu seorang laki-laki. Dia berkata sambil menutupkan kain ke wajahnya karena malu dan demi menutupi auratnya.[4] Berjalan dengan penuh rasa malu dan jauh dari usaha untuk menarik perhatian. Meskipun demikian, ia tetap mampu menguasai diri dan menyampaikan apa yang harus disampaikan dengan jelas. Inilah rasa malu yang bersumber dari fitrah yang suci.

Seorang gadis yang anggun dan shalihah, secara fitrah akan merasa malu ketika bertemu dan berbicara dengan laki-laki. Akan tetapi karena kesucian dan keistiqamahannya ia tidak gugup. la berbicara dengan jelas dan sebatas keperluan.

Adapun wanita yang senantiasa bersolek, pergi tanpa muhrim, bahkan bercampur baur dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, tanpa ada keperluan yang dibolehkan secara syar'i, maka wanita seperti ini jelas bukan hasil didikan Al-Qur'an ataupun Islam, Mereka ini telah mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah swt. dengan rasa tidak tahu malu, kemaksiatan, dan berbagai perbuatan keji. Dengan demikian, mereka telah membantu terealisasinya keinginan musuh Allah swt. untuk melakukan kerusakan.

6. Buah dari Rasa Malu

Rasa malu akan membuahkan Iffah (kesucian diri). Maka, barangsiapa yang memiliki rasa malu, hingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia telah menjaga kesucian dirinya, Rasa malu juga akan membuahkan sifat Wafa' (selalu menepati janji). Ahnaf Ibnu Qois berkata, "Dua hal yang tidak akan berpadu dalam diri seseorang : dusta dan harga diri. Sedangkan harga diri akan melahirkan sifat Shidiq (berkata benar), wafa', malu, dan 'iffah."

7. Lawan dari Rasa Malu

Kebalikan dari rasa malu adalah rasa tidak tahu malu. Ini adalah sifat yang tercela, karena mendorong pemiliknya untuk melakukan kejahatan, tidak peduli dengan segala cercaan, hingga ia melakukan semua kejahatannya dengan terang-terangan.

Rasulullah saw. bersabda, "Semua hambaku akan dimaafkan, kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan.”

Orang yang tidak memiliki rasa malu kepada Allah swt. dan kepada sesama manusia, tidak akan jera dari melakukan kejahatannya kecuali dengan hukuman yang tegas dan keras. Karena, ada sebagian orang yang memiliki rasa takut dan tidak memiliki rasa malu.

8. Rasa Malu dalam Mengajarkan Masalah Agama

Rasa malu adalah kebaikan. Jadi, semakin tebal rasa malu yang dimiliki, maka semakin banyak kebaikannya, dan semakin sedikit rasa malu yang dimiliki, maka semakin sedikit kebaikannya. Namun tidak perlu ada rasa malu saat mengajarkan masalah-masalah agama dan saat mencari kebenaran. Allah swt. berfirman : “.......dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar.” (Al-Ahzab : 53), selengkapnya ayat tersebut ;

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri- isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.” (Al-Ahzab : 53)

F. KESIMPULAN

Dari hadist diatas dapat disimpulkan bahwa :

1. Rasa malu merupakan bagian dari kesempurnaan iman jika makna malu adalah mencegah dari melakukan sesuatu yang tercela, maka seruan untuk memiliki malu, pada dasarnya, adalah seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Di samping itu rasa malu adalah ciri khas dari kebaikan .

2. Dua macam rasa malu yaitu rasa malu pembawaan yang sudah dibawa manusia sejak lahir dan rasa malu yang diperoleh melalui usaha yaitu rasa malu yang didapat seseorang setelah ia mengenal Allah swt.

3. Namun, "rasa malu" yang berlebih-lebihan hingga membuat pemiliknya senantiasa dalam kekacauan dan kebingungan serta menahan diri untuk berbuat sesuatu yang sepatutnya tidak perlu malu untuk melakukannya, maka ini adalah akhlak yang tercela, karena ia merasa malu bukan pada tempatnya.

4. Rasa malu akan membuahkan Iffah (kesucian diri). Maka, barangsiapa yang memiliki rasa malu, hingga dapat mengendalikan diri dari perbuatan buruk, berarti ia telah menjaga kesucian dirinya, Rasa malu juga akan membuahkan sifat Wafa' (selalu menepati janji), Kebalikan dari rasa malu adalah rasa tidak tahu malu. Ini adalah sifat yang tercela, karena mendorong pemiliknya untuk melakukan kejahatan, tidak peduli dengan segala cercaan, hingga ia melakukan semua kejahatannya dengan terang-terangan.

5. Namun tidak perlu ada rasa malu saat mengajarkan masalah-masalah agama dan saat mencari kebenaran.

G. DAFTAR PUSTAKA

  1. An-Nawawi, Imam, Al-Ahadist al-Arba’in al-Nawawiyah, syarh : Dr. Mushthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mitsu, Al-Wafi fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, (terj; Muhir Dhofir, Lc, Al-I’Itishom Cahaya Umat – Jakarta : 2007, cet-VI).
  2. An-Nawawi, Al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarof, Riyadhus Shalihin, Darul Firk, Beirut, t.t. 1990.
  3. An-Nawawi, Iman, Terjemahan Hadist Arba’in An-Nawawiyah, (terj. Tim Sholahuddin, Sholahuddin Press – Jakarta : 2006, cet-IV).

4. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 3, (terj; Drs. Syihabuddin, Gema Insani – Jakarta : 2004, cet-VI).

5. Ad-Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi, Asbabul Wurud, Latar Belakang Timbulnya Hadist-Hadist Rasul, (terj; H.M. Suwarta Wijaya dan Drs. Zafrullah Salim, Kalam Mulia – Jakarta ; 2005, cet-VII).



[1] Ringkasan Hadis Shahih Bukhari, Pustaka Amani, Jakarta. Imam Az-Zabidi

[2] Asbabul Wurud, Kalam Mulia, Jakarta. Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi Ad-Damsyiqi

[3] Riyadhus Shalihin, Darul Fikr, Beirut, t.t. Al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarof An-Nawawi

[4] Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani, Jakarta. Muhammad Nasib Ar-Rifa’i

Tidak ada komentar:

Posting Komentar