Kamis, 20 Agustus 2009

MANAQIB IMAM AL-SYAFI’I

MANAQIB IMAM AL-SYAFI’I

(Pemikiran Al-Syafi’i dan Kitab Al-Umm)

1. Pengantar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi tiada tuhan selain Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Tafsir-I, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Manaqib Imam Al-Syafi’i (Pemikiran Al-Syafi’i dan Kitab Al-Umm).

Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :

1. : Pengantar

2. : Umum

3. : Al-Syafi’i

4. : Pemikiran Al-Syafi’i Terhadap Hadis

5. : Al-Umm

6. : Kesimpulan

7. : Daftar Pustaka

2. Umum

Orang banyak mengenal al-Syafi'i adalah sebagai ahli fikih, bahkan sampai sekarang banyak ummat Islam yang tetap setia mengikuti pendapatnya yang terlembagakan menjadi mazhab. Namun di balik keterkenalannya dalam bidang fikih, ia juga seorang yang mumpuni dalam bidang yang sangat dekat dengan persoalan-persoalan fikih yaitu dalam bidang hadis dan ilmu hadis.

Hal tersebut terbukti bahwa ia dalam catatan sejarah adalah salah seorang yang gigih dalam menggeluti bidang hadis dan ilmu hadis pada abad kedua dan awal ketiga hijriyah. Bukti keahliannya ini tampak nyata dapat kita saksikan sekarang lewat karyanya yang terkenal dengan al-Risalah. Karyanya yang sebe­narnya adalah kitab fikih namun banyak memuat hadis-hadis yang diriwayatkannya dengan jalur sanad tersendiri adalah kitab al-Umm.

3. Al-Syafi’i

Nama lengkap al-Syafi'i adalah Muhammad bin Idris bin Abbad bin `Usman bin Syafi'i Ibn Sa'ib bin 'Ubaid bin Abu Yazid bin Hakim bin Mutallib bin Abdumanaf. Pada Abdul Manaflah nasab al-Syafi'i bertemu dengan Rasulullah SAW. la dilahirkan pada tahun 150 H. di tengah-tengah keluarga miskin di Palestina sebuah perkampungan orang-orang Yaman. Ayahnya meninggal saat ia masih sangat kecil, kemudian ibunya membawanya ke Makkah.

Dengan usaha keras ibunya, al-Syafi'i dapat menghafalkan al-Qur'an dalam umur yang relatif muda. Kemudian ia meng­arahkannya untuk menghafalkan hadis. Al-Syafi'i belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para guru, kemudian mencatat­nya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab untuk meng­hindari dari pengaruh bahasa Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada saat itu, untuk itu ia pergi ke Kabilah Huzail[1] untuk belajar bahasa selama sepuluh tahun.

Al-Syafi'i belajar pada ulama-ulama Makkah, baik pada ulama fikih, maupun ulama hadis. Terus menerus belajar beberapa lama sehingga akhirnya beliau terkenal dalam bidang fikih dan mendapat kedudukan tinggi dalam bidang tersebut, sehingga gurunya Muslim Ibn Khalid al-Zanji menganjurkan supaya ia bertindak sebagai mufti. Sungguhpun ia telah memperoleh kedudukan yang tinggi, namun ia tetap terus mencari ilmu, karena ilmu baginya adalah ibarat lautan yang tidak bertepi.

Kemudian al-Syafi'i mendengar akan kepiawaian Imam Malik Ibn Anas dalam bidang ilmu hadis, lalu ia pergi untuk belajar kepadanya. Akan tetapi sebelum ia pergi ke Madinah, terlebih dahulu ia menghafalkan kitab al-Muwatta', sebuah kitab susunan Imam Malik yang telah berkembang pada saat itu. Kemudian ia pergi ke Madinah dengan berbekal Surat dari Gubemur Makkah. Mulai saat itulah ia. benar-benar mendalami fikih dan hadis kepada imam Malik. Pada saat Malik wafat tahun 179 H. al-Syafi'i telah mencapai kematangannya.

Setelah Imam Malik wafat, al-Syafi'i mulai berpikir untuk mencari penghidupan yang wajar, karena sampai saat itu ia masih dalam keadaan fakir. Kebetulan pada saat itu Gubemur Yaman datang ke Makkah, kemudian atas bantuan beberapa orang Quraisy ia dapat bekerja sebagai pegawai Negara Yaman. Dalam, melaksanakan tugasnya sebagai pegawai negara, tampak­lah kecakapan dan kecerdasannya serta ketinggian silsilah nasabnya, lalu mulailah al-Syafi'i terkenal di masyarakat dan namanya banyak disebut-sebut.

Ketika Yaman dikuasai oleh seorang Gubernur yang zalim, al-Syafi'i sebagai petugas yang jujur menentang kezaliman itu. Oleh karenanya, Gubernur membuat fitnah terhadap al-­Syafi'i kepada Khalifah. Khalifah Abbasiyah sangat waspada kepada keturunan Ali, Gubernur menuduh al-Syafi'i bersekong­kol dengan pemberontak untuk menggulingkan pemerintahan. Maka al-Rasyid khalifah yang berkuasa saat itu memerintahkan supaya al-Syafi'i didatangkan ke Baghdad bersama 9 orang yang lain. Akan tetapi ia dapat melepaskan semua tuduhan yang ditimpakan kepadanya. Muhammad ibn al-Hasan yang menjadi hakim besar di Baghdad tergerak hatinya untuk membantu al­-Syafi'i dari segala tuduhan tersebut. Maka dengan kesaksian Muhammad Ibn al-Hasan, ditundalah pemancungan leher al-Syafi'i dan selamatlah ia[2].

Kedatangan al-Syafi'i kali ini ke Baghdad adalah pada tahun 184 H. yaitu ketika al-Syafi'i berumur 34 tahun. Kiranya penderitaan yang amat pahit yang dirasakannya inilah yang menyebabkan ia melepaskan jabatan pemerintahan dan menekuni bidang keilmuan, sehingga dapat mewariskan pusaka yang kekal sepanjang masa. Selama di Baghdad ia mempelajari fikih Irak, ia membaca kitab-kitab Muhammad Ibn Hasan. Dengan demikian berkumpullah padanya fikih Hijazi dan fikih 'Iraki atau fikih yang berpegang pada dirāyah.

Walaupun al-Syafi'i menghadiri majlis Ibn Hasan, tetapi ia memandang dirinya sebagai pengikut setia Malik, salah seorang pengikut mazhabnya dan salah seorang penghafal al-Muwatta', sehingga ia tetap membela fikih Madinah. Oleh karenanya ia sering mendebat Muhammad Ibn Hasan karena menganggap sebagai guru. Akan tetapi pada akhimya ia juga sempat berdiskusi dan mendebatnya karena atas permintaan Muhammad Ibn Hasan sendiri.

Setelah itu al-Syafi'i kembali lagi ke Makkah dengan membawa fikih Iraqi yang sangat banyak. Di Makkah ia men­dirikan majlis di Masjid al-haram, lalu mulailah ia menyajikan fikih baru, yaitu fikih Madinah yang bercampur dengan fikih Irak, fikih yang bercampur antara akal dan naql. Kira-kira 9 tahun lamanya al-Syafi'i bermukim di Makkah.

Setelah ia melihat dua macam fikih yang berbeda, ber­diskusi untuk memecahkan persoalan-persoalan, dan menghadapi pendapat-pendapat yang cukup banyak, maka iapun merasakan perlunya diadakan standarisasi atau ketentuan-ketentuan untuk mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, ataupun mengetahui mana yang paling mendekati kebenaran. la tidak mau menyalahkan sesuatu pendapat tanpa adanya suatu neraca atau pedoman yang kuat. Kemudian al-Syafi'i membuat kaidah­-kaidah istinbat hukum, oleh sebab itu ia bermukim lama di Makkah, jauh dari kota yang penuh kesibukan seperti Irak, untuk mempelajari jalan-jalan dalālah yang ditunjuk al-Qur'an, untuk mengetahui hukum-hukum yang nasikh dan yang man­sukh. Itu semua dimaksudkan untuk mengetahui kedudukan sunnah dalam syari'at Islam, mengetahui sahih ataupun da’if-nya dan cara-cara mengambil dalil dengan Sunnah serta keduduk­annya terhadap al-Qur'an. Kemudian bagaimana mencari hukum apabila tidak ditemukan dalam al-Qur'an dan al-Sunnah, dan apakah pedoman ijtihad dan batas-batas yang harus dipelihara.

Maka di waktu inilah ia membuat dasar-dasar istinbat. Setelah matang mempelajarinya, iapun kembali ke Baghdad tempat berkumpul pada ulama. Madinah pads saat itu telah mulai kendur sesudah wafatnya Malik Ibn Anas, sedangkan Baghdadpun telah menampung ahl al-ra'yi dan ahl al-hadis.

al-Syafi'i datang ke Baghdad yang kedua pada tahun 195 H. sesudah mempunyai jalan yang baru dalam bidang fikihnya. Dia tidak datang hanya membawa masalah-masalah furū', bahkan ia datang dengan membawa kaidah-kaidah kulliyah. Setelah itu ia pergi ke Irak mengembangkan jalan barunya, menyusun kitab-kitab dan risalah-risalah, serta mendidik kader­-kader fikih yang handal[3].

Kemudian pada tahun 198 H. ia kembali lagi ke Baghdad beberapa bulan lamanya, untuk kemudian pergi ke Mesir. Al-Syafi'i tidak menetap di Baghdad pada saat itu dikarenakan tampuk pimpinan khalifah dipegang oleh al-Makmun yang unsur Persi cenderung dikedepankan, serta merangkul paham-paham filsafat mendekatkan diri kepada tokoh-tokoh Mu'tazilah, sedangkan al-Syafi'i menjauhkan diri dari pandangan Mu'ta­zilah. Pernah khalifah al-Makmun mengajak al-Syafi'i untuk menjadi hakim besar di Baghdad, namun ia menolaknya.

Sesudah datang ke Baghdad pada tahun 195 H. ia telah mengembangkan fikih baru dan pendapat-pendapat yang ber­lainan dengan fikih dan pendapat-pendapat Malik gurunya, walaupun belum dikritik dan disalahkannya, namun kemudian ia merasa perlu mengkritik pendapat-pendapat gurunya itu karena pada saat itu telah banyak orang yang menolak hadis yang berlawanan dengan pendapat Malik. Maka hadislah yang harus didahulukan kemudian ia membela hadis mati-matian dan mengkritik pendapat Malik serta menyatakan segi-segi kelemahannya agar manusia mengetahui, bahwasannya Malik itu adalah juga manusia biasa, bisa salah dan bisa benar. Pendapat Malik harus disalahkan apabila bertentangan dengan hadis. Bahkan ia mengkritik juga pendapat-pendapat ulama Irak, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya.

Al-Syafi'i mendebat pendapat-pendapat mereka tanpa menyinggung kehormatan orang-orang yang didebatnya, sehingga Ahmad Ibn Hanbal berkata; Al-Syafi'i adalah seorang filosof dalam empat hal, yaitu : dalam bahasa, dalam perbedaan pendapat, dalam segi makna dan dalam fikih. Dalam perdebatan­-perdebatannya ia sangat membela hadis dan ulama-ulamanya. la sangat ahli dalam berdebat dan mengetahui uslub-uslub-nya.

Al-Syafi'i berguru dari ulama-ulama Makkah, Madinah, Irak dan Yaman. Ulama Makkah yang menjadi gurunya diantara­nya adalah : Sufyan bin `Uyainah, Muslim bin Khalid al-Zanzi, Sa’id bin Salim al-Kaddah, Daud bin ‘Abdirahman al-'Attars dan `Abdul Hamid bin Abdul Aziz Abi Zuwad.

Ulama Madinah yang menjadi gurunya adalah : Malik bin Anas, Ibrahim bin Sa'ad al-Ansari, ‘Abd al-‘Aziz bin Muhammad Addahrawardi, Ibrahim bin Abi Yahya al-Asami, Muhammad bin Abi Sa’id bin Abi Fudaik, Abdullah bin Nafi' teman ibnu Abi Zuwaib. Ulama Yaman yang menjadi gurunya adalah: Muttaraf bin Hazim, Hisyam bin Yusuf, `Umar bin Abi Salamah teman al-­Auza'i dan Yahya bin Hasan teman al-Lais.

Sedangkan ulama Irak yang menjadi gurunya adalah: Waki' bin Jarrah, Abu Usamah, Hammad bin Usamah, dua ulama Kuffah, Isma'il bin Ulaiyah dan Abdul Wahab bin Abdul Majid, dua ulama Bashrah, juga menerima ilmu dari Muhammad bin al-Hasan yaitu dengan mempelajari kitab-kitabnya yang didengar langsung dari padanya. Dari sinilah ia memperoleh pengetahuan fikih Irak.

4. Pemikiran Al-Syafi’I Tentang Hadis

Kata hadis atau al-hadīs menurut bahasa, berarti al-jadīd (sesuatu yang baru), lawan kata dari al-qadim (sesuatu yang lama). Kata al-hadīs juga berarti al-khabar (berita), yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain. Kata jamaknya adalah al-ahadis.

Pada saat Nabi masih hidup pengertian hadis dikhusus­kan hanya mengenai sabda-sabda beliau, tetapi setelah beliau wafat, pengertian hadis melebar menjadi ditambah dengan perbuatan dan taqrir yang disandarkan kepada beliau. Penger­tian ini oleh ulama abad II H. ditambah dengan sifat-sifat beliau.

Jumhur ulama hadis menyamakan pengertian hadis dan sunnah. Keduanya berarti segala yang disandarkan kepada Nabi, baik itu berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat beliau. Selain itu ada juga ulama yang memberikan pengertian al-Sunnah lebih luas dari hadis, dalam sunnah masuk di dalam­nya perkataan sahabat dan fatwa tabi'in.

Sesuai dengan pengertian sunnah secara luas tersebut di atas, menjadi wajar jika Malik Ibn Anas memasukkan qaul sahabat dan fatwa tabi'in dalam kitabnya al-Muwatta'. Al-Syafi'i tidak sependapat dengan apa yang telah diungkapkan di atas. Menurutnya yang dikatakan dengan al-Sunnah adalah mutlaq al-­sunnah yatanawaluhu sunnata Rasulillahi faqat. Bahwa sunnah lebih luas dari pada hadis. Pernyataan al-Syafi'i tersebut mengandung konsekuensi logis untuk mengadakan penelitian secara sistematis dengan tolak ukur tertentu, sehingga segala hal yang disandarkan kepada Nabi SAW, tidak bisa lepas begitu saja dari kritik pembuktian keotentikannya.

Al-Syafi'i meletakkan sunnah dalam satu peringkat dengan al-Kitab. Ini menunjukkan derajat al-Sunnah secara keseluruhan, bukan satuan, di mana penggunaannya sebagai dalil dan akibat penolakan terhadapnya, sama dengan al-Kitab.

Di dalam prakteknya, al-Qur'an didahulukan dari al-Sunnah, namun tidak menunjukkan peringkat yang berbeda, sebab al-­Sunnah berfungsi sebagai penafsir al-Qur'an secara otentik.

Al-Kitab adalah al-Qur'an sedangkan al-Hikmah adalah al-Sunnah. Namun akhirnya ditegaskan, bahwa baik al-Qur'an maupun al-Sunnah semuanya dari Allah. Yang dimaksud dengan ketentuan Allah mencakup tiga bentuk :

1. Suatu ketentuan yang pokoknya disebutkan dalam al-Qur'an.

2. Sesuatu ketentuan yang pokoknya disebutkan dalam al-Qur'an, sedangkan pelaksanaannya disebutkan oleh al­-Sunnah.

3. Suatu ketentuan yang disebutkan oleh al-Sunnah sendiri (Istiqlal).

Pemikiran ini sesuai dengan pemikiran yang dikem­bangkan oleh Abdullah Ibn Mas'ud menjelang wafatnya menge­nai hukum mencukur rambut, tato dan lain-lain, beliau menjawab bahwa dasarnya adalah al-Kitab.

Acuan pokok pemikiran al-Syafi'i adalah al-Kitab yang didudukkan sebagai bayan kulli yang mempunyai dua corak :

a) ada yang berupa nash, tidak membutuhkan penjelasan dari sumber lain, dan;

b) ada yang bukan nash sehingga membutuhkan sumber lain.

Kedua corak ini juga merupakan sebab meng­apa hadis diletakkan dalam satu peringkat dengan al-Kitab. Kalau al-Kitab dinyatakan sebagai suatu yang kulli, maka istinbat dengan al-Kitab tidak boleh lepas dengan syarahnya, yaitu hadis.

Pendirian tersebut membawa kepada suatu pemikiran mengenai fungsi hadis terhadap al-Qur'an. Ada dua fungsi pokok al-Sunnah yaitu al-Bayan dan al-Istiqlal, memberi pen­jelasan dan menambah hukum dalam al-Qur'an.

Fungsi yang pertama mencakup penjelasan terhadap ayat yang mujmal atau yang umum dan penjelasan tentang naskh. Perlu dijelaskan di sini, bahwa fungsi naskh bukanlah berarti hadis menghapus hukum al-Qur'an, tetapi hadis yang menjelaskan adanya naskh itu. Al-Syafi'i berpendapat, bahwa naskh dapat terjadi antara al-Qur'an dengan al-Qur'an dan antara hadis, hanya saja yang menjelaskan adanya naskh antara al-Qur'an dengan al-Qur'an adalah hadis.

Fungsi yang kedua merupakan penambahan ketentuan yang ada di dalam al-Qur'an, baik dari sesuatu yang ditetapkan atau yang belum ditetapkan di dalam al-Qur'an.

5. Al-Umm

Kitab ini satu sisi merupakan kitab fikih terbesar dan tiada tandingnya di masanya. Kitab ini membahas berbagai per­soalan lengkap dengan dalil-dalilnya, baik dari al-Qur'an, al­-Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Isi kitab ini adalah sebagai bukti keluasan ilmu al-Syafi'i dalam bidang fikih. Sedang di sisi lain juga disebut dengan kitab hadis karena dalil-dalil hadis yang ia kemukakan menggunakan jalur periwayatan tersendiri sebagaimana layaknya kitab-kitab hadis.

Di kalangan ulama terdapat keraguan dan perbedaan pendapat, apakah kitab tersebut ditulis oleh al-Syafi'i sendiri ataukah karya para murid-muridnya. Menurut Ahmad Amin, al-­Umm bukanlah karya langsung dari al-Syafi'i, namun merupakan karya muridnya yang menerima dari al-Syafi'i dengan jalan didiktekan. Sedangkan menurut Abu Zahrah dalam al-Umm ada tulisan al-Syafi'i langsung tetapi ada juga tulisan dari muridnya, bahkan adapula yang mendapatkan petunjuk bahwa dalam al-Umm ada juga tulisan orang ketiga selain al-Syafi'i dan al-Rabi' muridnya. Namun menurut riwayat yang masyhur di­ceritakan bahwa kita al-Umm adalah catatan pribadi al-Syafi'i, karena setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya ditulis, dijawab dan didiktekan kepada murid-muridnya. Oleh karena itu, ada pula yang mengatakan bahwa kitab itu adalah karya kedua muridnya Imam al-Buwaiti dan Imam al-Rabi'. Ini dikemukakan oleh Abu Talib al-Makki. Tetapi pendapat ini men­yalahi ijma' ulama yang mengatakan, bahwa kitab ini adalah karya orisinal al-Syafi'i yang memuat pemikiran-pemikirannya dalam bidang hukum.

Dalam menguraikan keterangan-keterangannya, al-Syafi'i terkadang memakai metode tanya jawab, dalam arti mengurai­kan pendapat pihak lain yang diadukan sebagai sebuah per­tanyaan, kemudian ditanggapinya dengan bentuk jawaban. Hal itu tampak umpamanya ketika ia menolak penggunaan istihsan. Pada kesempatan yang lain ia menggunakan metode eksplanasi dalam arti menguraikan secara panjang lebar suatu masalah dengan memberikan penetapan hukumnya berdasarkan prinsip‑prinsip yang dianutnya tanpa ada sebuah pertanyaan, hal seperti ini tampak dalam penjelasannya mengenai persoalan pernikahan.

Dalam format kitab al-Umm yang dapat ditemui pada masa sekarang terdapat kitab-kitab lain yang juga dibukukan dalam satu kitab al-Umm diantaranya adalah :

Al-Musnad, berisi sanad imam Syafi'i dalam meriwayat­kan hadis-hadis Nabi dan juga untuk mengetahui ulama-ulama yang menjadi guru imam al-Syafi'i.

Khilafu Malik, berisi bantahan-bantahannya terhadap Imam Malik gurunya.

Al-Radd ‘Ala Muhammad Ibn Hasan, berisi pembelaannya terhadap mazhab ulama Madinah dari serangan Imam Muhammad Ibn Hasan, murid Abu Hanifah.

Al-Khilafu Ali wa Ibn Mas’ud, yaitu kitab yang memuat pen­dapat yang berbeda antara pendapat Abu Hanifah dan ulama Irak dengan Ali Abi Thalib dan Abdullah bin Mas'ud.

Sair al-Auza'i, berisi pembelaannya atas imam al-Auza'i dari serangan Imam Abu Yusuf.

Ikhtilaf al-Hadis, berisi keterangan dan penjelasan al­-Syafi'i atas hadis-hadis yang tampak bertentangan, namun kitab ini juga ada yang dicetak tersendiri.

Jima' al-'Ilmi, berisi pembelaan imam al-Syafi'i terhadap Sunnah Nabi SAW.

6. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa al­-Syafi'i yang selama ini terkenal dengan ahli fiqih ternyata juga mempunyai perhatian yang serius terhadap hadis/sunnah. Oleh karena itu, sosok imam al-Syafi'i dalam hal ini dikenal dengan nasir al-sunnah. Di dalam kitabnya al-Risalah ditemukan tentang syarat-syarat periwayatan hadis apa yang dilakukan al-Syafi'i hanya sebatas sebagai rintisan awal dan dikembangkan oleh ulama sesudahnya. Di samping itu, juga ditemukan kitab hadis yang dinisbatkan pada al-Syafi'i adalah Musnad al-Syafi'i yang ditulis oleh muridnya. Walaupun tidak masuk dalam kitab standar yang dibakukan oleh ulama hadis, hadis-hadis yang termuat dalam kitab tersebut paling tidak berstandar sahih menurut al-Syafi'i. Sedangkan dalam kitab al-Umm sejumlah hadis yang dijadikan rujukan istinbatnya yang merujuk pada pemikirannya tentang hadis. penelitian tentang hadis-hadis dalam kitab tersebut perlu dilakukan.

7. Daftar Pustaka

Abu Zahrah, Muhammad, Imam Syafi’i (Biografi dan Pemikirannya dalam Masalah Akidah, Politik dan fikih, Penerbit Lentera, Jakarta. 2005.

Tafsir Hadis, Dosen Fak. Ushuluddin, Studi Kitab Hadis. Penerbit Teras – TH-Press, Yogyakarta, 2003.

Yoesoef Sou’eb, Sejarah Daulah Abbasiyah, Jakarta : Bulan Bintang, 1977.

Hasbi ash-Shiddiey, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam (Jakarta : Bulan Bintang), 1999.

Mughniyah, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, Penerbit Lentera, Jakarta. 2007.



[1] Suatu suku yang terletak di daerah antara kota Makkah dan madinah. Nama tersebut diambil dari nama nene moyang mereka yang bernama Huzail, suku ini terkenal dengan ketinggian nilai sastra Arabnya. Ed. ’Abd al-Rahim, Diwan al-Syafi’i (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hal 25. (Studi Kitab Hadis, Dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2003)

[2] Yoesoef Sou’eb, Sejarah Daulah Abbasiyah (Jakarta : Bulan Bintang, 1977), 102.

[3] Hasbi ash-Shiddiey, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Mazhab dalam Membina Hukum Islam (Jakarta : Bulan Bintang), hal. 238

1 komentar:

  1. Ijin save dulu nih, kapan2 kalau ada waktu saya baca, terima kasih pak..:)

    BalasHapus