Kamis, 20 Agustus 2009

Mazhab Tafsir Liberalisme

MAZHAB TAFSIR

(Studi Analisis Atas Karakteristik Mazhab Tafsir Liberalisme)

Pengantar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi tiada tuhan selain Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Mazhab Tafsir, kami telah menyelesaikan makalah yang bertema Mazhab Tafsir, Studi Analisis Atas Karakteristik Mazhab Tafsir Liberalisme”.

Sistematika penyusunan makalah ini sebagai berikut :

1. Makna Liberalisme

2. Sejarah dan Tokoh Liberalisme

2.1. Pada Masyarakat Barat (Gereja)

2.2. Pada Masyarakat Islam

2.3. Pada Masyarakat Islam Indonesia

2.3.1. Gagasan Islam Liberal

2.3.2. Jaringan Islam Liberal

3. Ajaran-Ajaran Liberalisme

3.1. Gagasan Charles Kurzman

3.2. Luthfi asy Syaukani (JIL), Empat Agenda yang Membebaskan

3.3. Landasan Penafsiran JIL

4. Tafsir Mazhab Liberalisme

4.1. Pokok Pemikiran Mazhab Liberalisme

4.2. Tafsir Kontekstual Fazlul Rahman

5. Contoh Penafsiran

5.1. Surah Ali Imran : 19

5.2. An-Nur : 31

6. Kesimpulan

7. Daftar Pustaka

Demikian pengantar dari kami, untuk lebih sempurnanya makalah ini, tanggapan serta saran perbaikan dari semua pihak sangat kami harapkan, serta atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Penyusun

1. Makna Liberalisme

Istilah ‘liberalisme’ berasal dari bahasa Latin, liber, yang artinya ‘bebas’ atau ‘merdeka’. Hingga penghujung abad ke-18 Masehi, istilah ini terkait erat dengan konsep manusia merdeka, bisa semenjak lahir ataupun setelah dibebaskan (mantan budak, freedman). Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama[1].

Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme (paham untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya).

Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas

2. Sejarah dan Tokoh Liberalisme

2.1. Pada Masyarakat Barat (Gereja)

Sejarah liberalisme adalah tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat, disebut dengan periode pencerahan. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-pendukung negara kota/daerah yang bebas melawan pendukung Paus (pusat). Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa Revolusi Prancis (1789). Liberalisme berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan kekuasaan gereja di zaman renaissance dan semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih raja dan membatasi kekuasaan raja.

Oxford English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal telah lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna sesuai untuk orang bebas, besar, murah hati dalam seni liberal. Pada awalnya, liberalisme bermaksud bebas dari batasan bersuara atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas.

Pada awalnya, liberalisme berkembang di kalangan Protestant saja. Namun belakangan liberalisme menyebar di kalangan Katholik juga. Tokoh-tokoh Kristen liberal semacam Benjamin Constant antara lain menginginkan agar pola hubungan antara institusi Gereja, pemerintah, dan masyarakat ditinjau ulang dan diatur lagi. Mereka juga menuntut reformasi terhadap doktrin-doktrin dan disiplin yang dibuat oleh pihak Gereja Katholik di Roma, agar ‘disesuaikan’ dengan semangat zaman yang sedang dan terus berubah, agar sejalan dengan prinsip-prinsip liberal dan tidak bertentangan dengan sains yang meskipun anti Tuhan namun dianggap benar.

Secara umum, yang dikehendaki ialah kebebasan bagi siapa saja untuk menafsirkan ajaran agama dan kitab sucinya, ketidak-terikatan dengan aturan-aturan maupun keputusan-keputusan yang dikeluarkan pihak Gereja, pengakuan otoritas pemerintah dan penghapusan sistem kependetaan (clericalism).

Liberalisme membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga social.

Dalam Encyclopaedia Britannica, liberalisme dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu: masa pertama dari abad-17 sampai pertengahan abad-18; masa kedua dari pertengahan abad-18 sampai akhir abad-19; dan masa ketiga dari pertengahan abad-19 sampai abad-20.

Masa Pertama, masa ini juga disebut sebagai masa Rasionalisme dan Pencerahan. Descartes menekankan cara berfikir yang berpengaruh sampai abad-19 dan meletakkan dasar perkiraan kesadaran modern, yaitu: (1) keyakinan akan pikiran manusia, (2) mengutamakan manusia sebagai pribadi, (3) imanensi Tuhan, dan (3) keyakinan bahwa sifat alami manusia bisa dan selalu diperbaiki.

Masa Kedua, dikenal sebagai masa Romantisme yang diawali dengan disadarinya keunikan individu dan konsekwensinya mengenai pentingnya pengalaman individu sebagai sumber khusus yang tidak terbatas, ini memberi nilai lebih pada kepribadian dan kreativitas individu melebihi semua nilai lain. Jean-Jacques Rousseau dan Immanuel Kant adalah arsitek dibelakang liberalisme romantis ini.

Masa ketiga, Pada masa ketiga ini berkembang paham Yesus Sejarah. F.C. Baur memperkenalkan pendekatan yang supranatural dalam hubungan dengan sejarah kekristenan. D.F. Strauss (Life of Jesus) menolak sama sekali dasar sejarah elemen supranatural dalam Injil. J.E. Renan (Life of Jesus) juga senada dengan Strauss dan lebih jauh menyebut Yesus terobsesi semangat revolusi, penganiayaan dan mati syahid. Albert Schweitzer (The Quest of the Historical Jesus) disatu sisi menyalahkan Strauss dan Renan karena mengabaikan tentang kerajaan Allah dan akhir zaman, tetapi disisi lain ia meneruskan pandangan mereka karena Yesus ditampilkan sebagai politikus agama yang pemarah yang membuat kesalahan besar dalam cara hidupnya. Arthur Drews (The Christ Myth) bahkan lebih jauh memperlakukan seluruh Injil sebagai cerita fiksi. Faham Yesus Sejarah ini diteruskan oleh Jesus Seminar sejak 1985.

Sementara itu, tokoh-tokoh yang menjadi penyebab munculnya gerakan besar pemikiran liberalisme ini di Perancis, Montesquieu (1755), Voltaire (1778), dan Rousseau (1778). Dan di Jerman Kant (1804), Goethe (1832). Dan di Inggris, Hume (1776), Locke (1704), Adam Smith (1790) dan di Amerika Jefferson (1826), dan Franklin (1790).

2.2. Pada Masyarakat Islam

Latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini.

Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam, mempunyai sejarah jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1263-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency/politik yang layak, natural equity/kewajaran yang alami).

Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis dan juga revivalis (kebangkitan kembali) dan neo-fundamentalis.

Usaha Ibn Taymiyah dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum Ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.

Liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki (sebagian cendekiawan di Konstantinopel menyebut ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius). Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), Butrus al-Bustam (1819-1883), Qasim Amin (1863-1908 M) dan Ali Abdur Raziq (1888-1966 M), Sayyid Ahmad Khan (1817-1898 M) dari India, Muhammad Iqbal (1877-1938 M). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?

Pada zaman Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu (maksudnya pemahaman kaum Muslim terhadap Islam) harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Ini menimbulkan gerakan yang disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islam harus belajar dari Barat!

Di abad ke-20 muncul pemikir-pemikir yang juga tidak kalah liberal seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Shahrour dan pengikut-pengikutnya di Indonesia (Lihat: Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, London, 1962; Leonard Binder, Islamic Liberalism, Chicago, 1988; dan Charles Kurzman, Liberal Islam, New York, 1998; dan Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Jakarta, 1999).

2.3. Pada Masyarakat Islam Indonesia

2.3.1. Gagasan Islam Liberal

Muhammad Tahir Djalaluddin (1869-1956) adalah murid Muhammad Abduh yang paling berjasa menyebarkan gagasan pembaharuan Islam di Indonesia. Selesai berguru kepada Abduh, ia meninggalkan Mesir. Karena situasi politik tak menguntungkan, ia tak kembali ke Indonesia, tapi transit di Singapura mulai menyebarkan gagasan pembaruannya dari sana. Di Singapura (1906) ia mendirikan majalah Islam, al-Imam. Nama ini terinspirasi dari panggilan akrab Abduh. Murid Abduh loyal dan sangat mencintai gurunya. Di Mesir mereka mendirikan kelompok diskusi yang disebut madrasat al-imam dan mendirikan partai politik yang disebut hizb al-imam.

Lewat Djalaluddin, gagasan pembaruan dan liberalisme Islam Timur Tengah disebarkan di Indonesia dan Malaysia. Tulisan al-Afghani dan Abduh dalam al-Urwat al-Wutsqa dan al-Manar diterjemahkan dan diterbitkan dalam al-Imam. Tema tentang kemajuan, kebebasan, dan emansipasi wanita mewarnai majalah ini. Majalah al-Imam jadi media Islam pertama yang menyebarkan gagasan liberalisme Islam di Indonesia. Pada 1911 majalah Islam lain, al-Munir, terbit di Sumatera. Pendirinya, Abdullah Ahmad, adalah murid Ahmad Khatib, reformis Melayu yang bermukim di Mekkah. Majalah ini, bersama al-Imam, jadi corong kaum muda menyebarkan gagasan Islam Liberal.

Memasuki kemerdekaan Indonesia, gerakan pembaruan Islam menurun. Tokoh Islam lebih banyak mencurahkan energi mengupayakan dan mengisi kemerdekaan Indonesia. Sebagian besar terlibat dalam perdebatan isu keislaman pada tahun 1930-an. Agus Salim dan Muhammad Natsir sibuk dengan politik, terlibat aktif dalam pemerintahan Soekarno-Hatta. Salim pernah menjabat sebagai menteri luar negeri; Natsir menteri penerangan kemudian perdana menteri. Mungkin karena keterlibatan mereka yang intensif dengan dunia politik, para tokoh Islam tak sempat merenung dan berefleksi mendalam terhadap persoalan pembaruan Islam.

Gerakan Islam Liberal menemukan momentumnya kembali di Indonesia pada awal 1970-an, seiring dengan perubahan politik dari era Soekarno ke Soeharto. Gerakan ini dipicu oleh munculnya generasi santri baru yang lebih banyak berkesempatan mempelajari Islam dan melakukan refleksi lebih serius atas berbagai isu sosial-keagamaan. Seperti berulang dicatat buku sejarah, tokoh paling penting dalam gerakan pembaruan ini adalah Nurcholish Madjid, sarjana Islam yang memiliki semua syarat menjadi pembaharu. Lahir dan tumbuh dari keluarga santri taat, Nurcholish adalah penulis dan pembicara yang baik. Ia menguasai bahasa Arab dan Inggris. Kefasihannya berbicara tentang teori ilmu sosial sama baiknya dengan uraiannya tentang khazanah Islam. Nurcholish adalah penerus sempurna gerakan pembaruan Islam yang telah dimuali sejak abad ke-19.

Selama kiprahnya menjadi intelektual liberal, Nurcholish banyak melontarkan gagasan yang mencerahkan dan membangkitkan kuriositas orang. Sumbangan yang paling besar bagi Indonesia adalah gagasannya tentang sekularisasi. Nurcholishlah cendikiawan pertama yang meyakinkan kaum Muslim Indonesia: menjadi seorang Muslim yang baik tak harus berafiliasi kepada partai Islam. Memperjuangkan Islam tak harus lewat lembaga atau partai dengan nama Islam. Baginya, Islam bisa diperjuangkan dengan berbagai cara, lewat berbagai medium. Pandangan ini cukup ampuh. Tiga dekade kemudian, dalam dua Pemilu (1999 dan 2004) tak banyak kaum Muslim yang tertarik dengan partai Islam dan agenda negara Islam, yang pada tahun 1960-an dianggap sakral.

Nurcholish tak sendirian. Menjelang tahun 1980-an, gerbong Islam Liberal diperkuat dengan semakin banyaknya intelektual santri yang muncul. Harun Nasution, Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali, dan Ahmad Syafii Maarif adalah di antara para eksponen pembaruan yang mewarnai kancah pemikiran Islam dasawarsa 1980-an dan 1990-an. Semua intelektual ini menganggap diri sebagai penerus cita-cita kebangkitan (nahdah) dalam semangat Abduh, Qassim Amin, Ali Abd al-Raziq, dan Muhammad Iqbal. Tulisan dan refleksi mereka tersebar dimedia massa. Gagasan pembaruan mereka dikaji dan disebarkan generasi lebih muda di Universitas Islam Negeri (UIN) maupun Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

2.3.2. Jaringan Islam Liberal

Sebuah disertasi yang ditulis oleh Greg Barton pada tahun 1995 menggambarkan munculnya pemikiran liberal di kalangan pemikir Indonesia. Disertasi yang aslinya bertema “The Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of Islamic Though” ini, lalu diterbitkan atas kerja sama Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, dan Ford Foundation pada tahun 1999. Selanjutnya Charles Kurzman meluncurkan karya Wacana Islam Liberal (Paramadina: 2001) selanjutnya berdiri Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawan.

Pada 2001 Jaringan Islam Liberal (JIL) didirikan di Jakarta. Organisasi (lebih tepatnya gerakan) ini melengkapi munculnya organisasi Islam serupa yang sudah ada lebih dulu: Rahima, Lakpesdam, Puan Amal Hayati, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), dan Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ). Sejak awal, JIL diniatkan sebagai penghubung organisasi Islam Liberal yang ada di Indonesia. Karena itu, gerakan ini tak memakai nama organisasi atau lembaga, tapi jaringan. Dengan nama jaringan, JIL berusaha jadi komunitas tempat para aktivis Muslim berbagai organisasi Islam Liberal berinteraksi dan bertukar pandangan secara bebas.

Lewat programnya, seperti diskusi publik, talkshow, sindikasi media, dan workshop, JIL berusaha konsisten, mempromosikan dan menyebarluaskan gagasannya. Perhatian utama JIL: bagaimana menciptakan dan menjaga ruang kebebasan di Indonesia. Sebagaimana tokoh Islam Liberal awal, JIL meyakini kebebasan adalah kunci bagi kesejahteraan dan kebahagiaan. Tak ada kebahagiaan tanpa kesejahteraan dan tak ada kesejahteraan tanpa kebebasan.

3. Ajaran-Ajaran Liberalisme

3.1. Gagasan Charles Kurzman

Charles Kurzman, di dalam bukunya “Liberal Islam”, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu : (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.

Kemudian dalam syariat, ada tiga gagasan mendasar Islam Liberal menurut Kurzman, yaitu: syari’at liberal (liberal shari’a), syari’at diam (the silent shari’a) dan syari’ah diinterpretasi (interpreted shari’a). Syari’at liberal yang dimaksudkannya adalah bahwa wahyu-wahyu al-Qur’an dan contoh-contoh Nabi memerintahkan muslim untuk mengikuti posisi liberal. Sementara, ada beberapa perkara yang didiamkan oleh syari’at sebenarnya bukan karena wahyu tidak lengkap melainkan wahyu membiarkan manusia untuk memilihnya sendiri. Dan, syari’at diinterpretasi menyemangati bahwa perbedaan keberagamaan merupakan suatu hal yang niscaya, bukan hanya antara komunitas agama tapi juga dalam Islam itu sendiri.

3.2. Luthfi asy Syaukani (JIL), Empat Agenda yang Membebaskan

Mereka yang mengklaim Islam Liberal memiliki empat agenda. Luthfi asy Syaukani menjelaskan Empat Agenda yang membebaskan, keempat agenda tersebut yakni, agenda politik, agenda toleransi agama, agenda emansipasi wanita, dan agenda kebebasan berekspresi. Dalam masalah politik, yang dimaksud dengan agenda ini adalah sikap politik kaum muslim dalam melihat sistem pemerintahan yang berlaku. Negara bukan wewenang agama. Di bidang toleransi, bukan hanya sekedar menghargai keagaaman orang kafir melainkan juga memandang bahwa semua agama itu sama. Sama-sama masuk sorga. Sama-sama berserah diri. Sementara itu penafsiran tentang hukum waris yang qath’iy, jilbab dan poligami dianggap sebagai penghinaan terhadap perempuan. Dan, kebebasan berekspresi atau berpendapat dimaksudkan agar setiap orang bebas berbuat apa saja termasuk tidak beragama.

3.3. Landasan Penafsiran JIL

1. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam

Kami percaya, ijtihad (penalaran rasional atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam, sebab Islam akan mengalami pembusukan. Kami percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).

2. Mengutamakan semangat religio-etik (jiwa/ruh agama), bukan makna literal teks

Ijtihad yang kami kembangkan berdasarkan semangat religio-etik Quran dan Sunnah Nabi, bukan semata makna literal teks. Penafsiran literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian peradaban kemanusiaan universal.

3. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural

Kami mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung konteks tertentu; terbuka, sebab setiap penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran adalah cermin kebutuhan penafsir pada masa dan ruang yang terus berubah.

4. Memihak pada yang minoritas dan tertindas

Kami berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kaum minoritas tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas minoritas berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas dipahami dalam makna luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, gender, budaya, politik, dan ekonomi.

5. Meyakini kebebasan beragama

Kami yakin, urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Kami tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar pendapat atau kepercayaan.

6. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik

Kami yakin, kekuasaan agama dan politik harus dipisahkan. Kami menentang negara agama (teokrasi). Kami yakin, bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah Negara.

4. Tafsir Mazhab Liberalisme

4.1. Pokok Pemikiran Mazhab Liberalisme

Pada dasarnya penafsiran diambil dari salah satu diantara dua pilihan. Kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur’an dan al-hadits atau berusaha menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur’an dan al-hadits. Yang kedua inilah merupakan pilihan penafsiran bagi kaum liberalis karena berusaha secara bebas untuk menggunakan penalaran

Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dalam dari konteks.

Secara khusus akan diambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis. Siapa Ibrahim Hosen (pernah menjabat Ketua Komisi fatwa MUI) dan Fazlur Rahman?,

Salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf. Ia memegang jabatan qadhi pada masa-masa kekhalifahan ‘Abbasiyyah, antara lain pada masa al-Mahdi, al-Hadi dan al-Rasyid. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madzhab Hanafi tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madzhab Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen mereguk ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan.

Prof. Ibrahim Hosen, pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal. Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur'an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al- Qur'an. Kedua, kita harus mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta'aqquli. Keempat, kita harus melepaskan diri dari gaya lama dan mengembangkan perumusan hukum yang baru. Kelima, kita harus menggeser perhatian dari masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan pemidanaan. Keenam, kita harus mendukung hak pemerintah untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.

4.2. Tafsir Kontekstual Fazlul Rahman

Fazlul Rahman memperinci metodologi penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah. Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur'an; ketiga, pemahaman sasaran al-Qur'an dengan memperhatikan latar belakang sosiologisnya. Dari ketiga langkah tersebut di atas, disimpulkan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini akan diaplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa ini.

5. Contoh Penafsiran

5.1. Surah Ali Imran : 19

“Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam”

Pengertian islam pada ayat diatas sering ditakwilkan, islam tak diartikan sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad Saw, tafsir al-Zamakhsyari : islam adalah ‘al-‘adlu wa al-Tawhid (keadilan dan tauhid), juga al-Qurthubi : ‘bi ma’na al-iman wa al-tha’at (keimanan dan ketaatan).

Cak Nur : Islam rahmatan lil alamin yang berbasis pada kesejukan, pluralitas, dan demokrasi[2].

Islam, menurut pemikir Suriah, Aziz Al-Azmeh, adalah agama yang satu, tetapi selalu tampil dalam wajah yang banyak. Kita tidak mungkin berbicara tentang satu Islam, tapi tentang Islam-Islam (Islams) dengan wajahnya yang beragam. “Islam Liberal,” adalah salah satu Islam yang dimaksudkan Al-Azmeh. Sehingga “Islam Liberal” menjadi sah (sama sahnya ketika berbicara tentang “Islam Fundamentalis,” “Islam Wahabi,” “Islam Syi’ah,” “Islam Sunni,” “Islam NU,” dan lain-lain).

5.2. An-Nur : 31

Menurut Prof. Ibrahim Hosen : “Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai menutupi dada mereka” (QS. al-Nur: 31). Harus dicari semangat atau ruh perintah ini, yang dimaksud ialah hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata “menutupkan kerudung” harus dipahami sebagai kata kiasan, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan nafsu.

6. Kesimpulan

a. Liberalisme berusaha menafsirkan ayat-ayat al-qur’an dengan menemukan ruh atau semangat dari ajaran al-Qur’an dan al-hadits secara bebas dengan menggunakan penalaran.

b. Ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari kata-kata. Bersedia meninggalkan makna lahir dari teks untuk menemukan makna dalam dari konteks.

c. Metodologi penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah. Pertama, pendekatan historis untuk menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur'an; ketiga, pemahaman sasaran al-Qur'an dengan memperhatikan latar belakang sosiologisnya. Dari ketiga langkah tersebut di atas, disimpulkan prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur’an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini akan diaplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa ini

7. Daftar Pustaka

a. Syamsuddin Arif, Ph.D, Penulis adalah peneliti INSISTS di Frankfurt, Jerman. Memaknai Liberalisme, Hidayatullah.com

b. A’la, Dr. Abd. Dari Neomodernisme ke Islam Liberal; Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana Islam di Indonesia. Paramadina Jakarta, 2003

c. Assyaukanie, Luthfi. Wajah Liberal Islam Di Indonesia. Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal, Cetakan : 2002.

d. Abdalla, Ulil Abshar, Dkk. Islam Liberal dan Fundamental (Sebuah Pertarungan Wacana) ElsaQ. Jogyakarta, Februari 2003

e. Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar sosiologi dan PR II IAIN Sunan Ampel, the Wahid Institute

f. Teologi Islam Terapan, Implementasi Ajaran Al-quran Tentang Takdir dalam Realita Kehidupan Umat Islam, Drs. Bakir Yusuf Barmawi, MA. Tiga Serangkai, 2005.

g. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat. Mizan Pustaka, Bandung. 2007.



[1] A: 'Liberalisme' didefinisikan sebagai suatu etika sosial yang menganjurkan kebebasan dan kesetaraan secara umum." - Coady, C. A. J. Distributive Justice, A Companion to Contemporary Political Philosophy, editors Goodin, Robert E. and Pettit, Philip. Blackwell Publishing, 1995, p.440. (Dari Wikipedia Bahasa Indonesia)

B: "Kebebasan itu sendiri bukanlah sarana untuk mencapai tujuan politik yang lebih tinggi. Ia sendiri adalah tujuan politik yang tertinggi."- Lord Acton. (Dari Wikipedia Bahasa Indonesia)

[2] Prof Dr Nur Syam MSi, guru besar sosiologi dan PR II IAIN Sunan Ampel, the Wahid Institute.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar