TAFSIR SURAH ALI IMRAN
AYAT 113 - 114
1. Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi tiada tuhan selain Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
Sehubungan dengan tugas mata kuliah Tafsir-I, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Tafsir Surah Ali Imran ; ayat 113 - 114.
Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :
1. : Pendahuluan
2. : Surah Ali Imran ; ayat 113
3. : Surah Ali Imran ; ayat 114
4. : Kesimpulan
5. : Daftar Pustaka
2. Surah Ali Imran ; ayat 113
” Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.”
Kosa Kata dalam Ayat
Sawā'un, dikatakan si fulan dengan si fulan sawa'un (sama saja). Maksudnya keduanya sama. Kata ini dipakai untuk satu, dua orang dan jamak. Maka dikatakan huma sawa'an hum sawa’un (mereka berdua dan banyak sama saja).
Qā’imah, lurus dan adil. Diambil dari asal kata Aqamtul ’Ûda fa qāma, (aku meluruskan tangkai kayu sehingga jadilah ia lurus).
At-Tilawah dan A!-Qirā'ah, berasal dari kata Al-Ittiba' (mengikuti). Jadi seolah yang dimaksud dengan qara'ah adalah mengikuti kata demi kata yaitu Al-Qur'an.
Āyātullāh, yaitu Al-Qur’an.
Al-Anā, saat-saat, bentuk tunggalnya Ana, seperti ’Asa (tongkat) atau Anyun
Yasjudūna, Mereka melakukan sujud/shalat.
Asbaabun Nuzul
Pada waktu Abdullah bin Sallam, Tsa’labah bin Syu'bah, Usaid bin Sa'yah, Sa'ad bin Abd dan beberapa orang lainnya dari golongan orang-orang yahudi memeluk agama Islam, beriman dan membenarkan ajaran Muhammad SAW serta taat dan patuh kepada ajaran agama Islam, para pendeta Yahudi dan orang-orang yang kufur di antara mereka berkata : “Tidak akan mau beriman kepada Muhammad dan pengikut-pengikutnya, kecuali orang-orang yang paling jahat di antara kami semua. Sekiranya mereka itu orang-orang yang paling baik di antara kami, tentu mereka tidak akan mungkin mau meninggalkan agama nenek moyangnya dan pergi memeluk agama lain”. Sehubungan dengan kata-kata orang-orang Yahudi itu Allah SWT menurunkan ayat ke-113 yang memberikan ketegasan bahwa di antara orang-orang Yahudi ada yang jujur karena beriman kepada Allah dan ajaran yang dibawa Muhammad SAW, dan ada pula yang mengingkarinya, meneruskan ajaran kekufuran.
(HR. 1bnu Abi Hatim, Thabrani dan Ibnu Mandah dari Ibnu Abbas)
Ketika Rasulullah SAW mengakhiri/mengundurkan shalat Isya, kemudian keluar menuju masjid didapatilah orang-orang yang telah menunggu beliau untuk melakukan shalat. Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya, tiada seorang dari pada penganut-penganut agama lain yang menyebut nama Allah pada saat seperti ini selain kalian.” (HR. Ahmad dan Imam yang lain dari Ibnu Mas’ud).
Sehubungan dengan sabda Rasulullah SAW itu Allah SWT menurunkan ayat ini yang dengan tegas menerangkan sifat-sifat orang-orang yang beriman kepada Allah SWT.
Banyak di kalangan ahli tafsir, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah beriman diantara pemuka-pemuka Ahli Kitab seperti : Abdullah bin Sallam, Tsa’labah bin Syu'bah, Usaid bin Sa'yah, Sa'ad bin Abd, dll. Maka tidak samalah mereka yang sudah islam dan beriman itu dengan mereka yang telah dicela oleh Allah dalam ayat-ayat sebelum ini. Di antara mereka itu ada yang mu’min dan ada yang fasik. Ada pula golongan yang lurus dan jujur melaksanakan perintah Allah, mengikuti jejak Nabi Allah dan melakukan syari’atnya, melakukan shalat, sujud dan tahajud di waktu malam serta amar ma’ruf nahi mungkar. Mereka itulah yang dipuji oleh Allah dan digolongkan dari golongan orang-orang yang saleh.
Syekh Mutawalli Asy-Sya'rawi bahkan menjadikan ayat 113 diatas sebagai bukti bahwa yang dimaksud adalah orang-orang Yahudi yang telah masuk Islam, karena katanya, "orang-orang Yahudi tidak mengenal shalat malam, sehingga firman Allah di sini bahwa mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka bersujud yakni shalat, membuktikan bahwa mereka telah masuk Islam, karena hanya ummat Islam yang mengenal shalat malam".
Kendati demikian, tidak mutlak memahami kata sujud dalam ayat di atas dalam arti shalat, ia dapat juga diartikan tunduk dan patuh. Karena itu ada juga ulama yang memahami ayat ini berbicara tentang kelompok Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang belum/tidak memeluk agama Islam, tetapi mereka adalah orang-orang jujur, melaksanakan tuntunan agama mereka dengan benar, mengamalkan nilai-nilai universal yang diakui oleh seluruh ummat manusia. Mereka tidak menganiaya dan tidak berbohong, tidak mencuri atau berzina, tidak berjudi dan mabuk-mabukan, membantu dan menolong tanpa pamrih, dan sebagainya. Mereka itu termasuk kelompok orang yang shaleh dalam kehidupan dunia ini, yakni memelihara nilai-nilai luhur, bahkan berusaha memberinya nilai tambah.
Sifat-sifat Orang yang Beriman dari Kalangan Ahlul Kitab
Tidak semua ahlul kitab sama, yakni sama memiliki sifat-sifat jelek. Ada diantara mereka yang beriman, tetapi kebanyakan orang-orang fasik.
Sesudah Allah menggambarkan sifat orang-orang fasik dan menuturkan kejelekan amal-amal mereka, selanjutnya menggambarkan sifat orang-orang yang beriman dan memuji, dengan delapan sifat yang setiap sifat adalah terpuji dan merupakan kebanggaan, yang pelakunya berhak mendapatkan pahala. Delapan sifat tersebut tercermin didalam ayat 113 – 114 yaitu : berlaku lurus, membaca ayat-ayat Allah, bersujud/sholat/tunduk, beriman kepada Allah, beriman pada hari akhir, amar ma’ruf, nahi mungkar, bersegera melakukan kebaikan.
Di antara ahlul kitab ada segolongan orang yang lurus, berjalan pada kebenaran, mengikuti keadilan, tidak pernah berbuat aniaya terhadap orang lain, dan tidak pernah menentang perintah agama.
Hanya saja orang-orang Arab dalam kebiasaan perkataan mereka, terkadang menuturkan dua hal yang bertentangan, tetapi hanya satu yang disebutkan sedang lainnya tidak karena sudah cukup dimaklumi.
Ibnu Jarir mengatakan dalam menafsirkan ayat ini, ”Yang dimaksud dengan Al-Ummah Al-Qaimah (umat yang lurus) adalah umat yang mendapatkan petunjuk, mematuhi perintah Allah dan tidak bergeming dariNya, atau meninggalkanNya”.
Dan diriwayatkan dari Qatadah, bahwa beliau (Ibnu Jarir) pernah berkata sehubungan dengan makna ayat ini, tidak semua kaum (Yahudi) hancur tetapi Allah menyisakan mereka.
Ayat ini merupakan hujjah yang menjelaskan bahwa agama Allah itu pasti disampaikan oleh lisan semua nabi. Orang yang memeluknya dengan taat, dan mengamalkaunya dengan ikhlas, serta melakukan amar ma`ruf nahi munkar, ia termasuk orang-orang yang saleh.
Dalam ayat ini terkandung rasa simpati terhadap orang-orang ahlul kitab, menghargai keadilan Ilahi dan mematahkan protes orang-orang yang mengetahui iman dan ikhlas dari kalangan mereka.
Sebab seandainya tidak ada nash ini. maka pasti mereka mengatakan. ”Seandainya Al-Qur’an ini tidak berasal dari Allah, maka pasti kami (orang-orang yang beriman dari kalangan ahlul kitab) akan disamakan dengan orang-orang selain kami yaitu orang-orang fasik."
Kemantapan sebagian mereka terhadap kebenaran dari agama mereka, tidak berarti meniadakan (bertentangan) dengan hilangnya sebagian kitab mereka, dan merubahnya terhadap kitab-kitab yang ada di tangan mereka.
Mereka membaca Al-Qur’an di waktu malam dan melakukan shalat tahajud. Di sini penyebutan sujud dikhususkan antara rukun-rukun shalat lainnya, karena di dalam sujud terkandung makna tunduk dan khusyu' yang yang sempurna.
3. Surah Ali Imran ; ayat 114
” Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.”
Kosa Kata dalam Ayat
: Al- Musāra’ah fil Khair, sangat mencintai kebaikan.
: Lan Yukfarūhu, tidak akan dihambat pahalanya.
Gambaran Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani)
Mereka benar-benar beriman secara taat kepada keduanya (Allah dan hari akhir). Iman mereka itu bisa diterima di sisi Allah. Sebagai buah (hasil) dari keimanan itu ialah rasa khusyu’, tunduk dan bersiap sedia untuk menghadapi hari tersebut (hari akhir). Jadi bukan iman yang tak ada buahnya, yang hanya pengakuan dan omong kosong, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi lainnya.
Kebanyakan orang Yahudi mengakui beriman kepada Allah dan hari akhir, tetapi beriman atau tidak beriman, mereka sama saja. Sebab mereka mengatakan bahwa Nabi Uzair adalah anak lelaki Allah dan mereka mengingkari sebagian rasul, serta mereka menggambarkan hari akhir dengan gambaran yang tidak semestinya.
Mengingat kesempurnaan manusia itu hendaknya mengetahui hakikat kebenaran bagi dirinya dan mengetahui kebaikan untuk diamalkan olehnya, dan amal paling utama ialah shalat, zikir yang paling utama adalah Zikrullah, ilmu pengetahuan yang paling utama adalah mengetahui asal dan tempat kembali, kemudian Allah mensifati mereka dengan firmanNya, yatluna ayatillah, untuk menunjukkan bahwa mereka melakukan amal-amal saleh dan dengan firmanNya, yu’mina billah untuk mengisyaratkan kepada keutamaan pengetahuan yang berhasil dicerna oleh hati mereka.
Sesungguhnya sesudah mereka melengkapi diri dengan ilmu dan amal, seperti yang telah disebutkan. Mereka berusaha menyempurnakan dengan memberikan tentang yang seharusnya dilakukan yaitu amar ma' ruf, atau tentang yang seharusnya dicegah, yaitu melalui nahi munkar.
Dalam ayat ini terkandung sindiran bagi orang-orang Yahudi yang berpura-pura dan menghalang-halangi jalan Allah.
Mereka dilukiskan oleh ayat ini (yusāri’ūna fil khairāti), menurut DR. Quraish Shihab, kata ini diterjemahkan dengan bersegera mengerjakan berbagai kebaikan, bukan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebaikan. Pilihan ini disebabkan karena ayat ini tidak menggunakan kata ilā yang yang artinya menuju ke, tapi menggunakan kata fi ( ) yang berarti berada di dalam.
DR. Quraish Shihab menjelaskan, ini memberi kesan bahwa sejak semula mereka telah berada dalam koridor atau wadah kebajikan. Mereka berpindah dari satu kebajikan ke kebajikan yang lain, karena mereka telah berada di dalamnya, bukan berada di luar koridor itu. Bila mereka berada di luar koridor kebajikan, itu berarti mereka dalam kesalahan yang mengharuskan mereka pindah dari
Mereka melakukan amal saleh dengan penuh kesenangan, tidak merasa enggan dalam melaksanakannya. Sebab mereka telah mengetahui keagungan dari posisinya, di samping akibatnya yang baik. Hanya orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit yang membuatnya enggan mengerjakan shalat. Seperti yang digambarkan lewat firman Allah ketika mensifati orang-orang munafik :
”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (An-Nisa’,4 : 142)
Sifat ini mencakup keutamaan-keutamaan agama dan moral, dan dalam penuturannya merupakan sindirian kepada orang-orang Yahudi yang memang enggan melaksanakan kewajiban itu.
Ayat ini memakai kata As-Sur'ah (bersegera/cepat-cepat), bukannya Al-Ajalah (buru-buru), karena kata pertama mempunyai pengertian mendahulukan apa-apa yang seharusnya didahulukan, dan ini adalah pekerjaan yang terpuji. Sebagai lawan katanya ialah Al-lbta' (memperlambat). Sedang kata yang kedua adalah mendahulukan apa-apa yang tidak seharusnya didahulukan.
Dan mereka adalah orang-orang yang menyandang sifat agung, terdiri dari orang-orang yang tingkah lakunya dan amal perbuatannya baik. Sehingga Tuhan ridha terhadap mereka. Dalam ayat ini, terkandung sanggahan terhadap orang-orang Yahudi. Yakni mereka mengatakan terhadap orang-orang yang masuk Islam dari kalangan mereka, "Tidaklah beriman terhadap Muhammad melainkan orang-orang yang paling jelek di antara kami. Seandainya mereka orang-orang terpandang, pasti mereka tidak akan meninggalkan agama nenek moyang mereka, kemudian memeluk agama lain."
Gambaran dengan sifat yang baik merupakan pujian yang tak terhingga, di samping sebagai kemudian yang paling utama. Allah memuji dengan sifat seperti ini terhadap para nabi di antaranya Nabi Ismail, Nabi Idris dan Nabi Zulkifli. Allah berfirman :
”Kami telah memasukkan mereka kedalam rahmat Kami. Sesungguhnya mereka termasuk orang-orang yang saleh” (Al-Anbiya’, 21 : 86)
Dan dalam menceritakan Nabi Sulaiman, Allah SWT, berfirman :
”........dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh”, (An-Naml, 27 : 19).
Kata saleh dalam ayat ini adalah lawan kata dari Al-Fasad (rusak) yang hal ini tidak patut terjadi pada akidah dan pekerjaan. Sifat saleh adalah sifat yang seharusnya diterapkan dalam akidah dan amal. Itulah puncak kesempurnaan, keluhuran yang tinggi dan keadaan yang paling luhur.
4. Kesimpulan
Surah Ali Imran ; ayat 113
· Banyak di kalangan ahli tafsir, yang dimaksud dalam ayat ini ialah mereka yang telah beriman diantara pemuka-pemuka Ahli Kitab seperti : Abdullah bin Sallam, Tsa’labah bin Syu'bah, Usaid bin Sa'yah, Sa'ad bin Abd, dll. Maka tidak samalah mereka yang sudah islam dan beriman itu dengan mereka yang telah dicela oleh Allah dalam ayat-ayat sebelum ini.
· Ada juga ulama yang memahami ayat ini berbicara tentang kelompok Ahl al-Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang belum/tidak memeluk agama Islam, tetapi mereka adalah orang-orang jujur, melaksanakan tuntunan agama mereka dengan benar, mengamalkan nilai-nilai universal yang diakui oleh seluruh umat manusia.
Surah Ali Imran ; ayat 114
· Dalam ayat ini, Allah menggambarkan mereka dengan sifat yang baik, dan ini merupakan ungkapan pujian yang tak terhingga, dengan sebutan : ” mereka itu termasuk orang-orang yang saleh”. Allah juga memuji dengan sifat seperti ini terhadap para nabi.
· Ungkapan semacam ini dinilai oleh para ulama sebagai lebih baik dan lebih tinggi kualitasnya.
5. Daftar Pustaka
a. Sya’rawi, Syekh Muhammad Mutawalli, Tafsir Sya’rawi. Tim Terjemahan Safir al-Azhar, Duta Azhar, Medan. 2006.
b. Al-Maragi, Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi. Mustafa al-Babi Al-Halabi, Mesir. 1394 H/1974 M.
c. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani, Jakarta. 1999.
d. Shihab, DR. M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah. Lentera Hati, Jakarta. 2002.
Terima kasih penjelasannya, hanya ALLAH SWT yang berhak dan tahu seseorang itu beriman atau tidak, met pagi
BalasHapus