TAKDIR
Antara Kehendak Tuhan dan Kehendak Manusia
Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab
”Al-Aqaid Al-Islamiyyah”
1. Pengantar
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi tiada tuhan selain Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Studi Naskah Tafsir, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Takdir Antara Kehendak Tuhan dan Kehendak Manusia Menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab ”Al-Aqaid Al-Islamiyyah”.
Sistematika penyusunan makalah ini sebagai berikut :
1. : Pengantar
2. : Mengenal Sayyid Sabiq dan Kitab ”Al-Aqaid Al-Islamiyyah”
3. : Takdir, Kehendak Tuhan dan Kehendak Manusia dalam Pandangan Sayyid Sabiq
4. : Analisis Atas Pandangan Sayyid Sabiq
5. : Kesimpulan
6 : Daftar Pustaka
2. Mengenal Sayyid Sabiq dan Kitab ”Al-Aqaid Al-Islamiyyah”
a. Biografi Sayyid Sabiq
Syaikh Sayyid Sabiq dilahirkan tahun 1915 H di Mesir dan meninggal dunia tahun 2000 M. Ia merupakan salah seorang ulama al-Azhar yang menyelesaikan kuliahnya di fakultas syariah. Ia mulai menekuni dunia tulis-menulis melalui beberapa majalah yang eksis waktu itu, seperti majalah mingguan ‘al-Ikhwan al-Muslimun’.
Syaikh Sayyid Sabiq adalah ulama yang sangat menghindari fanatisme madzhab tetapi tidak menjelek-jelekkannya. Ia berpegang kepada dalil-dalil dari Kitabullah, as-Sunnah dan Ijma’, mempermudah gaya bahasa tulisannya untuk pembaca, menghindari istilah-istilah yang sulit, tidak memperlebar dalam mengemukakan ta’lil (alasan-alasan hukum), lebih cenderung untuk memudahkan dan mempraktiskannya demi kepentingan umat agar mereka cinta agama dan menerimanya.
Sayyid Sabiq seorang yang banyak mengembara untuk menyampaikan dakwah. Banyak negara yang dilawatinya termasuk Indonesia, United Kingdom, negara-negara bekas Kesatuan Soviet Union dan seluruh negara Arab. Beliau meninggalkan kesan yang mendalam pada setiap negara yang disinggahinya.
b. Kitab ”Al-Aqaid Al-Islamiyyah”
Kitab “Al-Aqaid Al-Islamiyyah” menyajikan fungsi dan peranan aqidah serta implementasinya dalam bentuk amal. Aqidah merupakan syarat mutlak tercapainya penghambaan diri serta mengikatkan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Dalam kitab ini dijelaskan tentang pentingnya usaha mengembangkan aqidah yang benar sehingga diperoleh buah iman yang dimanifestasikan dalam bentuk amal. Kitab ini memberikan penjelasan yang mudah dipahami, didasarkan pada nash Al-qur’an dan hadist serta tidak melupakan ilmu-ilmu pengetahuan kontemporer.
3. Takdir, Kehendak Tuhan dan Kehendak Manusia dalam Pandangan Sayyid Sabiq
a. Takdir dalam Pandangan Sayyid Sabiq
Dalam memberikan ulasan tentang takdir Sayyid Sabiq menggunakan surat dan ayat-ayat sbb :
(1). Segala sesuatu terlaksana dengan takdir Tuhan (Ar-Ra’d : 8)
”Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya”
(2). Segala sesuatu dalam perbendaharaan Takdir Tuhan (Al-Hijr : 21)
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu”
(3). Segala sesuatu diciptakan dengan takdir (Al-Qamar : 49)
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran”
(4). Maksud dan makna takdir adalah suatu peraturan yang tertentu yang telah dibuat oleh Allah SWT untuk segala yang ada dalam alam semesta ini, peraturan-peraturan tersebut adalah yang merupakan undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang diikatkan didalamnya antara sebab dengan musabbabnya, juga antara sebab dan akibatnya.
b. Kehendak Tuhan dalam Pandangan Sayyid Sabiq
Dalam memberikan ulasan tentang kehendak Tuhan (Allah Ta’ala Maha Pembuat Yang Bebas) Sayyid Sabiq menggunakan surat dan ayat-ayat sbb :
(1). Ali Imran : 26
”Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Makna dari ayat tersebut diatas menurut Sayyid Sabiq adalah :
- Allah SWT adalah Maha Raja yang berhak menguasai seluruh kerajaan/kekuasaan dalam alam semesta ini.
- Dia berhak mengaruniakan kerajaan/kekuasaan memerintah itu kepada siapa saja yang dikehendaki.
- Dia berhak pula mencabut kerajaan/kekuasaan memerintah itu dari siapa saja yang dikehendaki.
- Baik memberi dan mencabut tersebut adalah dengan dasar sunnatullah yang berlaku.
- Dia berhak memuliakan siapa saja yang dikehendaki dengan memberikan pertolongan untuk mencapai kemuliaan itu setelah mengerjakan sebab-sebab yang dapat digunakan untuk memperolehnya.
- Dia berhak merendahkan siapa saja yang dikehendaki dengan menakdirkan ia menjadi orang yang hina dina.
- Didalam kekuasaan Allah Ta’ala pula terletak segala kebaikan dan keburukan.
- Dia berhak melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak yang telah ditetapkanNya, hak Allah SWT adalah mutlak, tiada sekutu berupa apapun yang berhak mencampuri wewenangNya.
- Allah SWT adalah Maha Pembuat yang bebas dan Pengatur yang mutlak.
- Allah SWT Maha Pembuat yang bebas.
(2). Al-Qashash : 68
”Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka”
Makna dari ayat tersebut diatas menurut Sayyid Sabiq adalah :
- Allah SWT yang menciptakan dan oleh sebab itu bebas pula memilih siapapun dari makhluknya sesuai dengan apa yang dikehendaki, sebab memang Dia adalah pengatur secara mutlak. Tidak seorangpun yang memiliki hak untuk memilih yang sesuai dengan kehendaknya sendiri.
(3). Yunus : 107 dan Faathir : 2
”Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Yunus : 107)
”Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Faathir : 2)
Makna dari ayat tersebut diatas menurut Sayyid Sabiq adalah :
- Allah SWT mengatur dalam kerajaanNya (kerajaan langit dan bumi) menurut kehendakNya sendiri dengan mengikuti dasar kebijaksanaan dan kerahmatan. Ini adalah hakNya yang mutlak, tidak dapat diganggu gugat.
- Apabila seseorang tertimpa bencana, pasti tidak ada yang dapat menyelamatkannya selain Allah, sebaliknya apabila Allah SWT menghendaki seseorang itu memperoleh kebaikan, juga tidak dapat seorangpun yang dapat menolaknya.
c. Kehendak Manusia dalam Pandangan Sayyid Sabiq
Dalam memberikan ulasan tentang kehendak manusia (kemerdekaan berkehendak) Sayyid Sabiq menggunakan surat dan ayat-ayat sbb :
”dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (Asy Syam 7-10)
Makna dari ayat tersebut diatas menurut Sayyid Sabiq adalah :
- Allah SWT setelah menciptakan manusia, lalu disempurnakan dengan diberi suatu jiwa. Mula-mula jiwa ini dijadikan dalam keadaan sama rata, lurus dan jujur, serta berfungsi dapat menerima kebenaran dan kesalahan, juga punya persiapan untuk menjadi baik dan buruk.
- Allah SWT membekali manusia dengan akal fikiran sejak lahir, dengan akal tersebut manusia dapat membedakan yang benar dan yang salah perihal akidah dan kepercayaannya, juga dapat membedakan yang baik dan yang buruk perihal amal perbuataannya, juga dapat membedakan yang dusta dan bukan dusta dalam hal ucapan.
- Selama manusia mempunyai jiwa dan akal fikirannya, maka ia mempunyai kemerdekaan/kekuasaan dan kebebasan untuk berbuat mana saja yang disukainya.
”Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafur” (Al-Insaan : 3)
”Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Al-Balad :10)
Makna dari ayat tersebut diatas menurut Sayyid Sabiq adalah :
- Allah SWT sudah memberi petunjuk dan bimbingan (dua jalan), ada yang menjurus kearah yang hak dan ada yang ke bathil (kebaikan dan keburukan, benar dan dusta). Maka manusia itu sendiri yang berhak untuk memilihnya.
- Bila ia menempuh jalan yang baik dan lurus berarti ia mensyukuri nikmat yang telah diberikan dan sebaliknya bila ia menempuh jalan yang bengkok/tidak benar berarti ia kufur nikmat.
”Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Muddatstsir : 38)
”Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya” (Ath Thur : 21)
”Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya” (Fushshilat : 46)
”Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Asy-syuura : 30)
Makna dari ayat tersebut diatas menurut Sayyid Sabiq adalah :
- Setiap diri manusia bertanggung jawab terhadap tindakan/perbuatannya sendiri.
- Amal shaleh atau yang buruk, seluruhnya disandarkan pada kehendak manusia itu sendiri.
- Bencana atau keburukan yang diderita seseorang hanyalah sebagai bekas atau kesan dari hasil perbuatannya sendiri.
4. Analisis Atas Pandangan Sayyid Sabiq
a. Menurut Bahasa dan M. Quraish Shihab
Kata takdir (taqdir) terambil dari kata qaddara berasal dari akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi kadar atau ukuran, sehingga jika seseorang berkata, ”Allah telah menakdirkan demikian,” maka itu berarti, ”Allah telah memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau kemampuan maksimal makhluknya.” Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dari sisi kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat dan waktu tertentu, itulah yang disebut takdir. Tidak ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia. Takdir adalah hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku bagi alam (hukum-hukum kemasyarakatan dan hukum-hukum alam).
Manusia mempunyai takdir sesuai dengan ukuran yang telah diberikan oleh Allah SWT atasnya. Manusia tidak bisa terbang seperti burung. Ini adalah takdir-Nya atau ukuran kemampuan yang ditetapkan Tuhan atasnya. Ia tidak bisa melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya untuk menciptakan suatu alat, namun akalpun mempunyai ukuran yang tidak mampu dilampui. Disamping itu, manusia berada dilingkungan takdir, sehingga apa yang dilakukan tidak terlepas dari hukum-hukum dengan aneka kadar ukurannya itu.
Namun harus diingat bahwa hukum-hukum itu banyak dan manusia diberi kemampuan untuk memilih (tidak seperti matahari, bulan, api atau angin misalnya). Manusia dapat memilih yang mana diantara takdir (ukuran-ukuran) yang ditetapkan Tuhan untuk diambil. Api ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan kesejukan atau dingin, itulah takdir Tuhan. Manusia boleh memilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Disinilah pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk ilahi.
Ketika di Syam (Syria, Palestina dan sekitarnya) terjadi wabah penyakit, Umar bin Khatab yang ketika itu bermaksud berkunjung kesana membatalkan rencana beliau, dan ketika itu tampil seorang bertanya : ”Apakah anda lari/menghindar dari takdir Tuhan? Umar r.a menjawab, ”Saya lari/menghindar dari takdir Tuhan kepada takdir –Nya yang lain”[1].
Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan diatas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinya dengan jawaban Khalifah Umar r.a.
Robohnya tembok, berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari marabahaya maka itupun takdir. Bukankah Tuhan telah menganugerahi manusia kemampuan memilah dan memilih? Kemampuan itu pun antara lain merupakan ketetapan atau takdir yang dianugerahkan-Nya. Jadi demikian, manusia tidak luput dari takdir, yang baik maupun buruk.
Tidak bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut takdir, karena yang positif pun takdir. Yang demikian merupakan sikap tidak menyucikan Allah Swt, serta bertentangan dengan petunjuk Nabi Saw., ”........dan kamu harus percaya kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk”[2]. Dengan demikian, adanya takdir tidak menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi.
b. Konsep Menurut Ulama Syiah dan Nurcholish Madjid[3]
Konsep tentang determinisme (dalam bahasa Arab: jabr), free will (kehendak bebas) menjadi obyek pembahasan ulama muslim sejak abad kedua Hijriah. Konsep tentang determinisme dan free will ini juga sering dikaitkan dengan konsep takdir dan keadilan Tuhan.
Menurut ulama Syiah, Murtadha Muthahhari[4], masalah determinisme dan kehendak bebas sama dengan masalah predestinasi (sudah lebih dulu ditentukan oleh Tuhan) dan takdir Tuhan (qadha wa qadar). Formulasi pertama berkaitan dengan manusia dan kehendak bebasnya, sedangkan formula kedua berhubungan dengan Tuhan.
Menurut keyakinan Syiah, kemerdekaan dan kehendak bebas mengandung makna bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk yang merdeka. Tapi eksistensi manusia beserta segenap mode eksistensinya, termasuk cara bertindaknya, seperti makhluk lainnya, sepenuhnya bergantung pada zat Allah. Eksistensi manusia dan semua mode eksistensi manusia berasal dan bergantung pada kepedulian Allah, dan mereka berupaya mendapat pertolongan dari kehendak-Nya.
Karena itu, dalam Syiah, posisi kehendak bebas dan kemerdekaan letaknya di antara predestinasi mutlak (jabr-nya Asy’ariyah) dan akidah kebebasan manusianya Mu’tazilah. Inilah makna ucapan termasyhur para Imam Maksum bahwa tak ada jabr dan tak ada tafwidh, tapi yang ada antara dua alternatif itu.
Prof Dr Nurholish Madjid, cendekiawan neo-modernis Indonesia, dalam buku Pintu-pintu Menuju Tuhan, terbitan Paramadina, 1994, menyodorkan pengertian tentang takdir yang dekat dengan pandangan Syiah. Nurcholish mengalobarasi pengertian takdir berdasarkan rujukan tekstual Al-Quran dalam terang sains modern. Mengutip beberapa ayat Al-Qur’an, yaitu surah Al-An’am 96, surah Yasin 38, dan surah Fushilat 12, Nurcholish mengartikan takdir sebagai hukum alam.
”Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (Al-An’am 96)
”dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (Yasin 38)
”Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” (Fushilat 12)
Berikut ini kutipan pendapat Nurcholish. Maka, kalau kita perhatikan firman-firman yang mengandung perkataan takdir itu, kita mengetahui bahwa istilah itu digunakan dalam maknanya sebagai sistem hukum Tuhan untuk alam raya (singkatnya, hukum alam). Dan sebagai hukum alam, tidak satu pun gejala alam yang terlepas dari Dia, termasuk amal perbuatan manusia. Karena itu, perkataan taqdir dan qadar, juga digunakan dalam pengertian hukum kepastian yang sepasti-pastinya.
Justru unsur kepastiannya, maka takdir memang tidak dapat dilawan oleh manusia. Karena itu, manusia harus tunduk dan patuh serta menyerah dan pasrah pada takdir itu. Tapi berbeda dengan pengertian umum, tunduk patuh serta menyerah pasrah pada takdir itu, sepanjang pengertian takdir menurut firman tersebut, ialah bahwa dalam segala perbuatan kita harus memperhatikan dan memperhitungkan hukum kepastian Tuhan dalam alam raya ini, karena kita memang tidak mungkin melawan atau mengubahnya.
Kalau dalam amal perbuatan kita harus memperhitungkan takdir Tuhan sebagai hukum kepastian alam ciptaan-Nya itu, syarat pertamanya, dengan sendirinya, ialah kita harus memahami hukum-hukum itu dengan sebaik-baiknya. Karena takdir tidak lain adalah hukum ketetapan Allah, tunduk pada takdir adalah suatu kemestian bagi semua yang pasrah (Islam) kepada-Nya, dan percaya pada takdir bagian integral dari iman kepada Allah.
Makna percaya pada takdir dan keharusan melakukan ikhtiar ialah percaya, dan menerima hukum-hukum kepastian yang menguasai hidup kita, baik dalam lingkungan fisiknya maupun sosialnya, kemudian melaksanakan perintah Ilahi untuk berusaha memberi hukum-hukum itu dengan observasi pada gejala-gejala alam material dan sosial (sejarah), serta mencoba memedomani hukum-hukum itu dalam bertindak demi mencapai tujuan. Tingkat keberhasilan kita memahami hukum-hukum itu menjelma menjadi deretan pilihan atau alternatif, dan kita memilihnya yang terbaik (makna harfiah ikhtiar). Jadi takdir dan ikhtiar, sepanjang kitab suci, terkait erat dengan tuntutan bertindak secara ilmiah, demi efisiensi dan efektivitas.
c. Menurut Tafsir Al-Manar, Muhammad Abduh[5]
Segala sesuatu di alam ini, berjalan menurut sunnah Allah (hukum alam, natur) dan sunnah Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabbab didalamnya mempunyai hubungan erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan sunnah tertentu. Umpamanya sunnah yang mengatur hidup manusia berlainan dengan sunnah yang mengatur hidup tumbuh-tumbuhan. Bahkan juga ada sunnah yang tidak berubah-untuk mencapai kemenangan.
Jika seseorang mengikuti jalan yang ditentukan sunnah ini, orang akan mencapai kemenangan, tetapi jika ia menyimpang dari jalan yang ditentukan sunnah itu, ia akan mengalami kegagalan. Ada pula sunnah yang membawa kesenangan dan ada pula yang membawa kesusahan. Keadaan seseorang, mukmin atau kafir tidak berpengaruh terhadap hal ini.
Sunnah tidak kenal kepada pengecualian, sungguhpun pengecualian untuk Nabi—nabi. Sunnah tidak berubah-ubah dan Tuhan tidak menghendaki supaya sunnah sekali-sekali menyalahi natur/hukum alam.
” kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (Al-Ahzab : 62)
Oleh sebab itu, orang sakit yang memohon kepada Tuhan supaya ia diberikan kesehatan kembali, sebenarnya ia meminta : ”Tuhanku, hentikanlah untuk kepentinganku sunnah-Mu yang Engkau katakan tidak akan berubah –ubah itu”. Jelas bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas kehendak tuhan sendiri dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Dan Tuhan sendiri, sebagai kata Al-Manar, tidak bersikap absolut sepertinya halnya Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman menurut kehendaknya semata-mata. Keadaan Tuhan, dalam paham ini, lebih dekat menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaannya dan kehendaknya dibatasi oleh konstitusi.
Menurut Muhammad Abduh[6], pengertian takdir yang diartikan dengan adanya kebebasan dan kekuasaan mutlak manusia menurut Qadariah adalah penipuan, sebaliknya takdir seperti yang dipahami oleh kaum Jabariah merupakan keyakinan yang meruntuhkan syariat agama, menghapus taklid dan membatalkan hukum akal/logis. Selanjutnya Beliau menjelaskan bahwa manusia pada hakekatnya mempunyai usaha yang bebas dengan kemauan dan kehendak untuk mencari jalan yang dapat membawanya kebahagiaan dan kudrat Allah SWT sebagai tempat kembalinya makhluk.
Ayat-Ayat Qadariah vs Ayat-Ayat Jabariah[7]
Ayat-ayat yang membawa kepaham qadariah, antara lain :
”Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (Al-Kahfi : 29)
”Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Fushshilat : 40)
”Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: "Darimana datangnya (kekalahan) ini?" Katakanlah: "Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri." Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Ali Imran : 165)
”Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” (Al-Ra’ad : 11)
Ayat-ayat yang membawa kepaham jabariah, antara lain :
”mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki” (Al-An’am : 111)
”Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu” (Ash-Shaaffaat : 96)
”Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya” (Al-Hadid : 22)
” bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar” (Al-Anfaal : 17)
”Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah” (Al-Insan : 30)
d. Pendapat Para Ulama Teologi[8]
Abu Hasan Al-Asy’ari menjelaskan bahwa takdir itu merupakan perwujudan kehendak Allah SWT terhadap makhluk-Nya. Perwujudan itu akan terjadi dalam bentuk dan keadaaan yang sesuai dengan Ilmu Allah. MT. ’Abdul Muin menjelaskan bahwa para filosof islam memberi definisi takdir yaitu terbuktinya semua kejadian dan makhluk di alam ini sehingga terwujud secara lengkap dengan sebab-sebabnya dan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Qada’ (Iradah, ’Ilmu) Allah, jadi takdir itu dipandang sebagai adanya kaitan antara keadaan dan kehidupan wujud makhluk dengan ilmu dan iradah Allah terhadap ciptaanNya itu. Dengan demikian segala sesuatu itu tidak dapat lepas dari kehendak, ilmu dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, semua kejadian yang terjadi akan terlaksana sesuai takdir (ketentuan, ukuran) yang ditetapkan oleh Allah.
e. Tafsir Ibnu Katsir Tentang Ayat-ayat Takdir Sayyid Sabiq
Yunus : 107 (ringkasan tafsir ibnu katsir, jilid 2. hal. 760-761)
- Firman Allah Ta’ala, ”Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu,” untuk menjelaskan bahwa manfaat dan mudarat itu hanyalah bersumber kepada Allah semata. Maka Dialah yang berhak disembah dengan penyembahan kepada Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya.
- Al-Hafizh Ibnu Asakir meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw, bersabda : ”Carilah kebaikan sepanjang masa hidup. Dan tampilkanlah dirimu untuk menyongsong hembusan Tuhanmu. Sesungguhnya Allah memiliki embusan-embusan rahmat-Nya. Dia menerpakannya kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Memohonlah kepada-Nya agar Dia menutupi keburukan-keburukanmu dan mengamankan ketakutanmu.” (HR. Al-Hafiszh Ibnu Asakir)
Al-Hijr : 21 (ringkasan tafsir ibnu katsir, jilid 2. hal. 983)
- Allah Ta’ala memberitahukan bahwa Dialah yang menguasai segala perkara, bahwa segala perkara itu mudah bagi-Nya dan gampang dihadapan-Nya dan bahwa disisi-Nya perbendaharaan segala perkara dari seluruh jenisnya. ”Dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu” seperti yang dikehendaki dan dimaksud oleh-Nya. Hal itu dilakukan demikian karena mengandung hikmah yang sangat dalam dan sebagai tanda kasih sayang kepada hamba-hamba-Nya, bukan atas dasar keharusan. Dia menetapkan atas dirinya sendiri kasih sayang itu.
Ar-Ra’ad : 8 (ringkasan tafsir ibnu katsir, jilid 2. hal. 903)
- Firman Allah Ta’ala, ”Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya,” yakni memiliki ajal. Dia menjaga rezeki dan ajal makhluk-Nya. Dia menetapkan ajal tertentu.
f. Tafsir Tafsir Jalalain Tentang Ayat-ayat Takdir Sayyid Sabiq
Ali Imran : 26 (Tafsir Jalalain, Asbabun Nuzul Surat Ali Imran, jilid 1. hal. 293)
- Firman Allah Ta’ala, ” Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang memiliki kerajaan ..............................sampai akhir ayat,” (Ali Imran : 26). Dikeluarkan oleh Ibnu Abu Hatim dari Qatadah, katanya : ”Orang-orang mengatakan kepada kami bahwa Rasulullah SAW. memohon kepada Tuhannya agar menjadikan kerajaan Romawi dan Persia ke dalam kekuasaan umatnya. Maka Allah pun menurunkan : ” Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang memiliki kerajaan ..............................sampai akhir ayat”.
Ar-Ra’ad : 8 (Tafsir Jalalain, jilid 1. hal. 940)
- (Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya) menurut kadar dan ukuran yang tidak berlebihan.
Al-Hijr : 21 (Tafsir Jalalain, jilid 1. hal. 987)
- (Dan tiada) tidak ada (sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya) huruf min adalah zaidah; yang dimaksud adalah kunci-kunci perbendaharaan segala sesuatu (dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran yang tertentu) sesuai dengan kepentingan-kepentingannya.
Fushshilat : 46 (Tafsir Jalalain, jilid 2. hal. 751)
- (Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri) ia beramal untuk dirinya sendiri (dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri) bahaya dari perbuatan jahatnya itu kembali kepada dirinya sendiri (dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya) Dia bukanlah penganiaya hamba-hamba-Nya, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh ayat lainnya, yaitu firman-Nya : Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah (An-Nisa, 40).
Asy-Syuraa : 30 (Tafsir Jalalain, jilid 2. hal. 768)
- (Dan apa saja yang telah menimpa kalian) khitab ayat ini ditujukan kepada orang-orang mukmin (berupa musibah) berupa malapetaka dan kesengsaran (maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri) artinya karena dosa-dosa yang telah kalian lakukan sendiri. Diungkapkan bahwa dosa-dosa tersebut dikerjakan oleh tangan mereka, hal ini mengingat bahwa kebanyakan pekerjaan manusia dilakukan dengan tangan (dan Allah memaafkan sebagian besar) dari dosa-dosa tersebut, karena itu Dia tidak membalasnya. Dia Maha Mulia dari menduakalikan pembalasan-Nya di akhirat. Adapun mengenai musibah yang menimpa orang-orang yang tidak berdosa di dunia, dimaksudkan untuk mengangkat derajatnya di akhirat kelak.
Al-Qashshas : 68 (Tafsir Jalalain, jilid 2. hal. 408)
- (Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih) apa yang dikehendaki-Nya. (Sekali-kali tidak ada bagi mereka) yakni bagi orang-orang musyrik (pilihan) maksudnya mereka tidak mempunyai pilihan apa-apa. (Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan) dari kemusyrikan mereka.
At-Thuur : 21 (Tafsir Jalalain, jilid 2. hal. 941)
- (Tiap-tiap orang dengan apa yang dikerjakannya) yakni amal baik dan amal buruknya (terikat) yakni ia dalam keadaan terikat, bila ia mengerjakan kejahatan, diazab, dan bila ia mengerjakan kebaikan diberi pahala.
Al-Mudatstsir : 38 (Tafsir Jalalain, jilid 2. hal. 1205)
- (Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya) dia tergadaikan, yaitu diazab didalam neraka disebabkan amal perbuatannya sendiri.
Al-Insan : 3 (Tafsir Jalalain, jilid 2. hal. 1223)
- (Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan petunjuk) maksudnya Kami telah menjelaskan kepadanya jalan hidayah dengan mengutus rasul-rasul kepada manusia (ada yang bersyukur) yaitu menjadi orang mukmin (dan ada pula yang kafir) kedua lafaz ini yakni Syakuuran dan Kafuuran merupakan Hal dari Maf’ul, yakni Kami telah menjelaskan jalan hidayah kepadanya, baik sewaktu ia dalam keadaan bersyukur ataupun sewaktu ia kafir sesuai dengan kepastian Kami. Lafaz Immaa disini menunjukkan rincian tentang keadaan.
5. Kesimpulan
(1). Makna takdir adalah suatu peraturan yang telah dibuat oleh Allah SWT untuk segala yang ada dalam alam semesta ini, peraturan-peraturan tersebut adalah yang merupakan undang-undang umum atau kepastian-kepastian yang diikatkan didalamnya antara sebab dengan musabbabnya, juga antara sebab dan akibatnya.
(2). Tuhan berhak melakukan segala sesuatu sesuai dengan kehendak yang telah ditetapkan-Nya, hak Allah SWT adalah mutlak, tiada sekutu berupa apapun yang berhak mencampuri wewenangNya. Kehendak Allah SWT mengikuti dasar kebijaksanaan dan kerahmatan.
(3) Allah SWT sudah memberi petunjuk dan bimbingan (dua jalan), ada yang menjurus kearah yang hak dan ada yang ke bathil (kebaikan dan keburukan, benar dan dusta). Maka manusia itu sendiri yang berhak untuk memilihnya.
(4) Selama manusia mempunyai jiwa dan akal fikirannya, maka ia mempunyai kemerdekaan/kekuasaan dan kebebasan untuk berbuat mana saja yang disukainya.
(5) Antara kehendak Allah SWT dan kehendak manusia, Sayyid Sabiq lebih cendrung ke aliran al-Asy’ariah (ahli sunnah dan jama’ah).
6. Daftar Pustaka
a. Sabiq, Sayyid, Aqidah Islam, Pola Hidup Manusia Beriman. CV. Penerbit Diponegoro, Bandung. 1974.
b. Nasution, Harun, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, Jakarta. 2006.
c. Teologi Islam Terapan, Implementasi Ajaran Al-quran Tentang Takdir dalam Realita Kehidupan Umat Islam, Drs. Bakir Yusuf Barmawi, MA. Tiga Serangkai, 2005.
d. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan Pustaka, Bandung. 2007.
e. Abduh, Syekh Muhammad. Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta. 1996.
f. Nugroho, Kelik M. Rubrik Ide di Koran Tempo, Minggu, 4 Juni 2006.
g. Al-Mahalli – As-Suyuti, Imam Jalaluddin. Tafsir Jalalain, Sinar Baru Algensindo. Bandung. 2007.
h. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani. Jakarta. 2000.
[1] Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan Pustaka,
[2] Ibid.., Hal. 86
[3] Nugroho, Kelik M. Rubrik Ide di Koran Tempo, Minggu, 4 Juni 2006. (Kelik M. Nugroho. He is a journalist, writer and composer who worked in Jakarta).
[4] Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terbitan Pustaka Zahra, 2003. dari Nugroho, Kelik M. Rubrik Ide di Koran Tempo, Minggu, 4 Juni 2006
[5] Nasution, Harun. Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI-Press, 2006
[6] Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta. 1996.
[7] Nasution, Harun, op. cit., hlm. 37-39
[8] Teologi Islam Terapan, Implementasi Ajaran Al-quran Tentang Takdir dalam Realita Kehidupan Umat Islam, Drs. Bakir Yusuf Barmawi, MA. Tiga Serangkai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar