Jumat, 21 Agustus 2009

Sejarah Agama Budha

PENDAHULUAN

Kata Buddha berasal dari akar kata sansekerta Budh yang mempunyai arti “bangun” atau “mengetahui”. Dengan demikian kata Budha berarti “Ia yang bangun” atau “Ia yang mengetahui”.[1] Buddha sebenarnya bukanlah nama bagi seseorang, tetapi sebutan yang diberikan kepada orang yang telah mencapai “bodhi” yaitu ilmu pengetahuan yang tinggi dan sempurna.

Agama Buddha bagi bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah agama baru. Ratusan Tahun yang silam agama ini pernah menjadi pandangan hidup dan kepribadian bangsa Indonesia tepatnya pada zaman kerajaan Sriwijaya, kerajaan Maratam Purba dan keprabuan Majapahit. Candi Borobudur, salah satu warisan kebudayaan bangsa yang amat kita banggakan tidak lain cerminan dari kejayaan agama Buddha di zaman lampau.

Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda di Jakarta didirikan Perhimpunan Theosofi oleh orang-orang Belanda terpelajar. Tujuan dari Theosofi ini mempelajari inti kebijaksanaan semua agama dan untuk menciptakan inti persaudaraan yang universal. Theosofi mengajarkan pula kebijaksanaan dari agama Buddha, di mana seluruh anggota Theosofi tanpa memandang perbedaan agama, juga mempelajari agama Buddha. Dari ceramah-ceramah dan meditasi agama Buddha yang diberikan di Loji Theosofi di Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta, Surabaya dan sebagainya, agama Buddha mulai dikenal, dipelajari dan dihayati. Dari sini lahirlah penganut agama Buddha di Indonesia, yang setelah Indonesia merdeka mereka menjadi pelopor kebangkitan kembali agama Buddha di Indonesia.

PEMBAHASAN

AGAMA BUDDHA

1. Asal Usul Agama Buddha

Agama Buddha lahir di negara India, lebih tepatnya lagi di wilayah Nepal sekarang, Ajaran Buddha sampai ke negara Tiongkok pada tahun 399 Masehi, dibawa oleh seorang bhiksu bernama Fa Hsien. Masyarakat Tiongkok mendapat pengaruhnya dari Tibet disesuaikan dengan tuntutan dan nilai lokal.

Setiap aliran Buddha berpegang kepada Tripitaka sebagai rujukan utama karena dalamnya tercatat sabda dan ajaran sang hyang Buddha Gautama. Pengikut-pengikutnya kemudian mencatat dan mengklasifikasikan ajarannya dalam 3 buku yaitu Sutta Piaka (kotbah-kotbah Sang Buddha), Vinaya Piaka (peraturan atau tata tertib para bhikkhu) dan Abhidhamma Piaka (ajaran hukum metafisika dan psikologi).

2. Sejarah Pendiri Agama Budha

Pendiri agama Budha ialah seorang anak raja dari Kapilawastu India bernama Sidharta, yang dikenal sebagai Gautama Buddha oleh pengikut-pengikutnya.

Nama lengkapnya adalah Sidharta Gautama Shakya. Sidharta adalah nama kecilnya, Gautama adalah nama keluarganya dan Shakya adalah nama marga keluarganya.[2] Sidharta dilahirkan 563 SM di sebuah kota selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Dia juga dikenal dengan nama Sakyamuni (orang bijak dari kaum Sakya). Ia adalah putra seorang raja yang bernama Sudhadana dan ibunya bernama Maya.

Sejak kecil, Sidharta ditempatkan dalam sebuah istana yang indah dan mewah. Pada waktu ia genap berusia tiga puluh tahun, dari masa kecilnya ia tetap terkurung dalam istana yang indah dan mewah. Sebagai seorang putra yang termasuk kasta Ksatria, sebagaimana adat orang Hindu dari usia dua belas tahun ia telah diberi pelajaran kitab Weda. Berbagai persoalan hidup manusia yang telah dilihatnya itu selain dipikirkan dan direnungkannya, ia juga mencarinya didalam kitab Weda yang telah di pelajarinya, tetapi ia belum menemui jawaban yang memuaskan.

Pada suatu hari ketika ia hendak pergi kepasar bersama pelayannya, di dalam perjalanan ia bertemu dengan seorang yang sudah tua memakai pakaian kasar berwarna kuning berjalan ke sana-sini meminta-minta, walaupun ia sudah tua dan miskin, tetapi wajahnya terlihat tabah dan tenang. Sidharta kagum dan tertarik dengan ketenangan dan ketabahan orang itu, sehingga ia berkata dalam hatinya, inilah contoh yang paling baik untukku dalam mencari kebenaran dalam menyelami sebab penderitaan manusia.

Sejak saat itu Sidharta mengambil keputusan untuk meninggalkan istana dan semua kesenangan dan kemewahannya, ia akan pergi mengembara. Dalam pengembaraannya itu, ia bertemu dengan lima orang biksu yang sedang sama-sama mencari hikmat dan kebijaksanaan hidup yang sempurna seperti Sidharta.

Kelima orang itu mengatakan: “Untuk mendapatkan hikmat dan kesempurnaan hidup, sebagai yang telah di sebutkan dalam kitab-kitab suci, kita harus mensucikan roh kita. Untuk itu kita wajib menyiksa diri kita dengan kelaparan dan sebagainya. Dengan menyiksa tubuh yang kasar, roh kita akan menjadi halus dan mulia!”. “jika memang demikian jalannya, saya akan coba!” kata Sidharta. Tetapi setelah ia mencoba hal tersebut, ia tidak mendapatkan apa yang ia cari.

Sidharta mencoba meneruskan perjalanannya. Akhirnya ia berhenti di bawah pohon Kayuara[3], dan dari situlah ia mendapatkan rahasia hidup yang dicarinya, ketika iti ia berusia 36 tahun. Ketika itu ia berkata didalam hatinya: “Telah kutemukan kunci hikmat kebijaksanaan itu, dan hukum utama hidup itu ialah: “Dari baik pasti menjadi baik, dari jahat mesti menjadi jahat”. Malam ia mendapatkan kunci rahasia hidup itu, telah di namakan malam suci bagi penganut Budha.

Di luar kota Benares ditaman Rusa desa Sarnath, disanalah Budha Gautama memulai khotbahnya kepada kelima orang temannya. Dari saat itu dimulailah menyebarkan faham dan pelajarannya, sehingga dari hari kehari ia mendapat pengikut-pengikut yang setia. Itu dikarenakan isi pelajarannya teruntuk semua orang bukan berdasarkan golongan atau kasta.[4]

3. Proses Perkembangan Agama Budha

a. Masa awal

Setelah Budha Gautama meninggal dunia, jenazahnya dibakar dan abu jenazahnya dibagi-bagi dan ditempatkan dalam 8 stupa. Yang kemudian dijadikan barang pujaan oleh para penganut agama Budha. Tidak lama setelah ia meninggal berkumpullah para angggota Sanggha[5] untuk menuliskan semua pengajaran-pengajaran yang disampaikan Budha. Dalam perkumpulan ini lahirlah kitab Winaya Pittaka dan Sutranta Pittaka.

Pada masa selanjutnya, timbullah perbedaan-perbedaan faham dan pandangan para penganut Budha tentang tafsiran-tafsiran dalam kitab Winaya Pittaka. Karena perbedaan-perbedaan ini, penganut budha terpecah menjadi 2 golongan. Yaitu: Stawirawade dan Mahasangghika. Yang kemudian dinamakan Mahayana (perahu besar) untuk golongan Mahasangghika dan Hinayana (perahu kecil) untuk golongan Stawirawade.

Aliran Mahayana berkembang dibagian Negara-negara sebelah utara, yaitu: Tibet, Tiongkok, Korea dan Jepang. Sedangkan aliran Hinayana berkembang di bagian selatan, yaitu: Birma, Muangthai, Kamboja, Laos dan Vietnam. [6]

Secara garis besar, perbedaan-perbedaan kedua golongan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Keanggotaan Sanggha

Bagi golongan Mahayana, keanggotaan Sanggha tidak hanya terbatas pada para pendeta (biksu/biksuni), tetapi meliputi seluruh penganut agama Budha. Karena bukankah mirwana itu terbuka untuk semua manusia tidak untuk satu golongan saja. Menurut mereka, hanya cara yang ditempuh saja yang berbeda.

Sedangkan bagi golongan hinayana, mereka tetap mempertahankan pembagian penganut Budha kedalam dua golongan. Yaitu: anggota Sanggha dan penganut biasa.

2. Masalah tujuan akhir

Bagi golongan Mahayana, tujuan terakhir mereka adalah menjadi seorang Bodhisatya yaitu: seorang mahluk yang walaupun telah mencapai tepi nirwana, secara suka rela melepaskan hadiahnya supaya ia dapat kembali kedunia, sehingga orang lain dapat mencapai nirwana itu dengan petunjuknya.

Sedangkan bagi golongan Hinayana, tujuan terakhir mereka adalah menjadi Arhat, yaitu: seorang yang telah mencapai nirwana.[7]

3. Masalah Pantheon (masyarakat dewa)

Seluruh penganut Budha menempatkan Budha itu sebagai pujaan seperti dewa. Tetapi, bagi golongan Mahayana tidak hanya terbatas pada para Budha. Melainkan ditambah dengan para calon Budha (Bodhisatya). Para Bodhisat-bodhisat itu dibagi lagi menjadi: Dhyani Budha yaitu bodhisat yang berdiam dilangit, dan Manusi Budha yaitu bodhisat yang turun kedunia untuk membimbing segenap manusia.

b. Masa pertengahan

Dalam sejarah agama Budha, banyak raja-raja besar yang berjasa dalam penyebaran agama Budha. Diantaranya adalah Asoka, ia adalah seorang cucu dari raja Candragupta di Moghada (273-232 S.M). Raja Asoka menjadikan agama Budha sebagai agama Negara. Selain itu, ia juga berusaha menyebarkan agama Budha keluar daerah India, dengan mengirimkan duta-duta dan muni-muninya kenegara tetangga. Akhirnya tersebarlah agama Budha di luar India dengan pesat. Penyebarannya samapai ke Siam (Muangthai), Kamboja, Laos, Vietnam, Tibet, Tiongkok, Korea dan Jepang.

Dengan luasnya penyebaran agama Budha menyebabkan pelajaran Budha telah di campur dengan peradaban dan agama mereka sebelum menganut Budha. Seperti kita lihat di Tiongkok, agama Budha telah bercampur dengan pengajaran-pengajaran dari agama Tao dan Kong hu Chu. Dimana pelajarannya mengenai kepercayaan banyak mengemukakan penyembahan kepada roh nenek moyang. Begitu juga di Jepang, agama Budha bercampur dengan agama Shinto. Di mana Yang Maha Kuasa dikatakan bersemayam di matahari.

4. Dasar-Dasar Agama Budha

Kesimpulan ajaran Budha itu disebut “Dharma”. Sebenarnya dalam agama Hindu sudah disebut-sebut kata-kata “Dharma” yang menurut istilah Brahma berarti: bahan atau tugas hidup sebagai anggota masyarakat di ala mini. Karena itu kata-kata Dharma difahamkan dengan arti; hukum peraturan, kewajiban, ketertiban dan segenap kewajiban dan tugas manusia lahir batin.

Menurut agama Budha, Dharma itu artinya: Semua ajaran Budha atau agama Budha itu sendirilah yang disebut Dharma. Semua pelajaran Budha atau Dharma itu berpangkal kepada dua macam. yaitu: Aryasatyani dan Peratyasamutpada.

Aryasatyani atau Catur Arya Satya adalah kebenaran utama, yang terdiri dari empat tingkat:

  1. Dukka[8] Satya, yaitu bahwa hidup adalah penderitaan yang sudah pasti terjadi dalam kehidupan.
  2. Samdaya Satya, yaitu segala macam Tresna (keinginan untuk hidup, dorongan hawa nafsu) yang menjdi penyebab penderitaan.
  3. Nirodha Satya, yaitu bahwa penderitaan itu dapat dihentikan dengan cara menindas Tresna keinginan hawa nafsu itu.
  4. Asta Arya Marga, yaitu bahwa penderitaan itu dapat ditindas dengan melalui “delapan jalan” atau astawida, yaitu:
    1. Pandangan hidup (keyakinan) yang benar.
    2. Niat dan fikiran yang benar.
    3. Perkataan yang benar.
    4. Kelakuan yang benar.
    5. Penghidupan (pekerjaan) yang benar.
    6. Tindakan dan usaha yang benar.
    7. Perhatian yang benar (tidak mudah dipengruhi sedih atau gembira).
    8. Samadi (pengarahan fikiran) yang benar.[9]

Sedangkan Peratyasamutpada adalah rantai lingkaran sebab dan akibat. Dalam uraian Aryasatyani diatas, telah disebutkan bahwa hidup ini adalah penderitaan, penderitaan itu timbul karena hawa nafsu (Tresna), dan untuk ,mencari kelepasan abadi Tresna wajib ditindas.

Menurut rangkaian sebab akibat, dengan ditindasnya tresna lenyaplah penderitaan. Akan tetapi Tresna itu timbul akibat dari Awidya (kebodohan), maka kebodohan itulah yang wajib ditindas terlebih dahulu. Dengan lenyapnya kebodohan, putuslah sudah lingkaran rantai sebab akibat dan berhentilah segala keadaan yang menimbulkan hidup yang berjalin dengan penderitaan ini.

Orang yang telah mencapai kesempurnaan ini yang telah melenyapkan Awidya dan melenyapkan Tresna disebut Arhat. Menurut kepercayaan mereka, orang yang demikian tidak akan terlahir kembali kemuka bumi, karena ia telah mencapai Nirwana.

Dalam agama Budha, dikenal istilah Dasasila (Sepuluh peraturan), yaitu:

1. Jangan mengganggu dan menyakiti mahluk

2. Jangan mencuri

3. Jangan berzina

4. Jangan berkata bohong

5. Jangan minum yang memabukan

6. Jangan makan bukan pada waktunya

7. Jangan menonton menghadiri keriangan duniawi

8. Jangan bersolek dan memakai perhiasan dan wangi-wangian

9. Jangan tidur di tempat yang enak

10. Jangan mau menerima hadiah uang.[10]

Dari kesepuluh peraturan tersebut, peraturan no 6 sampai no 10 berlaku khusus untuk para pendeta.

Selain itu, dalam agama Budha juga dikenal rukun syarat beragama. Yaitu:

1. Tiap-tiap orang hendaklah berusaha mengetahui Budha itu sedalam-dalamnya.

2. Manusia harus mempunyai perasaan yang lemah lembut dan halus.

3. Manusia tidak boleh melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain.

4. Manusia harus cari penghidupan yang tidak mendatangkan kebinasaan bagi orang lain.

5. Tiap-tiap manusia hendaklah mempunyai niat yang suci dan bersih.

6. Tiap-tiap manusia hendaklah memikirkan semua mahluk.

7. Manusia hendaklah mempunyai roh yang kuat untuk menciptakan kebaikan dan menghilangkan kejahatan.

Meskipun kedatangan Budha merupakan suatu revolusi agama Hindu, mengenai kelahiran kembali (Reinkarnasi), itu tetap dipercayai. Akan tetapi kelahiran atau penjelmaan kembali menurut anggapan Budha hanya disekitar lima macam. Yaitu:

  1. Sebagai dewa yang bertempat tinggal di Kahyangan yang tidak terlihat oleh manusia.
  2. Sebagai manusia juga.
  3. Sebagai binatang.
  4. Sebagai jin (jurig).
  5. Sebagai penghuni neraka.

Penjelmaan menjadi manusia, binatang atau jin tempatnya di dunia. Dapat dilihat, tetapi tidak dapat diketahui penjelmaan dari siapakah orang dan binatang tersebut. Penjelmaan atau kelahiran kembali semuanya merupakan sementara, terikat dalam lingkaran karma. Bagaimana untuk kelahirannya yang akan datang tergantung kepada karmanya.[11]

5. Aliran Agama Budha

Ada 3 aliran besar dalam Budhisme saat ini, yakni Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Dan sudut pandang dari ketiga aliran tersebut berbeda-beda terhadap sumber ajaran yang sama.

  1. Buddha Theravada

Aliran Theravada adalah aliran yang memiliki sekolah Buddha tertua yang tinggal sampai saat ini, dan untuk berapa abad mendominasi Sri Langka dan wilayah Asia Tenggara (sebagian dari Tiongkok bagian barat daya, Kamboja, Laos, Myanmar, Malaysia, Indonesia dan Thailand) dan juga sebagian Vietnam. Selain itu populer pula di Singapura dan Australia.

Theravada berasal dari bahasa Pali yang terdiri dari dua kata yaitu thera dan vada. Thera berarti sesepuh khususnya sesepuh terdahulu, dan vada berarti perkataan atau ajaran. Jadi Theravada berarti Ajaran Para Sesepuh.

Istilah Theravada muncul sebagai salah satu aliran agama Buddha dalam Dipavamsa, catatan awal sejarah Sri Lanka pada abad ke-4 Masehi. Istilah ini juga tercatat dalam Mahavamsa, sebuah catatan sejarah penting yang berasal dari abad ke-5 Di yakini Theravada merupakan wujud lain dari salah satu aliran agama Buddha terdahulu yaitu Sthaviravada (Bahasa Sanskerta: Ajaran Para Sesepuh), sebuah aliran agama Buddha awal yang terbentuk pada Sidang Agung Sangha ke-2 (443 SM). Dan juga merupakan wujud dari aliran Vibhajjavada yang berarti Ajaran Analisis (Doctrine of Analysis) atau Agama Akal Budi (Religion of Reason).

  1. Buddha Mahayana: Zen

Tokoh Kuan Yin (yang bermaksud "maha mendengar" atau nama Sansekertanya "Avalokiteśvara") merupakan tokoh Mahayana dan dipercayai telah menitis beberapa kali dalam alam manusia untuk memimpin umat manusia ke jalan kebenaran. Dia diberikan sifat-sifat keibuan seperti penyayang dan lemah lembut. Menurut sejarahnya Avalokitesvara adalah seorang lelaki murid Buddha, akan tetapi setelah pengaruh Buddha masuk ke Tiongkok, profil ini perlahan-lahan berubah menjadi sosok feminin dan dihubungkan dengan legenda yang ada di Tiongkok sebagai seorang dewi.

Penyembahan kepada Amitabha Buddha (Amitayus) merupakan salah satu aliran utama Buddha Mahayana.

  1. Buddha Vajrayana

Aliran Buddha Vajrayana merupakan aliran awal agama Buddha yang sekarang dianut oleh orang Tibet.

6. Kitab Suci Agama Budha

Kitab suci agama Budha bernama Tripitaka (tiga keranjang). Kitab ini berisi pidato-pidato dan ajaran Budha Gautama yang dikumpulkan oleh para muridnya setelah Budha meninggal dunia. Kitab ini ditulis menggunakan bahasa Pali (bahasa rakyat daerah Moghada), sehingga mudah dimengerti oleh rakyat. Berbeda dengan kitab Weda yang ditulis dalam bahasa Sansekerta (bahasa Arya) yang dinilai gaya bahasa yang terlalu tinggi oleh rakyat. Dinamakan Tripittaka karena itu merupakan tiga himpunan pidato Budha. Yaitu :

a. Winaya Pittaka, yang berisi berbagai hukum dan peraturan dalam kehidupan para penganut Budha.

b. Sustranta Pittaka, yang berisi pidato-pidato dan nasihat-nasihat Budha.

c. Abdidharma Pittaka, yang berisi tentang penjelasan dan uraian keagamaan.

7. Perkembangan agama Budha di Indonesia

- Zaman Sriwijaya

Kerajaan Sriwijaya bukan saja termasyur karena kekuatan angkatan perangnya, melainkan juga karena merupakan pusat ilmu dan kebudayaan Agama Buddha. Disana terdapat banyak vihara dan dihuni oleh ribuan Bhikkhu. Di Perguruan Tinggi Agama Buddha di Sriwijaya, selain kuliah-kuliah tentang Agama Buddha, orang dapat mengikuti juga kuliah-kuliah tentang bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuno (Kawi). Pujangga-pujangga Agama Buddha terkenal seperti Dharmapala dan Sakyakirta pernah mengajar di Perguruan Tinggi tersebut. Kerajaan Sriwijaya yang didirikan pada ± abad ke-7 dapat bertahan terus hingga tahun 1377.

- Zaman Sailendra di Mataram

Sekitar tahun 775 sampai tahun 850 di daerah Bagelan dan Yogyakarta berkuasa raja-raja dari wangsa Sailendra yang memeluk Agaman Buddha. Pada waktu itu Mataram mencapai zaman keemasan dan kemajuan ilmu pengetahuan, terutama ilmu tentang Agama Buddha. Kesenian misalnya, seni pahat menghasilkan karya seni seperti : Candi Borobudur, Pawon, Mendut, kalasan dan Sewu. Setelah Raja Samarotungga meninggal dunia, Mataram kembali diperintah oleh raja-raja dari wangsa Sanjaya yang beragama Hindu.

- Zaman Majapahit

Dibawah raja-raja Majapahit (tahun 1292 s/d tahun 1478) yang menganut Agama Hindu, Agama Buddha masih dapat berkembang dengan baik. Toleransi keagamaan dijaga baik-baik sehingga tidak ada pertentangan agama (Hindu – Buddha). Pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk, seorang pujangga terkenal, Mpu Tantular, menulis buku berjudul “Sutasoma”, didalamnya terdapat kalimat Ciwa Buddha Binneka Tunggal Ika Tanhang Dharma Mandrawa. Dari sinilah diambil semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadi lambing Negara Republik Indonesia.

- Zaman Abad ke-20 sampai sekarang

Maret 1934 : Agama Buddha mulai bangkit di Pulau Jawa dengan datangnya Y.M. Bhikkhu Narada Thera dari Sri Lanka (Ceylon). Selama di Pulau Jawa, Y.M. Bhikkhu Narada melakukan kegiatan, seperti : Khotbah-khotbah dan pelajaran Buddha Dhamma, Penanaman Pohon Bodhi di Candi Borobudur, Pendirian Java Buddhist Association (Perhimpunan Agama Budha), dll.

Tahun 1955 : The Boan An dari Bogor ditahbiskan menjadi Bhikkhu Theravada di Birma oleh Ven. Tahun 1955-1956 berdiri Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI)

Tahun 1959 : Y.M. Narada Mahathera kembali dating ke Indonesia disertai 12 orang Bhikkhu senior dari beberapa Negara (Kamboja, Birma, Sri Lanka, Thailand).

Mei 1967 : Di Lawang dibentuk Perhimpunan Tempat Ibadah Tri Dharma (PTITD) untuk seluruh Jawa Timur dengan Ketua Umum Ong Kie Tjay dari Surabaya.

Tahun 1969 : Pertama kalinya mahasiswa Buddhis di Jakarta mengadakan Upacara Asadha di Gandhi School, Jakarta. Dua Tahun kemudian terbentuk Keluarga Mahasiswa Buddhis Jakarta (KMBJ)

Mei 1972 : Dicetuskan ikrar persatuan dan kesatuan dari tujuh organisasi Buddhis menjadi satu organisasi tunggal dengan nama Buddha Dharma Indonesia (BUDHI).

Sept. 1976 : Terbentuk Gabungan Umat Buddha Seluruh Indonesia (GUBSI) dengan ketua Umum Rd. Eko Sasongko Praptomo, SH dan Sekjen Drs. Pannajiwa AT.

7-8 Mei 1978 : Berlangsung Kongres Umat Buddha di Yogyakarta dan terbentuk Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) sebagai wadah tunggal umat Buddha di Indonesia dengan Suparto Hs. sebagai ketua.

8-11 Juli 1986 : Di Jakarta diadakan Kongres I WALUBI dibuka Presiden Soeharto.

Agustus 1994 : Dibentuk satu lembaga Buddhis baru dengan nama Keluarga Cendekiawan Buddhis Indonesia (KCBI) dengan Siti Hartati Murdaya, MBA sebagai Ketua Umum dan Drs. Oka Diputhera sebagai Sekjen.

KESIMPULAN

Agama Budha bukanlah agama baru pada saat itu, Budha Gautama hanya mengajarkan perubahan besar-besaran dari agama yang telah ada pada saat itu yaitu agama Hindu.

Salah satu revolusi besar agama Hindu oleh Budha adalah meruntuhkan kepercayaan tentang Caturwarna (kasta-kasta dalam kehidupan manusia). Dengan pengajarannya Budha menunjukan bahwa ketinggian derajat manusia bukan karena keturunanya, melainkan atas Dharmanya yaitu usaha menekan Tresna (hawa nafsu) yang mana tidak khusus untuk suatu kelas, melainkan untuk seluruh manusia. Di dalam agama Hindu untuk mencapai Nirwana dianjurkan penyiksaan diri. Sedangkan ajaran Budha cukup dengan menekan hawa nafsu dan hidup sederhana tidak usah menyiksa diri.

Inti ajaran Budha tercermin di dalam Catur Arya Satya atau kebenaran utama, yang terdiri dari empat tingkat: Dukka Satya (hidup adalah penderitaan), Samdaya Satya (keinginan untuk hidup, dorongan hawa nafsu) , Nirodha Satya dan Asta Arya Marga.

Untuk Kitab suci agama Budha bernama Tripitaka. Kitab ini merupakan tiga himpunan pidato Budha. Yaitu: Winaya Pittaka (berisi berbagai hukum dan peraturan), Sustranta Pittaka (berisi pidato-pidato dan nasihat-nasihat Budha) dan Abdidharma Pittaka (berisi tentang penjelasan dan uraian keagamaan).

DAFTAR PUSTAKA

- Smith, Huston, The Religions Of Man (terj. Safrudin Bahar). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: 2004

- Hakim, Agus, Perbandingan Agama, cv. Dipenogoro. Bandung: 2000

- http://www.buddhistonline.com

- http://www.yahoo.com



[1] Huston Smith, The Religions Of Man (terj. Safrudin Bahar). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: 2004. Hal: 106

[2] Agus Hakim, Perbandingan Agama, cv. Dipenogoro. Bandung: 2000. Hal: 158

[3] Menurut sumber lain, ada juga yang mengatakan dibawah pohon Beringin. Dan ada juga yang mengatakan dibawah pohon Bo dengan bunga-bungaan merah.

[4] Agus Hakim, Perbandingan Agama, cv. Dipenogoro. Bandung: 2000. Hal: 167

[5] Yaitu golongan pendeta yang memisahkan diri dari masyarakat ramai dan hidup di dalam Wihara-wihara (biara-biara). Jika mereka laki-laki dinamai Biksu dan yang perempuan dinamai Biksuni. Selain golongan ini, ada juga golongan penganut Budha biasa, yang disebut Upasaka untuk laki-laki dan Upasika untuk perempuan.

[6] Agus Hakim, Perbandingan Agama, cv. Dipenogoro. Bandung: 2000. Hal: 181

[7] Huston Smith, The Religions Of Man (terj. Safrudin Bahar). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: 2004. Hal: 161

[8] Huston Smith, The Religions Of Man (terj. Safrudin Bahar). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta: 2004. Hal: 132

[9] Agus Hakim, Perbandingan Agama, cv. Dipenogoro. Bandung: 2000. Hal: 169

[10] Agus Hakim, Perbandingan Agama, cv. Dipenogoro. Bandung: 2000. Hal: 174

[11] Agus Hakim, Perbandingan Agama, cv. Dipenogoro. Bandung: 2000. Hal: 170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar