Kamis, 20 Agustus 2009

ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

ILMU AL-JARH WA AT-TA’DIL

Hal-Ihwal Seorang Rawi dan Syarat-syarat Diterimanya Rawi, Pandangan Umum tentang Kitab-Kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil, Tingkatan Al-Jarh wa At-Ta’dil

1. Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Ulumul Hadist II, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Fi al-rawi wa Syuruthu Qabulihi, Fikrah ’Amah’an Kutub al-Jarh wa at-Ta’dil, Maratib al-Jarh wa at-Ta’dil. Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :

1. : Pendahuluan

2. : Hal-ihwal Seorang Rawi dan Syarat-syarat Diterimanya Rawi

3. : Pandangan Umum tentang Kitab-Kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil

4. : Tingkatan Al-Jarh wa At-Ta’dil

5. : Kesimpulan

6. : Daftar Pustaka

2. Hal-Ihwal Seorang Rawi dan Syarat-syarat Diterimanya Rawi

2.1. Hal-Ihwal (Prilaku/Sifat) Seorang Rawi

Karena sebagian besar hukum-hukum syari’at hanya bisa diketahui melalui pengutipan dan periwayatan, maka ulama menempuh cara meneliti keadaan (prilaku, sifat, kebiasaan, dll) para periwayat dan mencermati mereka yang berstatus tsiqat lagi hafidz.Tujuan mereka adalah mengetahui yang shahih dari yang cacat, maka kritik mereka terhadap perawi hanya merupakan sarana bukan tujuan. Mereka tidak akan menjelaskan hal-ihwal perawi kecuali sisi-sisi yang mereka anggap penting. Mereka hanya akan meneliti hal-hal yang berkaitan dengan sifat-sifat ’âdil, hafalan, kekuatan hafalan, keteguhan dan yang berlawanan, baik berupa kesalahan, sifat lupa, kerancuan daya ingat ataupun hal-hal lain. Sehingga penelitian mereka bersifat ilmiah dan tematik.

Ada beberapa patokan yang mencirikan metode ulama dalam menjelaskan hal-ihwal para perawi. Yang terpenting adalah :

a. Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian (mereka menyebutkan sifat positif maupun negatif perawi). Contoh perkataan Muhammad Ibn Sirin : ”Sungguh engkau berbuat zalim kepada saudaramu, bila engkau hanya menyebutkan keburukan-keburukannya tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikannya”.[1]

Syu’bah ibn al-Hajjaj meriwayatkan hadist. Lalu dikatakan kepadanya : ”Sebenarnya engkau menyimpang dalam hal hadist ini!”. Ia bertanya : ”Siapa yang memiliki riwayat yang berbeda denganku?”, mereka menjawa : Sufyan al-Tsauriy. Ia berkata : ”Tinggalkan hadis yang aku riwayatkan itu, sebab Sufyan lebih hafidz daripada diriku!”[2]

b. Kecermatan meneliti dan menilai. Para ulama meneliti dan menilai dengan cermat kedalaman pengetahuan tentang seluk beluk perawi, mereka memberikan informasi mengenai kekacauan daya ingat, sebab kelemahan dan membedakan perawi yang lemahnya disebabkan keteledoran beragama dan perawi yang lemahnya dikarenakan tidak adanya kekuatan dan keteguhan hafalan dalam dirinya.[3]

c. Mematuhi etika al-Jarh. Ulama al-Jarh wa at-ta’dil dalam menyatakan penilaian tidak keluar dari etika ilmiah (dapat dipertanggungjawabkan) dan sesuai kenyataan.

Ungkapan paling keras yang mereka kemukakan adalah ”Fulan wadhdha” (Fulan tukang palsu), ”Fulan Kadzdzab” (Fulan tukang dusta), ”Fulan Yaftari al-Kadziba Ala ash-Shahabat ra” (Fulan membuat kedustaan atas diri sahabat ra), atau ungkapan lain atas orang yang memalsukan hadist.

Ada juga yang menghindar dari ungkapan-ungkapan seperti itu dan menggunakan ungkapan lain yang mengindikasikannya. Misalnya ungkapan ”Lam Yakun Mustaqim al-Lisan” (ia tidak lurus lidahnya), atau hal yang senada.[4]

Riwayat al-Muzaniy, katanya suatu hari Imam asy-Syafi’iy mendengar aku mengatakan Fulan Kadzdzab. Lalu beliau berkata kepadaku : ”Wahai Ibrahim, gunakan ungkapan yang paling halus. Jangan mengatakan ”Kadzdzab”, tetapi katakan : ”Haditsuhu Laisa Bi Syai’ (Hadisnya tidak ada apa-apanya)[5]

d. Secara umum menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih (mensifati perawi yang menyebabkan diterima atau ditolak riwayatnya).

Ulama al-Jarh wa at-ta’dil tidak menyebutkan sebab-sebab ta’dil mereka terhadap para perawi, mereka tidak mengatakan ”Fulan tsiqat adil karena ia melakukan shalat, puasa, tahajjud dan tidak menyakiti orang lain”, Tapi mereka hanya mengungkapkan ”Fulan tsiqat”, atau ”Fulan Shaduq”, tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Karena sebab-sebab ta’dil sangat banyak sehingga sulit bagi seseorang untuk menyebut seluruhnya.

Berbeda dengan al-Jarh, umumnya mereka menjelaskan sebabnya, seperti sering lupa, sering salah, kacau hafalan, tidak kuat hafalannya, dusta, fasik dan lain-lain. Karena dianggap cukup menyebut satu sebab untuk mengkritik sifat adilnya atau daya hafalannya. Mayoritas ulama menerapkan prinsip semacam ini. Karena Jarh hanya diperbolehkan demi kepentingan antara tsiqat dan dha’if.

Berdasarkan hal demikian, maka para perawi memiliki tingkatan yang berbeda-beda :

o Diantara mereka Ats-Tsabit (yang teguh), Al-hafizh (yang hafalannya kuat), Al-Wari’ (yang saleh), Al-Mutqin (yang teliti), An-Naqid (yang kritis terhadap hadist). Yang mendapat predikat demikian tidak lagi diperselisihkan hadisnya dan dijadikan pegangan atas Jarh dan Ta’dilnya, dan pendapatnya tentang para perawi dapat dijadikan sebagai hujjah.

o Diantara mereka ada yang memiliki sifat Al-’Adl dalam dirinya, tsbat teguh dalam periwayatannya, shaduq jujur dan benar dalam penyampaiannya, wara’ dalam agamanya, hafizh dan mutqin pada hadistnya. Demikian itu adalah perawi yang ’adil yang bisa dijadikan hujjah dengan hadisnya dan dipercaya pribadinya.

o Diantara mereka ada yang shaduq, wara’, shaleh dan bertaqwa, tsabt namun terkadang salah periwayatannnya. Para ulama yang peneliti hadis masih menerimanya dan dapat dijadikan sebagai hujjah hadisnya.

o Diantara mereka ada yang shaduq, wara’, bertaqwa namun seringkali lalai, ragu, salah dan lupa. Yang demikian ini boleh ditulis hadisnya bila terkait dengan targhib (motivasi) dan tarhib (ancaman), kezuhudan, dan adab, sedangkan dalam masalah halal dan haram tidak boleh berhujjah dengan hadisnya.

o Adapun orang yang tampak darinya kebohongan maka hadisnya ditinggalkan dan riwayatnya dibuang.[6]

2.2. Syarat-Syarat Diterimanya Rawi

Jumhur tokoh-tokoh hadis dan fikih sepakat bahwa seseorang yang bisa diterima periwayatannya adalah seorang rawi yang ’âdil (karakteristik moralnya baik), yaitu ia harus seorang muslim, telah baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang bisa menyebabkan harga dirinya jatuh dan ia meriwayatkan dalam keadaan sadar.

Ia harus seorang yang menguasai hafalannya, jika ia meriwayatkan hadis dari hafalannya. Ia juga dituntut untuk menguasai isi kitab, jika ia meriwayatkan hadisnya dari kitab itu. Ia pun harus mengetahui hal-hal yang dapat mengganggu kandungan makna hadis yang diriwayatkannya, pada saat ia meriwayatkannya.

Pendapat Ulama tentang Syarat-syarat (kriteria) Rawi yang ’Adil

Nama Ulama

Syarat-syarat Rawi yang ’Adil

Keterangan

A

B

C

D

E

F

G

H

I

J

K

L

M

N

O

Jm

1. al-Hakim

3

A = islam

B = baligh

C = berakal

D = taqwa

E = memelihara muru’at

F = teguh agama

G = tidak dosa besar

H = menjauhi dosa kecil

I = tidak bid’ah

J = tidak maksiat

K = tidak fasik

L = menjauhi hal yg dibolehkan, yang merusak muru’at

M = baik akhlaknya

N = dipercaya

O = biasanya benar

Jm = jumlah

= butir syarat

2. Ibn al-Salah

5

3. al-Nawawiy

5

4. Ibn Hajar al-’Asqalany

5

5. al-Harawiy

5

6. al-Syawkaniy

5

7. al-Tirmisiy

5

8. Ahmad M. Syakir

6

9. Nur al-Din ’Itr

7

10. M. ”Ajjaj al-Khatib

4

11. al-Gazaliy

5

12. Ibn Qudamah

4

13. al-Amidiy

4

14. al-Jurjaniy

4

15. al-Khudariy Bik

4

Jumlah Ulama yg menunjuk butir syarat

6

5

5

5

14

2

9

8

3

1

7

3

1

1

1

Sumber : Dr. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis. (Bulan Bintang, Jakarta.2005)

Syarat-syarat bagi rawi (khusus orang yang men-ta’dil-kan dan men-tajrihkan), yaitu :

a. Alim dan berilmu pengetahuan

b. Takwa

c. Wara’ (selalu menjauhkan perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil dan makruhat-makruhat).

d. Jujur

e. Menjauhi fanatik golongan

f. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan

Seorang rawi memiliki banyak aib, umumnya aib seorang rawi berkisar 5 macam :

a. Bid’ah (melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syari’at).

b. Mukhalafah (berbeda dengan periwayatan orang yang lebih tsiqah)

c. Ghalath (banyak kekeliruan dalam periwayatan)

d. Jahalatu’l-Hal (tidak dikenal identitasnya)

e. Da’wa’l-inqitha’ (diduga keras sanadnya tidak bersambung)

3. Pandangan Umum tentang Kitab-Kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil

Para penulis kitab-kitab Jarh wat-ta’dil berbeda-beda dalam menyusun buku, sebagian ada yang kecil, hanya terdiri dari satu jilid dan hanya mencakup beberapa beberapa ratus orang rawi. Sebagian yang lain menyusun menjadi beberapa jilid besar-besar yang mencakup antara sepuluh sampai dua puluh ribu rijalus sanad. Disamping itu mereka juga berbeda-beda dalam mensistematiskan pembahasnnya. Ada sebagian yang hanya menulis tentang rawi-rawi yang dha’if dan bohong saja, ada yang menulis rawi-rawi yang tsiqah saja dan ada pula yang mengumpulkan kedua-duanya.

Kitab-kitab itu antara lain :

a. Ma’rifatu’r-rijal, karya Yahya Ibni Ma’in

Kitab ini termasuk kitab yang pertama sampai kepada kita, masih berupa manuskrip (tulisan tangan) berada di Darul-Kutub Adh-Dhahiriyah.

b. Ad-Dlu’afa, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhary (194-252 H)

Kitab tersebut dicetak di Hindia pada tahun 320 H.

c. At-Tsiqat, karya Abu Hatim bin Hibban Al-Busty (wafat 304 H)

Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban sangat mudah untuk mengadilkan seorang rawi. Karena itu hendaklah hati-hati terhadap penta’dilannya. Naskah aslinya diketemukan di Darul-Kutub Al-Mishriyah, dengan tidak lengkap.

d. Al-Jarhu wat-Ta’dil, karya ‘Abdur Rahman bin Abi Hatim Ar-Razy (240-326 H).

Ini merupakan kitab Al-Jarh wa At-Ta’dil yang terbesar yang sampai kepada kita dan sangat besar faedahnya. Kitab ini terdiri dari 4 jilid besar-besar yang memuat 18.050 orang rawi. Pada tahun 1373 H kitab ini dicetak di India menjadi 9 jilid.

e. Mizanu’l-I’tidal, karya Imam Syamsuddin Muhammad Adz-Dzahaby (637-748 H).

Kitab ini terdiri dari 3 jilid. Setiap rawi baik yang tsiqah maupun yang munkar diterangkan dan dikemukan hadisnya. Kitab ini sudah berulang kali dicetak, cetakan yang terakhir dicetak di Mesir pada tahun 1325 H, terdiri dari 3 jilid, mencakup 10.907 orang riyalus sanad.

f. Lisanu’l-Mizan, karya Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalany (773-825 H)

Kitab ini sudah mencakup isi kitab Mizanu’l-I’tidal dengan beberapa tambahan yang penting. Kitab ini memuat 14.343 orang rijalus-sanad. Dicetak di India tahun 1329-1331 H dalam 6 jilid.

4. Tingkatan Al-Jarh wa At-Ta’dil

4.1. Tingkatan At-Ta’dil

a. Tingkatan Pertama : Kata yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dilan, mubalaghah (intensitas maksimal) atau menggunakan wazan ”af’ala”, (yang paling tsiqah, yang paling dhabit, tiada bandingannya), contoh :

- ”Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan”

- ”Fulan orang yang paling tepat periwayatan dan ucapannya”

- ”Fulan orang yang sangat terpercaya”

- ”Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”

b. Tingkatan Kedua : Kata yang menyebutkan sifat yang menguatkan ketsiqahannya, ke’adilan dan ketepatan periwayatan-nya, baik dengan lafaz maupun dengan makna, seperti : ” tsiqah-tsiqah”, atau ” tsiqah-tsabt”, atau ”tsiqah & terpercaya (ma’mun)” atau ”tsiqah & hafizh”.

c. Tingkatan Ketiga : yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabat, hujjah, mutqin.

d. Tingkatan Keempat : yang menunjukkan adanya ke’adilan dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian, seperti : shaduq (jujur), ma’mun, la ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya).

e. Tingkatan Kelima : yang tidak menunjukkan adanya penstiqahan ataupun kritikan/celaan, seperti : ”fulan syaikh” (fulan seorang syaikh), ”ruwiya ’anhu al-hadist” (orang meriwayatkan hadist darinya), ”hasan al-hadist” (yang baik hadisnya).

f. Tingkatan Keenam : isyarat yang mendekati pada celaan (jarh), seperti : ”shalih al-hadist” (hadisnya lumayan), ”yuktabu haditsuhu” (ditulis hadisnya).

Hukum Tingkatan-tingkatan tersebut :

a. Tingkatan pertama, kedua dan ketiga dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.

b. Tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi hadist itu ditulis dan diuji kedhabithan dengan membandingkan dengan hadist-hadist para tsiqah yang dhabit, Jika sesuai maka dapat dijadikan hujjah, jika tidak sesuai maka ditolak.

c. Tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah tapi ditulis untuk pertimbangan saja bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dhabit.

4.2. Tingkatan Al-Jarh

a. Tingkatan Pertama : yang menunjukkan adanya kelemahan, seperti : layyin al-hadist (lemah hadisnya), fiihi dha’fun (padanya ada kelemahan).

b. Tingkatan Kedua : yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi, seperti: ”fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, ”ia mempunyai hadis yang munkar”, dha’if, atau majhul (tidak diketahui kondisinya).

c. Tingkatan Ketiga : yang menunjukkan lemah sekali, seperti : dha’if jiddan (dhaif sekali), wahin marrah (sanagt lemah), ”tidak ditulis hadisnya”, ”tidak halal periwayatan hadis darinya”, laisa bisya’in (tidak ada apa-apanya).

d. Tingkatan Keempat : yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis, seperti : muttaham bil kadzib (dituduh berdusta), dituduh memalsukan hadis, matruk (yang ditinggalkan), laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya).

e. Tingkatan Kelima : yang menunjukkan sifat dusta, pemalsuan dan semacamnya, seperti : kadzdzab (tukang pendusta), wadhdha’ (pemalsu hadis), yakdzib (dia berbohong).

f. Tingkatan Keenam : yang menunjukkan dusta yang berlebihan, seperti : ”orang yang paling pembohong”, ”ia adalah puncak kedustaan”, ”dia rukun kedustaan”.

Hukum Tingkatan-tingkatan tersebut :

a. Tingkatan pertama dan kedua tidak dapat dijadikan hujjah, tapi boleh ditulis hadisnya untuk diperhatikan saja.

b. Tingkatan ketiga, keempat, kelima dan keenam, tidak boleh dijadikan hujjah, dan tidak boleh ditulis hadisnya dan tidak boleh dianggap sama sekali.

5. Kesimpulan

Beberapa patokan yang mencirikan metode ulama dalam menjelaskan hal-ihwal para perawi :

1. Jujur dan tuntas dalam memberikan penilaian.

2. Kecermatan meneliti dan menilai

3. Mematuhi etika al-Jarh

4. Secara umum menta’dil dan secara rinci dalam mentajrih

Syarat-syarat bagi orang yang men-ta’dil-kan dan men-tajrihkan, yaitu :

a. Alim dan berilmu pengetahuan

b. Takwa

c. Wara’ (selalu menjauhkan perbuatan maksiat, syubhat, dosa kecil dan makruhat-makruhat).

d. Jujur

e. Menjauhi fanatik golongan

f. Mengetahui sebab-sebab untuk menta’dilkan dan untuk mentajrihkan

Text Box: HukumText Box: dapat dijadikan HujjahTingkatan At-Ta’dil :

1. Bentuk superlatif dan mubalaghah (intensitas maksimal) dalam penta’dilan.

2. Sifat menguatkan ketsiqahannya, ke’adilan dan ketepatan periwayatan-nya.

3. Text Box: ditulis & diujiMenunjukkan pentsiqahan tanpa penguatan.

4. Adanya ke’adilan & kepercayaan tanpa ada isyarat kekuatan hafalan, ketelitian.

5. Text Box: tidak bisa dijadikan HujjahTidak menunjukkan adanya penstiqahan ataupun kritikan/celaan.

6. Isyarat yang mendekati pada celaan (jarh)

Text Box: tidak bisa dijadikan Hujjah, boleh ditulisTingkatan Al-Jarh

1. Menunjukkan adanya kelemahan.

2. Menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi.

3. Text Box: Ditolak, tidak dianggapMenunjukkan lemah sekali.

4. Menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsuan hadis.

5. Menunjukkan sifat dusta, pemalsuan dan semacamnya.

6. Menunjukkan dusta yang berlebihan

6. Daftar Pustaka

a. Al-Khathib, Muhammad ’Ajaj, DR, Ushul Al-Hadist Pokok-Pokok Ilmu Hadist (Gaya Media Pratama, Jakarta. 1998).

b. Fatchurrahman, Drs, Ikhtisar Mushthalahul Hadist (PT. Alma’arif, Bandung).

c. Ismail, M. Syuhudi, DR, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Bulan Bintang, Jakarta. 2005).

d. Al-Qaththan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Pustaka Al-Kautsar, Jakarta. 2006).

e. Al-Nawawi, Muhy al-Din Abu Zakariya Yahya Bin Syaraf, al-Taqrib wa al-Taisir li ma’rifati sunan al-Basyir al-Nadzir (Dar el-Fikr, Beirut. 1988).



[1] Lihat al-Jami’ Li Akhlaq ar-Rawi Wa Adab as-Sami’, hal. 161/A-B

[2] Lihat al-Jami’ Li Akhlaq ar-Rawi Wa Adab as-Sami’, hal. 110/B

[3] Sebagai contohnya, lihat Masa’il al-Imam Ahmad, hal. 286, al-Kifayah, hal.138, al-Ightibath Bi Ma’rifat Man Rumiya Bi al-Ikhtlath dan Taqdimah al-Jarh Wa at-Ta’dil, hal. 151-152

[4] Lihat Shahih Muslim, hal. 21, juz I dan al-Jarh Wa at-Ta’dil, hal. 18, bagian I, Juz I

[5] Lihat al-I’lan Bi at-Taubikh Li Man Dzamma at-Tarikh

[6] Ushul Al-Hadist, Muqaddimah Kitab Al-Jarh wa atta’dil : 1/10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar