SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
USHUL FIQH
A. Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ushul Fiqh I, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqh. Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :
A : Pendahuluan
B : Sejarah Singkat Timbulnya Ushul Fiqh
C : Aliran-Aliran Ushul Fiqh
D : Kitab-Kitab Ushul Fiqh
E : Obyek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
F : Materi Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
J : Ilmu Penunjang Ilmu Ushul Fiqh
L : Daftar Pustaka
B. Sejarah Singkat Timbulnya Ushul Fiqh
Ushul Fiqh sebagai suatu cabang ilmu tersendiri sebagaimana kita kenal sekarang ini, pada masa Rasulullah saw belum dikenal. Hal ini disebabkan pada masa Rasulullah saw, dalam memberikan fatwa dan menetapkan hukum dapat secara langsung mengambil dari nas al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya atau beliau menjelaskan hukum dengan melalui Sunnahnya yang pada hakekatnya merupakan wahyu juga.
Di samping itu beliau juga berijtihad dalam menetapkan hukum-hukum tertentu, akan tetapi ijtihadnya itu dilakukan secara naluri, artinya dilakukan tanpa memerlukan usul dan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai pedoman dalam mengistinbatkan hukum.
Pada masa Rasulullah saw, Ushul Fiqh seperti yang kita kenal sekarang ini belum diperlukan, sebab rasulullah saw dan para sahabat, ketika itu dapat memahami secara langsung hukum-hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’an.
Pada masa sahabat, Ilmu Ushul Fiqh belum juga dikenal. Para sahabat Nabi saw memberikan fatwa-fatwa dan menetapkan hukum dengan berdasarkan pada dalil-dalil nas yang dapat mereka pahami berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami bahasa arab, tanpa memerlukan kaidah bahas yang dijadikan pedoman dalam memahami nas. Mereka juga menetapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak dijumpai nasnya secara langsung dengan berdasarkan pada kemampuan mereka dalam memahami perkembangan pembinaan Hukum Islam, lantaran pergaulan mereka dengan Rasulullah saw.
Disamping itu, mereka juga menyaksikan sebab-sebab turunnya ayat dan wurudnya hadis-hadis Nabi saw. Mereka memahami tujuan dan dasar-dasar pembentukan hukum. Tegasnya, para sahabat mempunyai pengetahuan yang sempurna tentang al-Qur’an, as-Sunnah, bahasa arab dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, rahasia-rahasia dan tujuannya.
Pengetahuan ini disebabkan karena pergaulan mereka dengan Nabi saw, disamping kecerdasan yang mereka miliki sendiri. Karena itu, mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengistinbatkan hukum, seperti halnya pula mereka tidak membutuhkan kaidah-kaidah untuk mengetahui bahasa mereka sendiri.
Sesudah Islam meluas dan bangsa arab telah banyak bergaul dengan bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah peraturan bahasa arab. Selain untuk menjaga bahasa arab sendiri (yang juga dijadikan sebagai bahasa al-Qur’an) dari pengaruh-pengaruh bahasa lain, juga agar bahasa itu mudah dipelajari oleh bangsa lain. Disamping itu, banyak peristiwa-peristiwa baru yang timbul dalam segala lapangan kehidupan. Keadaan ini menyebabkan para ulama dan pendukung syari’at islam berusaha untuk mencari dan menentukan hukum bagi peristiwa-peristiwa tersebut.
Lebih jauh dari itu, para ulama tersebut telah tersebar di negeri-negeri yang baru dan telah terpengaruh pula oleh lingkungan dan cara berfikir negeri-negeri tiu yang berbeda satu dengan lainnya. Keadaan itu, sangat berpengaruh terhadap pola penetapan hukum. Karena itulah, maka masing-masing ulama dalam melakukan ijtihad dan menetapkan hukum menempuh metode-metode sendiri yang dipandangnya benar atau yang sesuai dengan jalan pikiran mereka masing-masing. Keadaan ini sudah tentu menimbulkan perbedaan pendapat, baik menyangkut keputusan hakim maupun menyangkut fatwa, bukan saja antara satu negeri dengan negeri lainnya, bahkan antara satu daerah dengan daerah lainnya dalam satu negeri.
Perbedaan cara dan metode dalam menetapkan hukum tersebut, akhirnya menimbulkan aliran-aliran tertentu, yang dikenal dengan aliran Ahl al-Hadist dan aliran Ahl ar-Ra’y. Kedua aliran ini mempunyai cara dan corak masing-masing dalam menetapkan hukum. Para pengikut aliran-aliran ini, sekalipun berani mengeluarkan fatwa untuk mempertahankan pendapat alirannya. Mereka menjadikan sesuatu sebagai hujjah, padahal sebenarnya tidaklah patut dijadikan hujjah, demikian pula sebaliknya.
Semua kenyataan di atas, menjadi suatu dorongan dan motivasi disusunnya batas-batas dan bahasan-bahasan mengenai dalil-dalil syara’ dan syarat-syarat ataupun cara dan metode dalam menggunakan dalil-dalil tersebut. Timbulllah pikiran untuk membikin peraturan-peraturan dalam melakukan ijtihad dan penetapan hukum. Peraturan-peraturan itu dimaksudkan agar dapatb diperoleh pendapat yang benar dan agar dapat dipersempit jarak perbedaan pendapat tersebut. Keseluruhan peraturan itu berupa kaidah-kaidah yang harus dipegangi oleh para mujtahid dalam mengistinbatkan hukum. Kaidah-kaidah itulah, yang kemudian disebut dengan istilah ”Uŝul al-Fiqh” dan merupakan ilmu yang berdiri sendiri.
Hanya saja pada awal pertumbuhannya ini Ushul Fiqh baru merupakan ilmu yang masih sangat sederhana sekali. Ushul Fiqh dikenal sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri pada abad kedua Hijriyah.
Ibn an-Nadîm dalam kitab ”al-Fihrasat” yang ditulis sekitar tahun 377 H, menjelaskan bahwa yang mula-mula menyusun kaidah-kaidah seperti di atas itu adalah Abu Yusuf (wafat tahun 182 H) dan Muhammad Ibn al-Hasan (wafat tahun 189 H), keduanya murid Abu Hanifah[1]. Akan tetapi susunan kedua ulama ini tidak sampai kepada kita sekarang ini.
Sedangkan orang yang pertama sekali membuat kodifikasi kaidah-kaidah dan bahasan-bahasan ilmu ini, sehingga merupakan himpunan kaidah yang disusun secara sistematis, serta masing-masing kaidah itu dikuatkan dengan dalil dan alasan yang mendalam, adalah al-Imam Muhammad Ibn Idris asy-Syafi’i (wafat tahun 204 H) dalam kitabnya ”Ar-Risalah”
Dalam kitab itu dibicarakan tentang al-Qur’an dan kehujjahannya, al-Hadis dan macam-macamnya, al-Ijma’, al-Qiyas dan dasar-dasar mengistinbatkan hukum. Kitab itulah sebagai kodifikasi yang pertama sekali dalam Ilmu Ushul Fiqh yang paling dulu disusun yang sampai kepada kita sekarang ini. Oleh sebab itulah, para ulama sepakat bahwa peletak batu pertama Ilmu Ushul Fiqh adalah Imam as-Syafi’i.
Setelah muncul kita ar-Risalah itu, ulama-ulama yang lainpun berlomba-lomba menyusun ilmu ini, sehingga Ilmu Ushul Fiqh menjadi lengkap seperti sekarang ini.
Perlu diketahui pula bahwa tiap-tiap mujtahid mempunyai kaidah-kaidah istinbat hukum tersendiri. Kaidah-kaidah itu ditulis dan dibukukan biasanya oleh murid-muridnya. Sebelum dibukukan sering kali didiskusikan lebih dahulu. Karena itulah, maka dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh juga timbul aliran-aliran[2].
C. Aliran-Aliran Ushul Fiqh
Para ulama ahli ushul dalam membahas persoalan ushul fiqh tidak selalu sama. Meskipun mereka sepakat tentang mecam-macam pembahasan, akan tetapi dalam pemakaian istilah dan metode tidak semuanya sama. Metode yang ditempuh oleh ulama ushul pada garis besarnya ada 2 (dua) macam dan masing-masing merupakan bentuk dan corak yang menimbulkan aliran-aliran, yaitu :
1. Metode Ulama Kalam
Dinamakan ”Metode Ulama Kalam”, sebab dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang biasa ditempuh oleh Ulama Ahli Kalam dalam membahas Ilmu Kalam sehingga dinamai Aliran Ulama Kalam. Para Ulama Ahli Ushul Fiqh yang termasuk dalam aliran ini memakai akal pikiran yang rasional dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan kaidah-kaidah, tanpa menghiraukan apakah kaidahnya itu sesuai dengan pendapat para imam mahzabnya atau tidak peduli apakah kaidah-kaidah tersebut sesuai dengan furu’ (hukum yang sudah berkembang di masyarakat) yang telah berjalan dan berkembang dalam mahzab dan masyarakat. Yang termasuk aliran ini, ialah kebanyakan para Ahli ushul Fiqh dari ulama Syafi’iyah dan Malikiyah[3].
2. Metode Ulama Hanafiyah
Disebut dengan ”Metode Ulama Hanafiyah”, karena banyak digunakan oleh ulama Hanafiyah dan oleh sebab itu dikenal pula dengan Aliran hanafiyah. Dalam membahas soal-soal yang berkaitan dengan Ushul Fiqh, mereka selalu memperhatikan dan menyesuaikan dengan soal-soal furu’, sehingga dapatlah dikatakan bahwa mereka sebenarnya menetapkan kaidah-kaidah berdasarkan pada soal-soal furu’ yang telah diterima dan disepakati oleh imam-imam mereka, tanpa memandang alasan-alasan dan jalan pikiran yang rasional. Ushul dari Aliran Hanafiyah ini banyak berisi hukum furu’, karena itulah yang menjadi dasar bagi pembentukan kaidah-kaidah yang ditetapkan[4]
D. Kitab-Kitab Ushul Fiqh
Kitab Ushul Fiqh ”Ar-Risâlah” yang disusun oleh Imam asy-Syafi’i merupakan kitab yang muncul pertama kali, setelah itu para ulama berbagai aliran mulai banyak menyusun kaidah-kaidah dan menyusunnya dalam sebuah kitab. Beberapa kitab ushul fiqh yang penting :
1. Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan metode Ulama Kalam :
a. Al-Mu’tamad : karangan Abu al-Husain Muhammad ibn aly al-Basri (Aliran Mu’tazilah, wafat tahun 413 H).
b. Al-Burhân : karangan Abu al-Ma’aliy Abdul Malik ibn Abdillah al-Juwaini an-Naisaburi, terkenal dengan Imam al-Haramain (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 487).
c. Al-Mustasfây : karangan Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 505 H).
Diantara ketiga kitab diatas, yang sampai kepada kita sekarang adalah ”Al-Mustasfây” yang lain merupakan nukilan-nukilan saja. Sesudah kitab-kitab tersebut, ada 2 (dua) kitab yang merupakan ikhtisar dari ketiga kitab tersebut, yaitu :
a. Al-Mahsûl : disusun oleh Fahruddin Muhammad ibn Umar ar-Razi (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 606 H).
b. Al-Ihkām fī Usûl al-Ahkām
: disusun Abu al-Husain Aly, yang terkenal dengan Saifuddin al-Amidi (ulama Syafi’iyah, wafat tahun 631 H)[5].
2. Kitab-kitab ushul fiqh yang disusun dengan metode Ulama Hanafiyah :
a. Usûl Fiqh : disusun oleh Abu al-Hasan al-Karakhi (wafat tahun 340 H).
b. Usûl Fiqh : disusun oleh Abi Bakar ar-Razi (wafat tahun 370 H).
c. Ta’sīs an-Nazar : oleh Abu Zaid Ubaidillah ibn Umar al-qadi ad-Dabusiy (wafat tahun 430 H).
d. Usûl al-Bazdawiy : oleh Fakhrul Islam Aly ibn Muhammad al-Bazdawi (wafat 482 H).
e. Tamhīd al-Fusûl fi al-Usûl : oleh Syamsul Aimmah Muhammad ibn Ahmad as-Sarkhasi (wafat 483 H)
f. Al-Manār : oleh Abdullah ibn Ahmad, terkenal julukan Hafiduddin an-Nasafi (wafat 790 H).
E. Obyek Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
Ilmu Ushul fiqh membicarakan dan menyelidiki tentang keadaan-keadaan dalildalil syar’i serta menyelidiki pula bagaimana caranya dalil-dalil tersebut menunjukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Karena itu, yang dibicarakan dalam Ushul Fiqh ialah dalil-dalil syara’ dari segi penunjukkannya kepada hukum bagi perbuatan para mukallaf.
Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh perbuatan para mukallaf itu mesti ada atau dapat ditetapkan hukumnya, untuk itu diperlukan adanya dalil yang menjadi dasar menetapkan hukum itu. Ada cara atau metode yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya dan selanjutnya harus ada pula ahli yang memenuhi persyaratan untuk melakukannya. Kesemuanya itu menjadi obyek pembahasan Ilmu Ushul Fiqh.
Imam al-Ghazali mengemukakan bahwa untuk mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya dipergunakan adanya beberapa faktor, yaitu :
1. Pengetahuan tentang hukum (Samārah).
2. Pengetahuan tentang dalil-dalil syara’ dan pembagiannya.
3. Pengetahuan tentang metode pengambilan hukum dari dalil.
4. Pengetahuan tentang sifat-sifat dan syarat-syarat yang harus dimiliki seseorang yang melakukannya.[6]
F. Materi Pembahasan Ilmu Ushul Fiqh
Meskipun para Ahli Ushul Fiqh berlainan dalam menyusun materi pembahasannya, akan tetapi mereka mempunyai kesamaan pendapat dalam menitikberatkan pembahasan tiu. Pada dasarnya materi pembahasan Ilmu Ushul Fiqh menjadi 4 (empat) bagian :
1. Hukum
2. Dalil-dalil Syara’ atau Sumber-Sumber Hukum
3. Istinbat Hukum atau Metode Mengeluarkan Hukum dari Dalil
4. Ijtihad
Disamping itu, sebagian ahli ushul fiqh memasukkan materi-materi lain kedalam ilmu ushul fiqh, sesuai pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi.
G. Ilmu Penunjang Ilmu Ushul Fiqh
Seperti halnya juga ilmu-ilmu lainnya, Ilmu Ushul Fiqh-pun selalu berhubungan dengan ilmu-ilmu lain yang menjadi penunjangnya. Di antara ilmu-ilmu yang menunjang Ilmu Ushul Fiqh adalah :
1. Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid mengajar tentang Tuhan yang menurunkan syari’at, Nabi-nabi yang membawa syari’at itu serta kehujjahan syari’at tersebut.
2. Ilmu Bahasa Arab
Al-Qur’an dan al-Hadist keduanya berbahasa arab, oleh karena itu orang yang akan mendapat kesulitan dalam mengeluarkan hukum dari al-Qur’an dan al-Hadist apabila tidak mengetahui bahasa arab.
3. Ilmu Asrâr at-Tasyři’ (ilmu yang membahasa rahasia-rahasia tasyri’)
Ilmu ini menerangkan maksud-maksud syara’ dalam memberikan taklif (bebanan hukum) kepada mukallaf, jaminan kemaslahatan manusia dalam aturan-aturan syara’ serta menjelaskan tujuan-tujuan syara’ dalam menetapkan aturan-aturannya.
4. Ilmu Qawā’id al-Fiqhiyyah
Ilmu yang menerangkan kaidah-kaidah hukum yang yang kulli yang diambil dari dalil-dalil kulli dan maksud-maksud syara’ guna memberi taklif kepada mukallaf[7]
H. Daftar Pustaka
1. Abdul Salam, Drs. Zarkasji, Pengantar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh I (Lembaga Studi Filsafat Islam, Yogyakarta. 1994).
2. Ash-Shiddieqiy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Pengantar Hukum.
[1] Ibn an-Nadim, al-Fihrasat, (Beirut; Dar al-Ma’arifah, 1978), hlm. 286 dan 288
[2] Ibid., hlm. 16-17. Aly Hasaballah, Usul at-Tasyri’ al Islamiy (Mesir : Dar al-Ma’rif, 1964) hlm. 4-5.
[3] Ibid., hlm. 18
[4] Ibid.
[5] Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Usûl, hlm. 20
[6] Al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustasyafa, hlm. 14
[7] Prof. Dr.T.M. Hasbi Ash-Shiddieqiy, Pengantar Hukum, I : hlm. 131-132.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar