Kamis, 20 Agustus 2009

Hadist Arbain ke 38

38Hadist ke

Menjadi Wali Allah

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, Allah swt. berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku menyatakan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada apa yang telah Aku wajibkan. Hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah sunah hingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, Aku menjadi pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatan yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tangan yang ia gunakan untuk menggenggam dan menjadi kaki yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia meminta kepada-Ku, pasti Ku-beri, dan jika memohon perlindungan-Ku pasti Kulindungi” (h.r Bukhari).

A. MARAJI’UL HADIST (REFERENSI HADITS)

Shahih Bukhari, Ar-Riqaq, Bab At-Tawadlu’. Hadist nomor 6137.

B. AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)

Allah swt. memberikan mahabbah dan penjagaan terhadap para wali-Nya. Wujud dari penjagaan itu adalah kemarahan Allah bila seseorang berusaha mencelakakan mereka. Hadits ini menjelaskan siapa wali Allah dan kekasih-Nya baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, ada yang berpendapat bahwa hadits ini adalah hadits yang paling mulia, yang berbicara tentang para wali.

Imam Asy-Syaukani berkata, "Hadits ini mengandung banyak faedah berharga, bagi orang yang betul-betul memahami dan mentadabburinya dengan benar."

At- Thukhi berkata, "Hadits ini adalah pijakan menuju Allah, mengenal dan mencintai Allah. Juga merupakan jalan unrtlk merealisasikan berbagai kewajiban yang sifatnya batin (lman) dan kewajiban yang sifatnya zahir (Islam) dan gabungan antara keduanya (Ihsan). Sedangkan Ihsan, mencakup karakteristik orang-orang yang berusaha menuju Allah swt. Karakteristik tersebut di antaranya: zuhud, ikhlas, muraqabah, dan lain sebagainya.

C. MUFRADATUL HADITS (ARTI KATA)




: Memusuhi, baik dengan ucapan maupun perbuatan.


: Wali. Bisa berarti "mencintai" karena ia sungguh-sungguh dalam melakukan ibadah dan ketaatan. Bisa juga berarti "yang dicintai" karena Allah senantiasa menjaganya sebagai balasan atas ketaatannya. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata dalam kitabnya Fathul Bari berpendapat bahwa wali adalah orang yang mengenal Allah, selalu menaati-Nya, dan ikhlas dalam beribadah kepada,Nya. Allah swt. Berfirman :

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia[1] dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (Yunus: 62-64).

: Maka aku menyatakan perang kepadanya.




: Amalan-amalan sunah.




: Meminta perlindungan kepada-Ku.




: Sungguh Aku akan melindunginya.

D. BIOGRAFI SINGKAT PERAWI HADIST

Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dusi (Abu Hurairah ra.)

Abu Hurairah ra. dilahirkan di negeri Yaman, yatim semasa kecilnya. Abdu Syams (hamba matahari) nama semasa Jahiliyah, Abdurrahman bin Shakhr Ad-Dusi nama setelah taslim (masuk Islam). Masuk islam pada tahun terjadinya Perang Khaibar (tahun 629) tidak lama selepas Perjanjian Hudaibiyah, pada tahun-tahun pertama setelah memeluk Islam ia masih tetap tinggal di Yaman, di tengah-tengah kaumnya, namun akhirnya berpindah ke Madinah. Sesampainya di Madinah, Abu Hurairah mencurahkan waktunya untuk menemani dan melayani Nabi saw.

Abu Hurairah menetap di Suffah dan selalu menyertai Rasul di mana saja beliau berada. Hal itu membuatnya hafal hadis dalam jumlah yang sangat banyak. Abu Hurairah ra. sangat mudah dalam menghafal, karena Nabi pernah berdoa untuknya. Nabi memberi kesaksian atas semangatnya dalam mencari ilmu dan hadist. Ia pernah mengatakan, "Saya menghafal pada saat kaum Muhajirin sibuk berdagang dan kaum Anshar sibuk bercocok tanam."

Ketika pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sofyan r.a. Abu Hurairah dijadikan gubernur Madinah. Kata-kata Abu Hurairah yang sering disenandungkan adalah, "Saya tumbuh dan berkembang dalam keadaan yatim, hijrah dalam keadaan miskin, pernah bekerja pada Bisrah binti Ghazwan dengan bayaran sekadar pengisi perutku. Saya melayani orang apabila turun dari kendaraan dan membantu mengangkat badannya sewaktu naik. Lalu Allah berkenan mengawinkannya (Bisrah binti Ghazwan) denganku. Segala puji bagi Allah yang membuat agama tegak dan membuat Abu Hurairah menjadi pemimpin".

Meninggal di Madinah tahun 57 H. dalam usia 78 tahun. Riwayat hadisnya mencapai 5374 hadist.

E. FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)

1. Wali-wali Allah

Wali Allah adalah orang yang melakukan ketaatan kepada Allah. Dalam AlQur'an, mereka ini dicirikan dengan dua sifat: Iman dan Takwa.

Secara etimologi, kata wali adalah lawan dari ‘aduwwu (musuh) dan muwaalah adalah lawan dari muhaadah (permusuhan). Maka wali Allah adalah orang yang mendekat dan menolong (agama) Allah atau orang yang didekati dan ditolong Allah. Definisi ini semakna dengan pengertian wali dalam terminologi Al Qur’an.

Allah swt. berfirman,

"Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang, orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.” (Yunus : 62,63 ).

Rukun yang pertama kali harus dipenuhi untuk mendapatkan kewalian adalah keimanan kepada Allah. Sedangkan rukun kedua adalah ketakwaan. Dengan demikian, hal ini akan membuka peluang yang sangat luas bagi orang-orang untuk menjadi wali, sehingga akan mendapatkan ketenangan. Dari sini, mereka bisa meningkat lagi pada derajat yang lebih tinggi, yaitu orang-orang yang berada dalam baris terdepan dalam melaksanakan setiap kebaikan.

Ibnu Katsir rohimahulloh menafsirkan: Allah Ta’ala menginformasikan bahwa para wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan bertaqwa. Siapa saja yang bertaqwa maka dia adalah wali Allah[2].

Derajat umat Islam tersebut dalam Al-Qur'an dikelompokkan menjadi tiga golongan :

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami. Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, ada yang pertengahan, dan di antara mereka berada dalam baris terdepan dalam melaksanakan setiap kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32).

Golongan pertama : orang yang menzalimi diri sendiri adalah umat Islam yang masih bergelimang dalam kubangan dosa.

Golongan kedua : pertengahan adalah mereka-mereka yang menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan. Mereka inilah wali-wali Allah. Namun demikian mereka ini kewaliannya masih berada pada tangga yang terendah.

Golongan ketiga : mereka yang senantiasa dalam baris terdepan dalam melaksanakan kebaikan, mereka yang tidak hanya terbatas melakukan kewajiban, tetapi berlomba-lomba melakukan perbuatan sunah. Tidak terbatas menjauhi perkara-perkara haram, namun juga berlomba untuk menjauhi perkara-perkara yang makruh. Mereka inilah yang menempati tangga puncak dalam tangga kewalian.

Wali-wali Allah yang paling mulia adalah para nabi dan rasul. Mereka adalah manusia-manusia yang terjaga dari setiap dosa, dan didukung oleh mukjizat Allah swt.

Menempati urutan di bawahnya adalah para sahabat Rasulullah. Mereka adalah orang-orang yang telah merefleksikan Al-Qur'an dan Sunah Nabi saw.

Berikutnya adalah orang-orang yang hidup setelah mereka, hingga hari ini. Yang perlu diingat, bahwasanya kewalian tidak akan terealisasi dalam diri siapapun kecuali orang tersebut memiliki keimanan dan ketakwaan, mengikuti dan meneladani Rasulutlah saw. dalam setiap ucapan, sikap, dan perbuatannya.

Kesalahan paling fatal yang terjadi dalam masyarakat kita dewasa ini, adalah anggapan yang menyatakan bahwa kewalian hanyalah dimiliki orang-orang tertentu dan jumlahnya sangat sedikit. Yang lebih celaka lagi, jika derajat kewalian tersebut diberikan kepada orang-orang yang tidak diketahui keimanan dan ketakwaannya, bahkan lebih pantas disebut sebagai wali setan, karena sikap dan perilakunya yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam sama sekali.

2. Memusuhi Wali Allah

Siapapun yang menyakiti seorang mukmin, baik jiwa, harta ataupun kehormatannya, maka Allah menyatakan perang kepada orang tersebut. Ketika Allah menyatakan perang kepada seseorang, berarti Allah pasti menghancurkannya. Kadang Allah menunda azab- Nya, tapi bukan berarti melupakan kesalahan orang tersebut. Kadang Allah membiarkan orang zalim berbuat aniaya di muka bumi untuk beberapa saat. Setelah itu Allah menimpakan kepadanya azab yang sangat pedih.

Orang yang memusuhi wali Allah disebut juga telah menyatakan perang kepada Allah. Aisyah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah swt. berfirman, “Barangsiapa yang menyakiti wali-Ku, maka ia telah menyatakan perang kepada-Ku.” (h.r. Ahmad)

Abu Umamah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda. bahwa Allah swt. berfirman, “Barang siapa yang menghina wali-Ku, berarti ia telah menantang-Ku untuk berperang.”[3]

3. Amanah yang Paling Afdhal

Dalam hadist di atas terdapat isyarat yang jelas. "Dan tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada apa yang telah Aku wajibkan."

Umar ra. berkata, "Amalan yang paling afdhal adalah melakukan apa-apa yang telah diwajibkan Allah, meninggalkan perkara-perkara yang telah diharamkan Allah dengan niat yang ikhlas."

Umar bin Abdul Aziz berkata, "Ibadah yang paling afdhal adalah melakukan kewajiban dan menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Karena Allah, dalam mewajibkan berbagai perkara kepada hamba-Nya, hanyalah semata-mata agar hamba-Nya mendekatkan diri kepada-Nya, mendapatkan keridhaan dan karunia-Nya. Kewajiban fisik (yang juga merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah) yang paling utama, adalah shalat. Allah swt. berfirman, “Sujudlah dan dekatkanlah ( dirimu kepada Rabb)." (Al-'Alaq: 19). Rasulullah saw. bersabda, "Saat hamba paling dekat dengan Rabbnya, adalah ketika ia sujud."[4]

Termasuk kewajiban yang dapat mendekatkan diri kepada Allah adalah keadilan pemimpin terhadap orang-orang yang dipimpin. Baik pemimpin yang sifatnya umum, misalnya penguasa, atau pun pemimpin yang sifatnya khusus, misalnya seorang suami terhadap istri dan anaknya.

Abu Sa'id AI-Khudri berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Hamba yang paling dicintai Allah dan paling dekat tempatnya dengan Allah pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil." (h.r. Tirmidzi).

Abdullah bin Umar ra. berkata, bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya orang-orang yang adil akan berada disisi Allah, di atas mimbar yang terbuat dari cahaya, persis disebelah kanan Ar- Rahman (Allah). Kedua tangan-Nya adalah kanan. Mereka itu adalah orang-orang yang berbuat adil dalam setiap keputusan hukumnya, terhadap keluarga dan orang-orang yang dipimpinnya." (h.r. Muslim).

Meninggalkan maksiat adalah bagian dari menunaikan kewajiban. Allah swt. mewajibkan hamba-Nya untuk meninggalkan maksiat.

4. Meninggalkan maksiat adalah bagian dari menunaikan kewajiban

Allah Swt, mewajibkan hamba-Nya untuk meninggalkan maksiat. Allah juga telah menjelaskan bahwa siapapun yang melanggar batasan-batasan-Nya dan melakukan kemaksiatan, maka ia layak mendapatkan siksa yang teramat pedih, baik di dunia maupun di akhirat. Karenanya, meninggalkan maksiat juga masuk dalam keumuman ucapan, “Dan tidaklah hamba-Ku mendekati-Ku dengan sesuatu yang lebih Kucintai daripada apa yang telah Aku wajibkan".

Bahkan, sebenarnya kewajiban meninggalkan maksiat lebih didahulukan daripada kewajiban untuk melakukan ketaatan. Ini diisyaratkan oleh hadits, “Jika aku perintahkan kepada kalian suatu perintah, maka tunaikanlah semampu kalian. Sedangkan jika aku larang kalian terhadap sesuatu, maka janganlah kalian men dekatinya."

Dalam menjelaskan hadits ini, Ibnu Rajab berkata, “Semua maksiat pada dasarnya adalah memerangi Allah." Ibnu Rajab lalu mengutip ucapan Ibnu Adam, “Apakah kamu mampu memerangi Allah?, Siapapun yang maksiat kepada Allah, maka ia telah memerangi-Nya. Semakin besar dosa dari kemaksiatan, maka semakin besar pula ia memerangi Allah. Karena itu, Allah menamakan orang-orang yang memakan riba dan para perampok sebagai orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya. Karena besarnya kezaliman kedua perbuatan tersebut bagi umat manusia."

5. Mendekatkan Diri kepada Allah dengan Amalan Sunah

Mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan sunah harus didahului dengan menunaikan semua kewajiban: shalat, puasa, zakat, haji (jika telah mampu), dan kewajiban lainnya. Disamping itu juga menahan diri dari semua perkara yang makruh. Inilah yang layak mendapatkan mahabbah (kecintaan) Allah swt. Barangsiapa yang dicintai Allah swt. maka Allah akan memberikan karunia untuk selalu menaati-Nya, senantiasa menyibukkan diri dengan zikir dan beribadah kepada-Nya. Dengan demikian. ia layak dekat dengan Allah swt.

Orang-orang seperti inilah yang disinyalir dalam sebuah ayat :

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui(Al-Maidah : 4)

Amalan sunnah yang paling-besar, untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah banyak membaca Al-Qur'an, menendengar, mentadabburi dan memahaminya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits riwayat Tirmidzi dari Abu Umamah ra. Karena bagi orang yang mencintai tidak ada sesuatu yang paling indah selain ucapan orang yang dicintainya. Karenanya Ibnu Mas'ud berkata, "Barangsiapa yang mencintai Al-Qur'an, maka ia mencintai Allah dan Rasul-Nya."

Termasuk amalan sunnah yang paling besar, adalah banyak berzikir. Allah swt. berfirman,

“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku." (Al-Baqarah : 152).

Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, Allah swt. berfirman, "Aku sejalan dengan dugaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam kesendiriannya, maka Aku akan mengingatnya dalam kesendirian- Ku. Jika ia mengingat-Ku di depan publik, maka Aku akan mengingatnya di depan publik yang lebih baik dari mereka" (h.r. Bukhari dan Muslim).

6. Dampak Kecintaan Allah terhadap para walinya

Dampak kecintaan Allah terhadap walinya tergantung dalam hadits di atas, “Jika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia pergunakan untuk mendengar, matanya yang ia pergunakan untuk melihat, tangannya yang ia pergunakan untuk memegang, dan kakinya yang ia pergunakan untuk berjalan.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Hatinya yang ia pergunakan untuk berfikir, dan lisannya yang ia pergunakan untuk berbicara.”

Ibnu Rajab berkata, “Maksudnya, barang siapa yang bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah dengan semua amalan wajib, lalu dengan amalan sunah, maka ia sungguh telah mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian naik lebih tinggi dari derajat keimanan ke derajat ihsan. Sehingga ia beribadah kepada Allah seolah-olah ia telah melihat-Nya. Hatinya dipenuhi ma’rifat, kecintaan, pengagungan, rasa takut, dan rasa rindu kepada Allah. Sehingga apa yang ada di dalam hatinya seolah terlihat dengan jelas.” Ketika hati telah dipenuhi oleh kebesaran Allah, maka apa pun selain Allah akan tersingkir dari hati tersebut. Bahkan hawa nafsunya pun lenyap dan tidak ada sedikit pun keinginan, kecuali apa-apa yang diinginkan oleh Allah. Dalam kondisi seperti inilah, seseorang tidak akan berucap kecuali dalam rangka zikir kepada Allah, tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya. Jika ia berbicara, maka berbicara karena Allah. Jika ia mendengar, maka mendengar karena Allah. Jika ia melihat, maka ia melihat karena Allah. Jika ia memegang sesuatu maka hanya karena Allah. Inilah yang dimaksud oleh hadits di atas.

Dengan demikian, siapapun yang menginterpretasikan pada selain hal di atas, misalnya Manunggaling kawulo gusti (Hamba dan Tuhan jadi satu jasad), maka Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari semua itu.

Imam Syaukani berpendapat bahwa yang dimaksud oleh hadits di atas adalah bahwasanya Allah akan memberikan cahaya-Nya kepada setiap anggota badan yang disebut dalam hadits. Dengan cahaya itulah anggota badan tersebut akan berjalan menelusuri jalan hidayah dan menjauhi jalan kesesatan. Al-Qur'an juga telah menegaskan bahwa : “Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (An-Nur: 35).

Dalam hadits shahih juga dijelaskan bahwa Rasulullah saw. berdoa, "Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, pada mataku, pada pendengaranku..."

7. Doa Wali Pasti Dikabulkan

Termasuk karunia Allah terhadap para walinya adalah apabila wali tersebut meminta sesuatu, maka Allah akan memberinya. Jika meminta perlindungan, maka Allah akan memberinya perlindungan. Jika berdoa kepada-Nya maka akan dikabulkan doanya. Karenanya, ia menjadi orang yang dikabulkan doanya. Dalam sejarah Islam, tersebutlah nama-nama yang dikenal dengan orang-orang yang doanya dikabulkan, seperti : Barra' bin Malik, Barra' bin 'Azib, Sa’ad

bin Abi Waqash, dan masih banyak yang lain. Namun demikian, di antara mereka yang selalu dikabulkan doanya, biasanya lebih memilih bersabar terhadap ujian yang menimpanya. Mereka mengharapkan pahala dari ujian tersebut, dan tidak berdoa agar ia di bebaskan dari ujian yang menimpanya. .

Bisa jadi ada wali Allah yang meminta sesuatu kepada Allah. Namun, Allah Maha Mengetahui apa yang baik bagi kekasihnya. Lalu permintaan hamba tersebut tidak dikabulkan dan digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Jika tidak di dunia maka di akhirat. Abu Sa'id Al-Khudri ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Tldaklah seorang muslim berdoa kepada Allah, yang dalam doa tersebut tidak terdapat unsur dosa atau pun pemutusan tali silaturrahmi, melainkan Allah akan memberinya salah satu dari, ketiga hal berikut ini : Mungkin mengabulkan dengan segera apa yang diminta dalam doanya, atau akan diberikan di akhirat, atau ia akan dihindarkan dari keburukan yang sebanding dengan permintaannya." (h.r. Ahmad).

8. Keragu-raguan Allah untuk mencabut nyawa seorang mukmin

Dalam riwayat Imam Bukhari terdapat tambahan, "Tidaklah aku ragu-ragu tentang sesuatu yang Aku pasti melakukannya, seperti keraguan-Ku mencabut nyawa hamba-Ku yang mukmin. Ia membenci kematian, dan Aku membenci menyakitinya.”

Ibnu Shalah berkata, "Yang dimaksud dengan keraguan di sini bukanlah seperti keraguan yang kita kenal. Tetapi keraguan tersebut lebih disebabkan karena cintanya yang teramat sangat, hingga seakan tidak mau menyakitinya dengan kematian. Karena kematian adalah sakit yang maha dahsyat di dunia, kecuali bagi orang-orang tertentu. Namun, kematian memang harus terjadi karena telah menjadi ketentuan Allah.”

Dengan hadits tambahan di atas maka jelaslah bahwa kematian (bagi orang yang dicintai Allah) bukanlah sesuatu yang bertujuan menghinakannya, justru bertujuan mengangkat derajatnya. Karena kematian merupakan jalan untuk berpindah ke tempat yang mulia dan penuh kenikmatan.

9. Tawadhu'

Imam Bukhari menggunakan hadits di atas sebagai dalil tawadhu'. Beliau menempatkan hadits tersebut dalam bab Tawadhu”. Karena mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan amalan sunah pada dasarnya adalah karena sikap tawadhu'. Demikian juga, mencintai dan tidak memusuhi wali-wali Allah, juga merupakan sikap tawadhu' dan kepatuhan kepada Allah.

Iyadh bin Hammar ra. berkata, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian semua bersikap tawadhu' , agar tak ada seorang pun yang merasa lebih mulia dari yang lain." (h.r. Muslim)

Selain itu, hadits di atas juga mengisyaratkan beberapa hal :

a. Wali Allah mempunyai kedudukan yang tinggi, karena ia menyerahkan semua dirinya kepada Allah swt.

b. Seseorang yang menyakiti wali Allh, tapi tidak segera ditimpa musibah, bukan bersrti ia terlepas dari kemarahan Allah. Bisa jadi musibahnya dalam bentuk yang lain. Karena sesungguhnya kesesatannya adalah bentuk dari musibah.

F. DAFTAR PUSTAKA

  1. An-Nawawi, Imam, Al-Ahadist al-Arba’in al-Nawawiyah, syarh : Dr. Mushthafa Dieb al-Bugha dan Muhyiddin Mitsu, Al-Wafi fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah, (terj; Muhir Dhofir, Lc, Al-I’Itishom Cahaya Umat – Jakarta : 2007, cet-VI).
  2. An-Nawawi, Al-Imam Abi Zakaria Yahya bin Syarof, Riyadhus Shalihin, Darul Firk, Beirut, t.t. 1990.
  3. An-Nawawi, Iman, Terjemahan Hadist Arba’in An-Nawawiyah, (terj. Tim Sholahuddin, Sholahuddin Press – Jakarta : 2006, cet-IV).

4. Al-Mahalli/As-Suyuti, Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain berikut Asbabun Nuzul Ayat, Sinar Baru Algensindo, Bandung. 2007

5. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. (terj; Drs. Syihabuddin, Gema Insani – Jakarta : 2004, cet-VI).

6. Ad-Damsyiqi, Ibnu Hamzah Al-Husaini Al-Hanafi, Asbabul Wurud, Latar Belakang Timbulnya Hadist-Hadist Rasul, (terj; H.M. Suwarta Wijaya dan Drs. Zafrullah Salim, Kalam Mulia – Jakarta ; 2005, cet-VII).

7. http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/16/abu-hurairah-periwayat-hadist-terbanyak.

8. Wikipedia Bahasa Melayu, ensiklopedia bebas



[1] berita gembira ini berupa mimpi yang baik yang dilihat oleh seorang wali Allah atau mimpi yang baik itu diperlihatkan kepadanya. (dari Tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin Al-Mahalli/As-Suyuti, Sinar Baru Algensindo, Jakarta. 2007)

[2] Tafsir Ibnu Katsir, 2/384 dan Majalah Al Furqon Ed.1/Th.III, 2004

[3] An-Nawawi, Imam, Al-Ahadist al-Arba’in al-Nawawiyah, syarh : Dr. Mushthafa Dieb al-Bugha, Muhyiddin Mitsu, Al-Wafi fi Syarhil Arba’in An-Nawawiyah. hal. 372

[4] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar