PENJAJAHAN BARAT DAN PERJUANGAN
KEMERDEKAAN NEGARA - NEGARA MUSLIM
A. Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi tiada tuhan selain Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Tafsir-I, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Penjajahan Barat dan Perjuangan Kemerdekaan Negara - Negara Muslim.
Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :
1. : Islam di Awal Kelahiran
2. : Kemunduran Politik Umat Islam dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
3. : Kebangkitan dan Kemerdekaan Negara-negara Islam dari Penjajahan
4. : Kesimpulan
5. : Daftar Pustaka
B. Islam di Awal Kelahiran
Pada abad ketujuh di Arabia Tengah, sekarang Saudi Arabia, bangkit sebuah gerakan agama baru yakni Agama Islam. Agama ini dengan cepat tersebar ke segala penjuru dan kemudian menjadi agama kedua terbesar jumlah pemeluknya di dunia, yang dewasa ini mencapai lebih kurang 900 juta pengikut. Islam bukan cuma sekedar masyarakat kerohanian, tetapi juga merupakan sebuah negara, sebuah imperium.[1] Islam berkembang sebagai gerakan keagamaan dan politik yang di dalamnya agama menyatu terhadap negara dan masyarakat. Kepercayaan seorang muslim bahwa Islam mengemban keimanan dan politik berakar pada kitab yang dianggap wahyu Ilahi, yaitu Al-Quran, beserta dari pembangunnya dan nabinya, yakni Muhammad, sehingga kepercayaan itu tercermin dalam ajaran Islam dan sejarahnya serta perkembangan politiknya.
Muhammad yang lahir tahun 570 M dan menjadi yatim dalam kandungan ibunya, termasuk keluarga Hasyimi, sebuah keluarga terhormat tapi melarat dalam lingkungan suku besar Quraisy yang menguasai kota Mekkah. Mekkah sebagai pusat
Dalam usia dua puluh
Ketika Nabi Muhammad mulai menyiarkan secara public agama baru, khususnya ketika dia mulai menantang sistem-sistem pemujaan lama, sebagian besar orang Quraisy tentunya menertawakan dan menentangnya, tetapi beliau berhasil memperoleh banyak pengikut, khususnya di kalangan orang-orang muda. Beberapa di antara pengikutnya ini adalah hamba sahaya atau orang-orang tak bersuku, tetapi sebagian besar dari klan-klan Quraisy yang tidak begitu kuat, dan sejumlah tertentu adalah dari kalangan orang-orang muda yang mendapat tempat yang layak dari keluarga-keluarga tingkat yang sangat terhormat.[3]
Tidaklah mengherankan jika Muhammad dan para pengikutnya yang mula-mula di kota Mekkah menjadi sasaran ejekan dan siksaan. Lantas, sewaktu perutusan dari Yasrib mengundang Muhammad pada tahun 622 M untuk berhijrah ke
Di bawah bimbingan Muhammad, Islam di Madinah makin memperlihatkan kristalisasinya sebagai sebuah keimanan dan sebuah sistem politik. Semenjak tahun 622 M sampai tahun 632 M, melalui tindakan kemiliteran dan kegiatan diplomatik, masyarakat muslim itu meluas dan membentuk hegemoninya di Arabia Tengah. Mekkah dikuasai dan suku-suku Arab disatukan kepada bentuk kesatuan politik, berbentuk sebuah persemakmuran Arab dengan ideology yang sama, di bawah kekuasaan pusat, tunduk kepada sebuah hukum. Buat pertama kalinya dalam sejarah, saluran yang efektif telah ditemukan untuk menyatukan suku-suku Arab hingga terbentuk sebuah Negara yang merupakan tantangan bagi tetangganya, yakni imperium Persi dan imperium Roma.
Setelah kewafatan Nabi, Islam cepat menyebar secara luas melintasi Atlantika di Barat hingga wilayah perbatasan
Ekspansi Islam yang lebih jauh menjadikan kekuatan Islam mampu melintasi jantung kekuatan Timur Tengah dan Afrika Utara - kampung halaman agama Kristen dan Yudaisme- memasuki wilayah-wilayah baru dimana agama-agama tersebut hanya memiliki sedikit pengaruh atau tidak sama sekali. Kaum Budhis dan Hindu di Asia, masyarakat Animis di Afrika, selatan Shara dan Ethiopia, berada di bawah kekuasaan Islam.
C. Kemunduran Politik Umat Islam dan Ekspansi Barat ke Timur Tengah
Fase kemunduran politik Islam dalam sejarah umat Islam di identifikasi antara tahun 1250 M sampai tahun 1800 M. Adapun sebelumnya, antara tahun 650-1250 M, disebut masa klasik. Sedangkan sesudahnya, antara 1800 M dan seterusnya, disebut masa modern.
Dengan mengikuti urutan tahun Masehi atau mengikuti sejarahwan Barat, bukan Hijriyyah dalam kalender Islam, fase kemunduran Islam disebut masa pertengahan. Di abad pertengahan ini kemunduran politik Islam sangat tampak jelas. Dunia Islam terbagi dua, bagian arab yang terdiri atas Arabia, Irak, Suriah, Palestina, Mesir dan Afrika Utara dengan Mesir sebagai Pusat; dan bagian Persia yang terdiri dari Balkan, Asia Kecil, Persia dan Asia Tengah sebagai pusat. Pada zaman kemunduran ini, kerajaan Utsmani terpukul di Eropa, kerajaan Safawi dihancurkan oleh serangan-serangan suku bangsa Afghan, sedangkan kerajaan Mughal diperkecil oleh pukulan-pukulan raja-raja India.
Faktor kemunduran umat Islam pada abad pertengahan ini, menurut Ahmad Amin, adalah karena kebodohan yang melanda dunia Islam dan kekosongannya dari kaum ilmuwan. Faktor lain lagi yang menyebabkan kemerosotan dan kemunduran umat Islam adalah karena banyak di antara penguasa yang bergelimang didalam kesenangan hidup dan berbagai macam selera syahwat seperti minum arak dan main perempuan. Para penguasa ini berfikir bahwa rakyat adalah milik mereka dan mereka boleh berbuat apa saja menurut kehendaknya, mereka merasa berhak menggunakan rakyat untuk memenuhi kesenangan dan selera nafsunya, sedangkan para ulama pada masa itu banyak sekali yang mencari muka dan menutup mata terhadap kebobrokan para penguasa.[5]
Pada saat dunia Islam mulai mengalami kemunduran dan kelesuan, dunia baru, Eropa Barat, mengalami renaisans. Mereka melakukan berbagai penelitian tentang rahasia alam, berusaha menaklukan lautan dan menjelajahi benua yang sebelumnya masih diliputi kegelapan. Christoper Colombus menemukan Benua Amerika (1492 M) dan Vasco da Gama menemukan jalan ke Timur melalui Tanjung Harapan (1498 M). selanjutnya Benua Amerika dan kepulauan Hindia segera jatuh ke bawah kekuasaan Eropa. Maka, Eropa dengan kekayaan-kekayaan yang diangkut dari Amerika dan Timur, jauh bertambah kaya dan maju. Dua penemuan itu, sungguh tak terkirakan nilainya, Eropa menjadi maju dalam dunia perdagangan, karena tidak tergantung lagi kepada jalur lama yang dikuasai umat Islam. L Stoddard menggambarkan kemajuan tersebut, dengan sekejap mata dinding laut itu berubah menjadi jalan raya, dan Eropa yang semula terpojok segera menjadi yang dipertuan di laut dan dengan demikian yang dipertuan di dunia. Terjadilah perputaran nasib dalam sejarah umat manusia.[6]
Perekonomian bangsa-bangsa Eropa pun semakin maju karena daerah-daerah baru terbuka baginya. Mereka dapat memperoleh kekayaan yang tak terhingga untuk meningkatkan kesejahteraan negerinya. Tak lama setelah itu, mulailah kemajuan Barat melampaui kemajuan Islam yang semakin lama semakin mengalami kemunduran dan keterpurukan. Barat mulai melakukan ekspansi ke daerah kekuasaan Islam. Selanjutnya, satu demi satu negeri Islam jatuh ke bawah kekuasaannya sebagai negeri jajahan. Negeri-negeri Islam yang pertama kali jatuh ke bawah kekuasaan Eropa adalah negeri-negeri yang jauh dari kekuasaan Utsmani, yaitu negeri-negeri Islam di Asia Tenggara dan anak Benua Indian. Penetrasi Barat yang kekuatannya meningkat, ke dunia Islam, kian mendalam dan kian meluas. Akhirnya Napoleon di tahun 1798 M, menduduki Mesir, sebagai salah satu pusat Islam.
Dengan kemajuan-kemajuan Eropa dalam teknologi militer dan industri perang membuat kerajaan Utsmani, yang berkuasa pada saat itu, menjadi kecil di hadapan Eropa. Selanjutnya, setelah kerajaan Utsmani mengalami kekalahan besar dalam menghadapi serangan Eropa di Wina pada tahun 1683 M, membukakan mata Barat bahwa kerajaan Utsmani telah mundur jauh sekali. Sejak itulah kerajaan Utsmani berulang kali mendapat serangan-serangan besar dari Barat.
Sejak kekalahan pertempuran di Wina itu, kerajaan Utsmani juga menyadari akan kemunduran dan kemajuan barat. Usaha-usaha pembaharuanpun segera dilaksanakan dengan mengirim duta-duta ke Negara-negara Eropa, terutama Prancis, untuk mempelajari suasana kemajuan di sana dari dekat.[7] Celabi Mehmed diutus ke Paris tahun 1720 M dan diinstruksikan untuk mengunjungi pabrik-pabrik, benteng-benteng pertahanan, dan institusi-institusi lainnya. Ia kemudian memberikan laporan tentang kemajuan teknik organisasi angkatan perang modern, dan kemajuan lembaga-lembaga sosial lainnya. Laporan-laporan itu mendorong Sultan Ahmad III (1103-1730) untuk memulai pembaharuan di kerajaannya. Pada masa kekuasaannya didatangkan ahli-ahli militer dari Eropa untuk tujuan pembaharuan militer dalam kerajaan Utsmani. Pada tahun 1717 M, seorang perwira Prancis, De Rechofort, dating ke Istambul dalam rangka membentuk korp artileri dan melatih tentara Utsmani dalam rangka ilmu-ilmu kemiliteran modern. Pada tahun 1729 M, datang lagi Comte de Bonnevel, juga dari Prancis, untuk memberi latihan penggunaan meriam modern. Ia dibantu oleh Macarthy dari Irlandia, Ramsay dari Skotlandia, dan Momai dari Prancis. Pada tahun 1734 M, untuk pertama kalinya Sekolah Teknik Militer dibuka. Usaha pembaharuan ini tidak terbatas dalam bidang militer. Dalam bidang-bidang yang lain pembaharuan juga dilaksanakan, seperti pembukaan percetakan di Istambul tahun 1727 M, untuk kepentingan kemajuan ilmu pengetahuan. Demikian juga gerakan penerjemahan buku-buku Eropa ke dalam bahasa Turki.
Meskipun demikian, usaha-usaha pembaharuan itu bukan saja gagal menahan kemunduran kerajaan Turki Utsmani yang terus mengalami kemerosotan, tetapi juga tidak membawa hasil yang diharapkan. Penyebab kegagalan itu terutama adalah kelemahan raja-raja Utsmani karena wewenangnya sudah jauh menurun. Disamping itu, keuangan Negara yang terus mengalami kebangkrutan sehingga tidak mampu menunjang usaha pembaharuan. Faktor terpenting lainnya yang membawa kegagalan itu adalah karena ulama dan tentara Yenissari yang sejak abad ke-17 M menguasai suasana politik dalam kerajaan Utsmani serta menolak usaha pembaharuan tersebut. Dengan demikian, kerajaan Utsmani terus saja mendekati jurang kehancurannya, sementara Barat yang menjadi ancaman baginya semakin besar.
Usaha pembaharuan Turki Utsmani baru mengalami kemajuan setelah penghalang pembaharuan utama, yaitu tentara Yenissari dibubarkan oleh Sultan Mahmud II (1807-1839) pada tahun 1826 M. struktur kerajaan dirombak, lembaga-lembaga modern didirikan, buku-buku Barat diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, dan yang terpenting sekali adalah sekolah-sekolah yang berhubungan dengan kemiliteran didirikan. Bidang militer inilah yang utama dan pertama mendapat perhatian. Akan tetapi, meski banyak mendatangkan kemajuan, hasil gerakan pembaharuan tetap tidak berhasil menghentikan gerak maju Barat ke dunia Islam di abad ke-19 M. Pada abad ke-18 Barat menyerang ujung garis pertempuran Islam di Eropa Timur, wilayah kekuasaan kerajaan Utsmani.
Ekspansi kekuasaan Utsmani mencapai puncaknya pada abad ke-16 dan awal abad ke-17 ketika ia terlibat konflik dengan kekaisaran Hapsburg dalam upaya memperebutkan Eropa Tengah. Dalam perjuangan ini, orang-orang Turki pada awalnya dapat meraih berbagai kemenangan, yang berlanjut hingga satu abad, dan kemudian, secara perlahan, mengalami kekalahan-kekalahan.
Kegagalan pasukan Turki Utsmani yang kedua kalinya dalam penyerbuan mereka ke tembok Wina pada tahun 1983 diikuti dengan lepasnya Buda tiga tahun kemudian, yakni Budapest, yang telah dikuasai oleh pasha Turki sejak tahun 1541.[8] Selanjutnya, untuk pertama kalinya dalam sejarah, kerajaan Utsmani dipaksa sebagai pihak yang kalah oleh pihak musuh dan dipaksa untuk menandatanganinya perjanjian damai yang dikenal dengan Pejanjian San Stefano (Maret, 1878 M) dan Perjanjian Berlin (Juni-Juli, 1878 M) antara kerajaan Utsmani dengan Rusia.
Pada saat kerajaan Turki Utsmani mendapat ancaman dari luar, pada sisi lain di internal kerajaan Turki Utsmani, gerakan pembaharuan malah justru mengancam kekuasaan para Sultan yang absolute, karena para pejuang Turki melihat bahwa kelemahan Turki terletak pada keabsolutan Sultan itu. Mereka ingin membatasi kekuasaan Sultan dengan membentuk konstitusi, lahirlah gerakan tanzimat, Utsmani Muda, Turki Muda, dan Partai Persatuan dan Kemajuan.
Ketika perang Dunia I, Turki bergabung dengan Jerman yang kemudian mengalami kekalahan. Akibatnya, kekuasaan kerajaan Turki Utsmani semakin ambruk. Partai Persatuan dan Kemajuan memberontak kepada Sultan dan dapat menghapuskan kekhalifaan Utsmani, kemudian membentuk Turki modern pada tahun 1924 M. Dengan demikian, kesatuan politik dalam negeri kerajaan utsmani sejak bergeloranya gerakan pembaharuan justru tidak stabil terutama karena para Sultan tidak mampu mengakomodasi pemikiran yang berkembang di kalangan pemimpin bangsanya. Terkecuali itu, peperangan-peperangan melawan Barat di Eropa Timur terus berkecamuk, memakan dan menguras tenaga, terakhir dengan kekalahan pihak Turki.
Di pihak lain, satu demi satu daerah-daerah di Asia dan Afrika yang sebelumnya dikuasai Turki Utsmani, melepaskan diri dari Konstantinopel. Dari semakin banyak faktor yang menyebabkan kemunduran Turki Utsmani itu yang tak kalah pentingnya adalah timbulnya perasaan nasionalisme pada bangsa-bangsa yang berada di bawah kekuasaannya. Bangsa Armenia dan Yunani yang beragama Kristen berpaling ke Barat, memohon bantuan Barat untuk kemerdekaan tanah airnya. Bangsa Kurdi di pegunungan Arab dan di padang pasir dan lembah-lembah juga bangkit untuk melepaskan diri dari cengkeraman penguasa Turki Utsmani.
Demikianlah keadaan dunia Islam pada Abad ke-19 M yang sudah dimulai sejak abad-abad sebelumnya, sementara Eropa sudah jauh meninggalkannya. Eropa dipersenjatai dengan ilmu modern dan penemuan yang membuka rahasia alam. Satu demi satu negeri-negeri Islam yang sedang rapuh itu jatuh ke tangan Barat. Dalam waktu yang tidak lama, kerajaan-kerajaan besar di Eropa sudah membagi-bagi seluruh dunia Islam. Inggris merebut India dan Mesir. Rusia menyeberangi Kaukasus dan menguasai Asia Tengah. Prancis menaklukan Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Eropa lainnya mendapat pula bagiannya dari warisan Islam itu.
Ketika terjadi Perang Dunia I (1915) turki Utsmani berada pada pihak yang kalah. Sampai tahun 1919 M, Turki Utsmani disebut sebagai tentara sekutu. Sejak itu kebesaran Turki Utsmani benar-benar tenggelam, bahkan tidak lama kemudian, kekhalifahan dihapuskan (1924 M). Semua daerah kekuasaannya yang luas, baik di Asia maupun Afrika diambil alih oleh negara-negara Eropa yang menang perang. Perang Dunia I itu merupakan babak akhir proses penaklukan Barat terhadap negeri-negeri Islam. Sejak saat itu, seakan-akan tidak ada lagi kerajaan Islam yang betul-betul merdeka.
Penetrasi Barat ke pusat dunia Islam di Timur Tengah pertama-tama dilakukan dua bangsa Eropa terkemuka, Inggris dan Prancis yang memang sedang bersaing. Inggris terlebih dulu menanamkan pengaruhnya di India. Prancis merasa perlu memutuskan hubungan komunikasi dengan Inggris di Barat dan di India di Timur. Oleh karena itu, pintu gerbang ke India, yaitu Mesir, harus berada dibawah kekuasaannya. Untuk maksud tersebut, Mesir dapat ditaklukan Prancis tahun 1798 M.[9]
Alasan lain Prancis menaklukan Mesir adalah untuk memasarkan hasil-hasil industrinya. Mesir, disamping mudah dicapai dan Prancis juga dapat menjadi sentral aktivitas untuk menditribusikan barang-barang ke Turki, Syria, Hijaz, begitu pula ke Timur Jauh. Di balik itu, Napoleon Bonapatre sendiri, sebagai Panglima Ekspedisi Prancis mempunyai keinginan untuk mengikuti jejak Alexander the Great dan Macedonia, yang jauh di masa lalu pernah menguasai Eropa dan Asia sampai ke India. Akan tetapi, kondisi politik Prancis menghendaki Napoleon meninggalkan Mesir tahun 1799 M. Di Mesir, Jenderal Kleber menggantikan kedudukan Napoleon. Dalan suasana pertempuran laut antara Inggris dan Prancis Jenderal Kleber kalah. Jenderal Kleber dan Ekspedisinya meninggalkan Mesir 31 Agustus 1801 m, dan di Mesir terjadi kekosongan kekuasaan.
Kekosongan itu dimanfaatkan oleh perwira Turki, Muhammad Ali (1769-1849) yang didukung oleh rakyat berhasil mengambil kekuasaan dan mendirikan dinastinya. Dimulai oleh Muhammad Ali, Mesir sempat menegakkan kedaulatan dan melakukan beberapa perubahan, tetapi pada tahun 1882 M, negeri ini ditaklukan oleh Inggis. Persaingan antara Inggris dan Prancis di Timur Tengah memang sudah lama dan terus berlangsung. Persaingan ini terlihat dari penaklukan wilayah Islam di Timur Tengah dan Afrika yang luas seperti : Oman dan Qatar berada di bawah Protektorat Inggris (1820 M), penaklukan Aljazair oleh Prancis (1839-1875 M), Aden dikuasai Inggris (1849 M), Tunisia diserbu Prancis (1881-1883 M), Mesir diduduki Inggris (1882 M), Sudan ditaklukan Inggris (1898 M), dan Chad diserbu Prancis (1900 M).
Pada abad ke-20 M, Italia dan Spanyol ikut bersama Inggris dan Prancis memperebutkan wilayah-wilayah di Afrika seperti; Kesultanan Muslim Nigeria Utara menjadi Protektorat Inggris (1906 M), Kesultanan Tripoli dan Cyrenaica diserbu Italia (1912-1913 M), Maroko diserbu Prancis dan Spanyol (1912 M), Maroko melawan Spanyol (1912-1915 M), Kuwait di bawah Protektorat Inggris (1914 M), Maroko berjuang melawan Prancis (1919-1926 M), Maroko berjuang melawan Spanyol (1919-1920 M), Sisilia wilayah Turki diduduki Prancis (1919-1921 M), Irak menjadi Protektorat Inggris (1920 M), Syiria dan Libanon di bawah mandat Prancis (!920 m), Pemberontakan Druze melawan Prancis di Syiria ( 1925-1927 M), dan perebutan seluruh Somalia oleh Italia (1926-1927).
Sementara itu, Rusia menggerogoti wilayah-wilayah muslim di Asia Tengah, terutama setelah ia berhasil mengalahkan Turki Utsmani yang berakhir dengan Perjanjian San Stefano (Maret, 1878 M), dan Perjanjian Berlin (Juni-Juli, 1878 M) antara kerajaan Utsmani dengan rusia. Satu persatu pula negeri-negeri Islam jatuh ke tangan Rusia, seperti; Pencaplokan Kaukasia oleh Rusia (1834-1859 M), perlawanan Asia Tengah terhadap Rusia (1837-1847 M), serbuan pertama Rusia ke Khoakand dan jatuhnya Tashkent (1853-1865 M), daerah-daerah sekitar Smarkand dan Bukhara ditaklukan Rusia (1866-1872 M), Uzbekistan ditaklukan Rusia (1873-1887 M), dan pendudukan Anglo-Rusia di Iran (1941-1946 M).
C. Kebangkitan dan Kemerdekaan Negara-negara Islam dari Penjajahan
Pada penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, terobosan kekuasaan pihak Eropa tehadap dunia Islam meluas sejak dari Maroko sampai ke Indonesia. Kehadiran militer dan ekonomi memuncak dalam dominasi politik luar negeri dari negara-negara Eropa itu. Prancis di Afrika Utara, Afrika Barat, Afrika Tengah, dan Levant (kini wilayah Lebanon dan wilayah Suriah). Inggris di Palestina, Transyordania, Irak, Teluk Arab, dan Anak Benua India. Belanda di Asia Tenggara. Di mana pihak Islam masih mampu mempertahankan kekuasaan sendiri, seperti imperium Utsmani dan Iran, mereka ini pun terpaksa menghadapi ekspansi politik dan ekonomi pihak Barat.
Pada saat-saat seperti itu kesadaran umat Islam bangkit dan terjaga dari tidurnya, walaupun belum sepenuhnya terjaga pada saat itu, bahwa negeri-negeri mereka telah hilang dan telah diambil oleh pihak Barat. Oleh karena itu, untuk memulihkan dan membangkitkan kekuatan kembali, maka dilakukanlah gerakan-gerakan pembaharuan dalam semua bidang, termasuk dalam bidang politk. Pembaharuan tersebut didorong oleh dua faktor yang saling mendukung seperti; pertama, pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam itu dan menimba gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari Barat, seperti yang dilakukan oleh gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd Al-Wahhab (1703-1787 M). Kedua, pembaharuan dalam masalah politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik.
Gagasan politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (persatuan Islam sedunia) yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sanusiyah.[10] Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin al-Afghani, kemudian disusul oleh Muhammad Abduh dan Abdurrahman al-Kawakiby, namun cara yang ditempuh oleh Jamaluddin al-Afghani lebih tegas dan keras. Ia menghendaki pemberontakan dalam negeri melawan raja-raja dan para penguasa, kemudian mengobarkan semangat rakyat untuk melawan musuh dari luar.
Bagi al-Afghani, kebangkitan dan reformasi umat Islam sangat tergantung pada permasalahan politik, yakni kebebasan dari kungkungan kekuasaan kolonial. Selain mengakui betapa penting kedudukan bahasa dan ikatan-ikatan regional, Al-Afghani mengatakan bahwa Islam memberikan ikatan yang umum dan teramat fundamental dan merupakan basis solidaritas umat Islam.[11]
Lain halnya dengan Muhammad Abduh, dalam hal itu ia lebih lunak dan lembut. Ia menghendaki adanya pan-Islamisme melalui jalan pengajaran dan pendidikan. Sedangkan Abdurahman al-Kawakiby lebih dekat pada Jamaluddin al-Afghani. Ia keras sekali dalam melancarkan perlawanan terhadap penguasa.
Semangat Pan-Islamisme yang bergelora ini mendorong Sultan Kerajaan Turki Utsmani, Abd al-Hamid II (1876-1909 M), untuk mengundang al-Afghani ke Istambul, ibu kota kerajaan. Gagasan ini cepat mendapat sambutan hangat dari negeri-negeri Islam. Akan tetapi semangat demokrasi al-Afghani tersebut menjadi duri bagi kekuasaan Sultan, sehingga al-Afghani tidak diizinkan berbuat banyak di Istambul. Setelah itu, gagasan Pan-Islamisme dengan cepat redup, terutama setelah Turki Utsmani bersama sekutunya, Jerman, kalah dalam Perang Dunia I dan kekhalifahan dihapuskan oleh Muthafa Kemal, tokoh yang justru mendukung gagasan nasionalisme, rasa kesetiaan kepada negara kebangsaan.
Gerakan Musthafa Kemal setelah memperoleh kemenangannya atas Yunani mulai memikirkan sebab-sebab yang mengakibatkan kerusakan Turki dan bertekad untuk menghilangkannya dengan jalan meniru Eropa dalam segala hal. Untuk itu Musthafa Kemal memantapkan pendiriannya menempuh cara yang ditempuh Eropa dalam mengkonsolidasikan kebangunannya, dan hendak menjadikan peradaban Eropa sebagai panutan baginya.
Musthafa Kemal telah menanamkan jiwa barunya dikalangan bangsanya, yaitu perasaan membanggakan kebangsaan sebagai pengganti dari perasaan membanggakan agama.[12]
Gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat itu masuk ke negeri-negeri muslim melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar muslim yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan Barat yag didirikan di negeri mereka. Gagasan kebangsaan ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dari pemuka-pemuka Islam karena dipandang tidak sejalan dengan semangat Ukhuwah Islamiyah. Akan tetapi, ia berkembang cepat setelah gagasan Pan-Islamisme meredup.
Berbeda dengan Musthafa Kemal di Turki, perhatian Muhammad Ali Pasha di Mesir sebagian besar perhatiannya dicurahkan kepada perbaikan dan pembangunan angkatan perang melalui cara-cara yang tidak menimbulkan keguncangan-keguncangan seperti yang dilakukan Musthafa Kemal di Turki Muhammad Ali Pasha membangun yang baru dengan mempertahankan yang lama. Ia mendirikan sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi modern di samping Al-Azhar mengadakan peradilan-peradilan sipil disamping peradilan-peradilan agama dan menerbitkan terjemahan buku-buku sastra di samping buku-buku Turki dan Arab yang lama.[13]
Kalau di Mesir bangkit nasonalisme Mesir, di bagian negeri Arab lainnya lahir gagasan nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat sehingga nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir, Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein dan Kuwait. Semangat persatuan Arab itu diperkuat pula oleh usaha Barat untuk mendirikan negara Yahudi di tengah-tengah bangsa Arab dan di negeri yang dihuni mayoritas Arab. Namun, berbeda dengan negeri-negeri yang menyuarakan aspirasi nasionalnya, bangsa Arab berada dalam beberapa wilayah kekuasaan, bukan saja karena banyaknya kerajaan tradisional, tetapi juga dan terutama karena wilayahnya yang luas itu dibagi-bagi oleh penjajah Barat. Cita-cita mendirikan satu negara Arab menghadapi tantangan yang sangat berat. Paling tidak, untuk mencapai cita-cita itu, mereka harus melalui dua tahap. Pertama, mereka harus memerdekakan wilayah masing-masing dari kekuasaan penjajah. Kedua, mereka harus berusaha mendirikan negara kesatuan Arab.
Di India, sebagaimana di Turki dan Mesir, gagasan Pan-Islamisme yang dikenal dengan gerakan khilafat juga mendapat pengikut. Syed Amir Ali (1848-1928 M) adalah salah seorang pelopornya. Namun, gerakan ini segera pudar setelah usaha menghidupkan kembali khilafah yang dihapuskan oleh Musthafa Kemal di Turki tidak mungkin lagi. Yang populer adalah gerakan nasionalisme yang diwakili oleh Partai Kongres Nasional India. Akan tetapi gagasan nasionalisme segera pula ditinggalkan sebagian besar tokoh-tokoh Islam karena di dalamnya kaum muslim yang minoritas tertekan oleh kelompok Hindu yang mayoritas. Persatuan antara dua komunitas besar Hindu dan Islam sulit diwujudkan. Oleh karena itu, umat Islam di anak benua India ini tidak menganut nasionalisme, tetapi Islamisme, yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama komunalisme. Gagasan komunalisme Islam ini disuarakan oleh Liga Muslimin yang merupakan saingan bagi Partai Kongres Nasonal dukungan Mayoritas penganut agama Hindu.
Munculnya gagasan-gagasan nasionalisme yang diikuti dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat. Dalam kenyataannya, memang, partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari kekuasaan penjajah. Perjuangan mereka biasanya terwujud dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti; gerakan politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun perjuangan bersenjata, dan pendidikan serta propaganda dalam rangka mempersiapkan masyarakat menyambut dan mengisi kemerdekaan.[14] Negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 M. Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh Tentara Sekutu. Akan tetapi, rakyat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan bersenjata selama lima tahun berturut-turut, karena Belanda, yang didukung oleh Tentara Sekutu berusaha menguasai kembali kepulauan ini.
Negara Islam kedua yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan, yaitu pada tanggal 15 Agustus 1947 M, ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan konstitusi, satu untuk India dan satu untuk Pakistan.
Di Timur Tengah, Mesir secara resmi memperoleh kemerdekaannya pada tahun 1922 M, dari Inggis, tapi dalam pemerintahan Raja Faruk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada pemerintahan Jamal Abd al-Nasser yang menggulingkan Raja Faruk pada tanggal 23 Juli 1952 M, Mesir menganggap dirinya benar-benar merdeka. Sama dengan Mesir, Irak merdeka secara formal pada tahun 1923 M, tapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka pada tahun 1958 M. Sebelum itu, negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria, Jordania, dan Libanon pada tahun 1946 M. Di Afrika, Lybia merdeka tahun 1951 M, Sudan dan Maroko tahun 1956 M, Aljazair tahun 1962 M. Semuanya membebaskan diri dari Prancis. Pada waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara, Yaman Selatan dan Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia Tenggara, Malaysia, yang waktu itu termasuk Singapura, mendapat kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1957 M, dan Brunai Darussalam tahun 1984 M.
Demikianlah, satu persatu negeri-negeri Islam memerdekakan diri dari penjajahan. Bahkan beberapa diantaranya baru mendapat kemerdekaan pada tahun-tahun terakhir, seperti negara-negara Islam yang dulunya bersatu dalam Uni Soviet, yaitu Uzbekistan, Turkmenia, Kirghistan, kazakhtan, Tasjikistan dan Azerbaijan pada tahun 1992 M, dan Bosnia memerdekakan diri dari Yugoslavia juga pada tahun 1992 M.
Walaupun begitu, sampai saat ini masih ada umat Islam yang berharap mendapatkan otonomi sendiri, atau paling tidak menjadi penguasa atas masyarakat mereka sendiri. Mereka itu adalah penduduk minoritas muslim dalam negara-negara nasional, Kasymir di India, Moro di Philipina, dan sebagainya. Meski mereka hidup dalam negara merdeka, namun status sebagai minoritas seringkali menyulitkan mereka dalam meningkatkan kesejahteraan hidup.
Daftar Pustaka
i. Gholib, Drs. H. Ahmad, Studi Islam, Pengantar Memahami Agama, Al-Qur’an Al-Hadist dan Sejarah Peradaban Islam (Faza Media, Jakarta, 2005).
ii. Jhon L. Esposito, Kebangkitan Islam (Bulan Bintang, Jakarta, 1998).
[1] Jhon L Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang; 1990, h.3
[2] Jhon L Esposito, Islam dan Politik, Jakarta: Bulan Bintang; 1990, h.6.
[3] Marsshal G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Iman dan Sejarah dalam Peradaban dunia, Jakarta; Paramadina, 2002, h. 240.
[4] Bernard Lewis, Yahudi – Yahudi Islam, Jakarta; Nizam Press, 2001, h. 20
[5] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, Bandung; CV Rosda Bandung, 1987.
[6] L. Stoddard, Dunia Baru Islam, Jakarta ; 1966, h.142
[7] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam; Sejarah Pemikiran, dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, h.15.
[8] Bernard Lewis, Yahudi-Yahudi Islam..................., h. 142.
[9] Philip K. Hitti, History of the Arabs,
[10] Ahmad Syalabi, Imperium Turki Ustmani,
[11] John L. Esposito, Islam dan Politik……………., h. 66.
[12] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa………………., h. 202.
[13] Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa………………., h. 204.
[14] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar