Kamis, 20 Agustus 2009

Perang Salib

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Perang Salib. Pada bagian awal makalah ini berisi peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi terjadinya perang salib dan penyebab langsung perang tersebut. Pada bagian utama membahas jalannya peperangan, mulai dari Perang Salib I dan VIII serta beberapa dampak yang ditimbulkan. Sedangkan bagian akhir ditutup dengan bab kesimpulan.

Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan materi makalah diupayakan selengkap mungkin serta memenuhi silabus dan kurikulum semester genap ini (Semester IV).

Kami mengharapkan masukan dari dosen, rekan-rekan mahasiswa dan pihak terkait lainnya, baik menyangkut materi makalah maupun sistematika penulisannya, sehingga makalah ini dapat memenuhi harapan dan demi penyempurnaan nantinya.

Jakarta, Juni 2008

Penulis

DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar........................................................................................ 1

Daftar Isi................................................................................................. 2

Pendahuluan............................................................................................ 3

Perang Salib............................................................................................ 4

1. : Kondisi Kota Yerusalem, Palestina........................................ 4

2. : Latar Belakang Perang Salib................................................... 6

3. : Jalannya Peperangan............................................................... 8

3.1. Perang Salib I (1095-1147)................................................ 9 3.2. Perang Salib II (1147-1179)............................................... 10 3.3. Perang Salib III (1187-1197)............................................. 11 3.4. Perang Salib IV (1202-1204)............................................. 14 3.5. Perang Salib V (1218-1221)............................................... 14 3.6. Perang Salib VI (1248-1254)............................................. 14 3.7. Perang Salib VII dan VIII (1270)....................................... 14 4. : Dampak Perang Salib.............................................................. 15

4.1. Dampak Terhadap Kristen Asli Timur Tengah.................. 15

4.2. Dampak Terhadap Islam – Kristen..................................... 15

4.3. Dampak Terhadap Barat (Eropa)........................................ 16

4.4. Dampak Terhadap Hubungan Kristen Asli di Indonesia.... 16

Kesimpulan............................................................................................... 18

Daftar Pustaka.......................................................................................... 18

PENDAHULUAN

Perang Salib adalah pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; biasanya direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci” dari kekuasaan Muslim dan awalnya diluncurkan sebagai respon atas permohonan dari Kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) yang beragama Kristen Ortodox Timur untuk melawan ekspansi (memperluas kekuasaan) dari Dinasti Seljuk yang beragama Islam ke Anatolia (Turki sekarang).

Tahun 1095, dimulailah rangkaian Perang Salib antara kaum Muslimin dan kaum Kristiani. Tujuan jangka pendek orang-orang Kristen adalah menguasai Baitul maqdis, namun tujuan sesungguhnya adalah bergerak ke arah Timur untuk menguasai wilayah Islam yang luas dan menjajah kaum muslimin. Para pengikut gereja dalam perang ini menggunakan tanda salib di pundak dan baju mereka. Oleh karena itulah perang ini dikenal dengan nama Perang Salib.

Definisi menurut Katholik (versi Katholik Roma), Perang Salib adalah ekspedisi ketentaraan yang dilakukan untuk merebut kembali tanah suci Palestina dari tangan penganut Mohammedanism[1]. Beberapa ulama tidak menyebut perang ini sebagai perang salib. Istilah yang dipakai yaitu Perang Sabil yang berasal dari kata Perang Sabilillah atau Jihad Sabilillah (Perang atau Jihad di jalan Allah). Definisi umat Islam tentu saja adalah Perang di Jalan Allah untuk mempertahankan tanah suci Palestin dari serbuan kafir Harbi Kristian. Perang ini terfokus di Palestin memperebutkan tanah suci Palestin, walaupun kemudian merambah juga ke Asia kecil dan Eropah Timur.

Tentara Salib setelah beberapa kali berperang dengan kaum muslimin sepanjang perjalanan menuju Baitul Maqdis, akhirnya berhasil mencapai kota ini dan menjajahnya pada tahun 1099. Rakyat kota ini dibunuh massal dan harta benda mereka dijarah. Pada akhir abad ke-12, pasukan muslim di bawah pimpinan Salahuddin Al-Ayyubi berhasil mengalahkan Tentara Salib dan pada tahun 1187, kota Baitul Maqdis berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin. Perang antara kedua pihak masih terus berlangsung hingga tahun 1270, tetapi Tentara Salib tetap tidak mampu merebut kembali kota Baitul Maqdis. Namun demikian, perang ini telah memperkenalkan peradaban Islam kepada Barat dan memberikan pengaruh kebudayaan, ilmu, dan sosial yang besar terhadap Eropa abad pertengahan.

PERANG SALIB

1. Kondisi Kota Yerusalem, Palestina

Semenjak awal sejarah Islam, Palestina, dan kota Yerusalem khususnya, telah menjadi tempat suci bagi umat Islam. Yerusalem itu suci bagi umat Islam karena dua alasan : kota ini adalah kiblat pertama umat Islam sebelum Kota Mekkah dalam ibadah sholatnya, dan merupakan tempat yang dianggap sebagai salah tempat Isra Mikraj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, perjalanan malam dari Mesjid Haram di Mekkah menuju Mesjid Aqsa di Yerusalem, kenaikannya ke langit, dan kembali lagi ke Mesjid Haram. Al-Qur'an menerangkan kejadian ini sebagai berikut :

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (Surah Al Israa (17), 1)

Dalam wahyu-wahyu Al-Qur'an kepada Nabi Saw, sebagian besar ayat-ayat yang berkesesuaian mengacu kepada Palestina sebagai tanah suci, yang diberkati.” Surah Al Anbiyaa’ (21) :71 menggambarkan tempat ini, yang di dalamnya ada Mesjid Aqsa sebagai tanah “yang Kami berkati disekelilingnya”, yang menggambarkan keluarnya Nabi Ibrahim dan Luth, tanah yang sama disebut sebagai “tanah yang Kami berkati untuk semua makhluk.”

Dan Kami selamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia (al Anbiyaa’ : 71).

Yang dimaksud dengan negeri di sini ialah negeri Syam, termasuk di dalamnya Palestina. Tuhan memberkahi negeri itu artinya: kebanyakan nabi berasal dan negeri ini dan tanahnyapun subur[2].

Palestina yang merupakan tanah para Nabi, kiblat pertama umat Islam, dan tanah tempat Isra Mi’raj direbut oleh umat Islam dari kekaisaran Bizantium (Romawi Timur) pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab, tepatnya tahun 638 M. Perebutan wilayah ini juga atas undangan orang-orang Kristian Palestina yang lelah dengan penjajahan Bizantium dan mereka mendengar bahwa kekhalifahan Islam terkenal sangatlah adilnya. Sejak itu sampai abad ke-11 Palestina berada di wilayah kekuasaan Kekhalifahan Islam. Orang-orang Kristian bebas berziarah ke Palestina.

* Seorang pengamat agama terkemuka dari Inggris Karen Armstrong[3] menggambarkan penaklukan Yerusalem oleh Umar dalam hal ini, dalam bukunya Holy War[4]:

* Khalifah Umar memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor unta putih, dikawal oleh pemuka kota tersebut, Uskup Yunani Sofronius. Sang Khalifah minta agar ia dibawa segera ke Haram asy-Syarif, dan di sana ia berlutut berdoa di tempat temannya Muhammad melakukan perjalanan malamnya. Sang uskup melihatnya dengan ketakutan: ini, ia pikir, pastilah akan menjadi penaklukan penuh kengerian yang pernah diramalkan oleh Nabi Daniel akan memasuki rumah ibadat tersebut; Ia pastilah sang Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat. Kemudian Umar minta melihat tempat-tempat suci Nasrani, dan ketika ia berada di Gereja Holy Sepulchre, waktu sholat umat Islam pun tiba. Dengan sopan sang uskup menyilakannya sholat di tempat ia berada, tapi Umar dengan sopan pula menolak. Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat Islam akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana, dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. Justru Umar pergi sholat di tempat yang sedikit jauh dari gereja tersebut, dan cukup tepat (perkiraannya), di tempat yang langsung berhadapan dengan Holy Sepulchre masih ada sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan untuk Khalifah Umar.

* Mesjid besar Umar lainnya didirikan di Haram asy-Syarif untuk menandai penaklukan oleh umat Islam, bersama dengan mesjid al-Aqsa yang mengenang perjalanan malam Muhammad. Selama bertahun-tahun umat Nasrani menggunakan tempat reruntuhan biara Yahudi ini sebagai tempat pembuangan sampah kota. Sang khalifah membantu umat Islam membersihkan sampah ini dengan tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun tempat sucinya sendiri untuk membangun Islam di kota suci ketiga bagi dunia Islam.

* Islam membawa peradaban bagi Yerusalem dan seluruh Palestina. Memegang keyakinan yang menunjukkan hormat kepada nilai-nilai suci orang lain dan tidak membunuh orang-orang hanya karena mereka mengikuti keyakinan berbeda, budaya Islam yang adil, toleran, dan lemah lembut membawa kedamaian dan ketertiban kepada masyarakat Muslim, Nasrani, dan Yahudi di daerah itu. Selama Kota Yerusalem dan Palestina berada di bawah kekuasaan Islam. Orang-orang Kristian dari seluruh dunia bebas datang untuk mengerjakan haji di kota Suci itu dan mengerjakan upacara keagamaannya. Orang-orang Kristian dari Eropah datang mengerjakan haji dalam jumlah rombongan yang besar dengan upacaranya membawa obor dan pedang seperti tentara. Sebahagian dari mereka mempermainkan pedang dengan dikelilingi pasukan gendang dan seruling dan diiringkan pula oleh pasukan bersenjata lengkap.

Upacara (ziarah kubur) seperti itu dibiarkan saja oleh umat Islam, karena dasar toleransi agama. Akan tetapi pada tahun 1070 Palestina (termasuk Bait al-Maqdia) berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki (Kekhalifahan Turki Ustmani) yang sudah merebut kekuasaan dari tangan kekhalifahan Abbasiyah. Ketika Dinasti Seljuk memerintah, upacara seperti itu tidak dibenarkan, dengan alasan keselamatan. Karena upacara tersebut semakin berbahaya. Lebih-lebih lagi rombongan-rombongan yang mengambil bagian dalam upacara itu sering menyebabkan kegaduhan/kekacauan dan huru-hara. Seperti yang terjadi pada tahun 1064 ketika ketua Uskup memimpin rombongan sebanyak 7.000 orang jemaah haji telah menyerang orang-orang Arab dan orang-orang Turki.

Itulah yang menjadi dasar pertimbangan Kerajaan Seljuk untuk melarang upacara orang-orang kristian tersebut. Larangan itu demi keselamatan Jemaah haji Kristian itu sendiri. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu. Tindakan Seljuk itu menjadi salah anggapan oleh orang-orang Eropa. Ketua-ketua agama mereka berkesimpulan bahwa kebebasan agamanya telah dihalangi oleh orang-orang Islam dan menyeru agar Tanah Suci itu dibebaskan dari genggaman umat Islam.

2. Latar Belakang Perang Salib

Yang melatarbelakangi perang salib paling tidak ada 2 faktor yang bagi para penguasa dan elit agama di Eropa dalam hal ini Paus (pimpinan gereja katolik) perlu untuk mengangkat pedang untuk menyatakan perang terhadap kekuatan Islam. Kedua faktor tersebut adalah :

a. faktor internal yakni konflik internal Eropa: Sampai pada abad pertengahan, kekristenan (Gereja) bergandengan tangan dan menjalin hubungan yang mesra namun manipulatif dengan kekuasaan politik atau kekaisaran. Hubungan yang demikian praktis melahirkan konsekwensi tersendiri: agama dijadikan alat penglegitimasian kekuasaan dan demikian halnya sebaliknya politik dijadikan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan seperti otoritas keagamaan; interes politik menjadi interes agama dan sebaliknya; agama me- dan di- manipulasi oleh politik dan sebaliknya. Kekuatan politik dipakai untuk menghadapi lawan-lawan gereja seperti kelompok yang diklaim sebagai kafir dan kelompok sekte atau heresi.

Kekaisaran Byzantinum (Romawi) dalam ancaman penguasa Islam berbangsa Turki Seljuk dan Byzantinum mengalami kekalahan dalam peperangan tersebut. Akibat dari kekalahan ini, penguasa Byzantinum memohon bantuan militer kepada Paus Urbanus II. Permohonan bantuan ini dilihat sebagai momentum untuk mengatasi konflik antara kedua pusat kekristenan, yakni gereja Katolik dengan pusatnya Roma dengan gereja Orthodox Timur Byzantinum dengan pusatnya Konstantinopel. Dengan kata lain dibalik perang terhadap penguasa Islam ada terselip maksud pemersatuan gereja barat dan timur. Maksud tersebut hingga dewasa ini tidak tercapai, sampai saat ini kedua pusat kekristenan: Gereja Katolik Roma dan Gereja Orthodox Timur masih terpisah.

b. Faktor eksternal : Islam sebagai kekuatan yang mengancam Eropa.

Peradaban Islam pada abad ke –11 tengah mengalami kemajuan yang sangat pesat di hampir dalam segala bidang. Bukan saja arsitektur yang megah melalui bangunan-bangunan mesjid yang luar biasa indahnya menjadi simbol bangkitnya peradaban Islam dewasa itu, di bidang Ilmu Pengetahuan, Astronomi, Filsafat dan Medis pun Islam pernah menjadi parameter dunia. Munculnya nama-nama besar seperti Avveroes (Ibn Rusy) sang Filosof yang karya terjemahan dan komentarya terhadap karya Filosof Yunani Aristoteles dipakai oleh para teolog Barat seperti Thomas Aquino, atau sang Dokter ternama Ibn Sinna (Avicienna) yang karyanya digunakan cukup lama di sekolah-sekolah kedokteran Eropa. Bangkitnya peradaban dibarengi dengan perluasan kekuasaan Islam.

Hingga Abad ke-11 Islam telah menguasai wilayah-wilayah kekaisaran Byzantinum seperti Suria, Mesir bahkan seluruh daerah Afrika Utara (sampai Maroko). Perluasan kekuasaan ini kearah barat sampai ke Spanyol Selatan dan kearah timur, Islam menguasai wilayah-wilayah seperti Rusia bagian selatan (Transoxania) bahkan telah menguasai Asia Tengah sampai ke Afganistan.

Bagi Eropa kenyataan ini melahirkan kekaguman disatu pihak dan merasa terancam dipihak lain. Ada pemahaman bahwa Islam telah menguasai separuh dunia. Penguasa dan pimpinan agama Kristen di Eropa merasa takut melihat kekuatan Islam yang bangkit pada masa itu. Islam dilihat sebagai bahaya yang mengancam eksistensi Eropa secara budaya maupun religi. Keberhasilan penguasa Eropa untuk merebut kembali wilayah-wilayah Spanyol Selatan seperti Toledo tahun 1085 dan Sisilia tahun 1091 melahirkan kepercayaan diri yang baru akan kekuatan Eropa untuk menghadapi kekuatan Islam.

Faktor lainnya adalah keberadaan Yerusalem. Sebelum perang salib yang pertama (sampai awal abad ke-11), Yerusalem berada dibawah kekuasaan Islam. Meskipun demikian Yerusalem masih menjadi tempat Ziarah yang paling populer bagi umat Kristen Eropa secara khusus pada abad ke-11. Pelaksanaan ziarah ke Yerusalem diberitakan mengalami gangguan dari pihak-pihak perampok. Dengan kata lain keamanan pelaksanaan ziarah ke kota suci tidak dapat lagi dijamin. Hal ini dilihat oleh pimpinan Gereja Katolik Roma untuk bentindak memberi keamanan kepada para peziarah bukan dengan cara damai melainkan dengan kekerasan yakni perang untuk merebut kota suci tersebut.

Banyak pendapat yang dikemukakan mengenai penyebab dan motivasi terjadinya Perang Salib ini. Doktor John L. Esposito[5], dosen universitas George Town Amerika menulis : Sebagian besar masyarakat Barat mengakui adanya kenyataan tertentu yang berhubungan dengan Perang Salib, tetapi banyak di antara mereka yang tidak mengetahui bahwa Perang Salib yang mengakibatkan korban yang amat besar ini adalah atas perintah Paus. Bagi umat Islam, kenangan atas Perang Salib merupakan satu contoh nyata dari militerisasi kristen ekstrim, sebuah kenangan yang membawa pesan bagi serangan dan imperialisme Kristen barat.

3. Jalannya Peperangan

Bermula ketika orang-orang Turki Seljuk merebut Anatolia/Antochia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Alexius I. Orang Turki terkenal sebagai bangsa pengembara. Mereka tinggal bukan hanya di wilayah yang disebut negara Turki sekarang ini melainkan di Turkistan, Asia Kecil dan Parsi. Turkistan (negeri orang Turki) adalah wilayah yang luas meliputi Anatolia (Negara Turki sekarang), Xinjiang (sekarang Cina), Azerbaijan, dan Asia Tengah yang meliputi Kazakhtan, Uzbekistan, dan Turmenistan (yang berarti Tanah Orang Turki).

Salah satu suku Turki yaitu Seljuk bergerak ke Anatolia dan mereka berperang dengan orang-orang Kristian di bawah pimpinan Alexius I. Alexius meminta tolong kepada Paus Urbanus II untuk merebut kembali Anatolia. Meskipun Pertentangan Timur-Barat sedang berlangsung antara gereja Katolik Barat dengan gereja Orthodox Timur, Alexius I mengharapkan respon yang positif atas permohonannya. Bagaimanapun, respon yang didapat amat besar. Paus menyeru bagi kekuatan invasi yang besar bukan saja untuk mempertahankan Kekaisaran Byzantium, akan tetapi untuk merebut kembali Yerusalem.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim yang menguasai Palestina saat itu menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. "Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali," kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, "Deus Vult!" (Tuhan menghendakinya!). Menurut Prof. Philip K Hitti tentang pidato paus tersebut yaitu : “Kemungkinan sekali itu pidato yang paling berkesan di dalam sejarah.”[6]

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai "Perang Demi Salib" untuk merebut tanah suci.

3.1. Perang Salib I (1095 – 1147)

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik (Kerajaan Yerusalem 1099 - 1187) yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah (Syria). Secara pemerintahan daerah ini di bawah Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki), namun gerejanya di bawah Paus di Roma. Dengan bangganya Godfrey, kepala negara Kristen yang menduduki Palestina, berkirim surat kepada Paus, diantaranya ia berkata, “sesungguhnya kuda kami mengarungi lautan darah dari orang-orang Timur sampai ke lutut tingginya di hadapan Haikal Sulaiman.”[7]. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.

Keberhasilan tentara Salib juga ditentukan oleh kelemahan orang-orang Saljuk (Turki)
akibat meninggalnya Malik Syah. Orang-orang Turki mulai terpecah belah.

3.2. Perang Salib II (1147 – 1179)

Malik Syah digantikan oleh Imaduddin Zanki. Ia mengumpulkan sisa-sisa kekuatan
Saljuk dan berhasil mengalahkan tentara salib di kota Aleppo dan Humah (ini adalah kemenangan pertama kali terhadap tentara salib). Namun tak lama kemudian ia meninggal.

Ia digantikan oleh anaknya, Nuruddin Zanki. Ia berhasil menumpas pemberontakan orang-orang Armenia. Kemenangan ini membuat orang-orang Eropa Barat bangkit lagi hasratnya untuk kembali ke dunia Timur.

Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Akan tetapi, gerak maju mereka dihambat oleh Nuruddin Zanki. Mereka tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II sendiri melarikan diri pulang ke negerinya. Nuruddin wafat tahun 1174 M.

3.3. Perang Salib III (1187 – 1197)

Perang Salib III merupakan salah satu episode dari sejarah panjang Perang Salib yang berlangsung ± 200 tahun. Dari seluruh episode, bisa dikatakan bahwa Perang Salib III merupakan episode paling dahsyat. Perang ini menyimpan beragam cerita dari perseteruan dua pemimpin hebat, Salahuddin al-Ayyubi dari kubu Muslim pada satu pihak, dan Richard si Hati Singa dari kubu Kristen pada pihak lain.

Pada masa ini, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi'ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Pria keturunan Seljuk Turki ini kebetulan mempunyai paman yang menjadi petinggi Dinasti Fathimiyyah. Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai.

Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Difestival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Merekapun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Salahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (kota didekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (kota di Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra' Mi'raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surah An-Nahl ayat 127:

Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” Surah An-Nahl ayat 127.

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an :

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin sedih bahkan menangis karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks bukan bagian dari Tentara Salib tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Tidak lama kemudian, Pada tahun 1194, Kaum Salib segera mendatangkan bala bantuan dari Eropa. Datanglah pasukan besar di bawah komando Phillip Augustus dan Richard "Si Hati Singa" (keturunan Henry II dan penerusnya).

Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre. Meskipun orang-orang Islam menyaksikan kekejaman ini, mereka tidak pernah memilih cara yang sama. Mereka tunduk kepada perintah Allah :

“Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Surah Al-Ma’idah (5):2)

Richard mengalami sakit keras dan meminta damai dengan Shalahuddin. Shalahuddin berusaha mendatanginya dan dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahuddin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun berdamai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Isi perjanjian diantaranya : Perjanjian damai berlaku selama 5 tahun, umat Kristen memiliki akses ke tempat suci Kudus (Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata). Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

Richard menandatangani perjanjian damai dengan Shalahuddin (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin. Sultan Salahuddin Al Ayyubi meninggal di Damsyik pada usia 75 tahun. Adiknya Sultan Al Malikul Adilsyah Al Ayyubi berhasil menyatukan seluruh kerajaan-kerajaan kecil Islam yang ada.

3.4. Perang Salib IV (1202 – 1204)

Perang Salib IV berlangsung tahun 1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul,Turki).

Paus Innocentius III (1198 - 1216) ingin menguasai Mesir dan mengirim tentara
Eropa Barat untuk menyerang Mesir. Ekspedisi ini dibiayai oleh pemerintah
Venesia. Pasukan ini ternyata tidak pernah tiba di Palestina. Kekuatannya
dipergunakan untuk menghancurkan pesaing perdagangan Venesia, yaitu
Konstantinopel. Tentara Salib akhirnya menduduki dan menjarah kota
Konstantinopel, lalu dijadikan kekaisaran yang takluk pada Gereja Roma.

3.5. Perang Salib V (1218 – 1221)

Pada Perang Salib V. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Paus Innocentinus III mendorong usaha serangan militer ke Mesir. Paus penggantinya, Honorius III, meneruskan usaha ini. Tentara Salib berhasil menguasai Kota Damietta di pantai Mesir (1219). Akan tetapi pada tahun 1221 kota terpaksa terlepas lagi.

3.6. Perang Salib VI (1248 – 1254)

Pada tahun 1244 Yerusalem diduduki kembali oleh tentara Islam. Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI, tapi tanpa pertempuran. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa 'alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Sedangkan Raja Louis IX melakukan Perang Salib dan menyerang Mesir. Pada tahun 1249 kota Damietta diserbu, namun Louis IX gagal, dan bahkan menjadi tawanan perang. Ia berhasil dilepaskan setelah ditebus dengan banyak uang. Ia pulang ke Perancis pada tahun 1254.

3.7. Perang Salib VII dan VIII (1270)

Perang Salib VII dan VIII dikobarkan oleh Raja Prancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Baybars. Louis meninggal di medan perang.

Sultan Baybars merupakan orang pertama di antara para sultan yang berhasil
menghancurkan kekuatan tentara Salib. Ia adalah keturunan Mameluk dari Mesir.
Pada tahun 1262 ia membangkitkan semangat massa Shalahuddin Al-Ayyubi untuk kembali ke Asia Barat. Sebuah kota dan benteng yang dikuasai oleh tentara Salib direbutnya kembali, sehingga pada tahun 1286 kota Jaffa dapat juga ditaklukkan. Penyerangan berikutnya diteruskan ke Utara untuk merebut Antiokhia. Pada tahun 1289 Tripoli di Lebanon direbutnya juga. Pada tahun 1291 Akko, sebuah kota terpenting kekuatan tentara Salib, dapat ditaklukkannya. Sejak saat itu masa tentara Salib habis di seluruh benua Timur .

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Islam oleh Ratu Spanyol, Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib[8].

4. Dampak Perang Salib

4.1. Dampak Terhadap Kristen Timur Tengah

Tentara Salib yang dipelopori Paus Urbanus II tahun 1095 tidaklah membawa damai bagi umat kristiani, tetapi memotong-motong dunia Kristen. Ketidaksetujuan doktrinal yang telah berlangsung lama dipaksakan kepada Gereja Timur oleh kebencian nasional
yang mendalam. Perang Salib memang tidak memberikan mashlahat apapun bagi
orang-orang Kristen di Timur Tengah. Di mata tentara Salib orang-orang Yakobit,
Koptik, Melkit, dan Nestorian merupakan orang-orang yang menyimpang dari ajaran
yang benar .

Setiap terjadi Perang Salib orang-orang Kristen asli Timur Tengah didera
penderitaan. Terjadi pembunuhan besar-besaran, baik atas orang-orang Islam
maupun orang-orang Kristen asli, seperti yang terjadi di Antiokhia (1098 &
1268), Yerusalem (1099 & 1244), Caesarea (1101), Beirut (1110), Edessa (1146),
Tripoli (1289), Akha (1291), dan Aleksandria (1365). Setelah pengusiran
orang-orang Kristen Barat, orang-orang Kristen asli di Mesir, Siria, dan
Armenia terkena dampak buruknya. Orang-orang Kristen tidak lagi dipercaya oleh
penguasa-penguasa Islam. Sikap toleran terhadap orang-orang Kristen juga
meluntur dan jurang antara kaum Kristen dan Islam diperdalam. Perang Salib
mempercepat kemunduran Gereja Timur.

4.2. Dampak Terhadap Islam - Kristen

Perang salib memiliki efek yang buruk dan meninggalkan bekas yang amat dalam. Muslim secara tradisional mengelu-elukan Saladin (Shalahuddin Al-Ayyubi), seorang ksatria Kurdi, sebagai pahlawan Perang Salib. Pada abad ke-21, sebagian dunia Arab, seperti gerakan kemerdekaan Arab dan gerakan Islamisme masih terus menyebut keterlibatan dunia Barat di Timur Tengah sebagai “perang salib”. Perang Salib dianggap oleh dunia Islam sebagai pembantaian yang kejam dan keji oleh kaum Kristen Eropa.

William Montgomery Watt[9], seorang peneliti Inggris, pernah menulis bahwa wajah Islam yang telah diubah oleh pendeta Kristen. Dalam pemikiran umat Kristen pada abad ke-12 ditanamkan penggambaran bahwa Islam itu agama pedang dan kekerasan serta Nabi Muhammad SAW adalah penentang Nabi Isa a.s. Menurut Watt, hasil dari distorsi (pemutar-balikan) penggambaran Islam ini berlanjut hingga abad ke-19 dalam pemikiran orang-orang Eropa. Malah, hingga saat ini, distorsi itu tetap kekal dalam pemikiran masyarakat Barat dan dampaknya masih bisa dilihat sampai hari ini. Watt juga menambahkan bahwa pembentukan gambaran buruk mengenai Islam sebagian besar merupakan reaksi umat Kristen yang melihat bahwa peradaban umat Islam di Andalus amat tinggi melampaui mereka.

4.3. Dampak Terhadap Barat (Eropa)

Perang Salib membawa kemajuan sosial bagi masyarakat Barat. Rakyat Eropa yang saat itu berperadaban rendah, mulai mengenal kecemerlangan peradaban umat Islam dan mereka mulai mempelajari ilmu dan peradaban dari rakyat muslim.

Infiltrasi (merembes, penyusupan) dua dunia, yaitu Kristen dan Islam, di sepanjang Perang Salib infiltrasi dunia Kristen terhadap Islam hanya terbatas pada sebagian budaya agama dan perang, tetapi dunia Islam melakukan berbagai infiltrasi dalam dunia kristen.

Sebaliknya, dari Islam, Eropa mengadopsi makanan, minuman, obat-obatan, kedokteran, persenjataan, selera dan kecenderungan seni, metode industri dan perdagangan, undang-undang, dan metode kelautan.

Penemuan-penemuan dan penciptaan-penciptaan sains baru mencapai timur dan barat. Kemajuan bangsa Arab termasuk perkembangan aljabar, lensa dan lain lain mencapai barat dan menambah laju perkembangan di universitas-universitas Eropa yang kemudian mengarahkan kepada masa Renaissance pada abad-abad berikutnya.

4.4. Dampak Terhadap Hubungan Kristen-Islam di Indonesia

Ketika agama Kristen masuk ke Nusantara pada abad 16 sudah banyak penduduk yang
memeluk agama Islam. Islam sendiri datang pada abad 9 - 10 melalui para
pedagang Muslim India, Arab, dan Persia.

Sejak awal kedatangannya kedua agama itu sudah diawali oleh suasana kurang baik. Sebelum masuk ke Nusantara kedua agama itu telah terlibat persaingan, konfrontasi, dan
konflik di Asia Barat, Afrika Utara, dan Eropa Barat. Pengalaman konflik dan
persaingan antara masyarakat kedua agama tersebut memerikan (describe) sikap
dan perasaan negatif satu sama lain, sehingga hal itu terbawa juga ketika kedua
agama itu masuk ke Nusantara.

Sikap pemerintah Hindia-Belanda terhadap agama Kristen bermuka dua.
Pada satu pihak pemerintah seringkali mempersulit atau melarang pekabaran
Injil, sedang pada pihak lain, terutama sesudah tahun 1900, pekabaran Injil
disokongnya. Oleh karena eratnya hubungan antara pemerintah kolonial dan
kegiatan penginjilan, maka pelaksanaan misi mendapat banyak kendala di kalangan
umat Islam. Kristen dipandang sebagai agama penjajah Barat yang menindas. Citra
orang Barat dalam Perang Salib masih menghantui umat Islam.

Setelah berakhirnya pemerintahan kolonial ketegangan hubungan umat Islam dan
Kristen mencuat lagi. Ini terjadi pada saat pembahasan UUD 1945 dan pada sidang
Konstituante hasil Pemilu 1955. Pada tahun 1971 pemeluk agama Kristen melejit
menjadi 7,4%, jika dibandingkan tahun 1931 yang hanya 2,8%. Hal ini terjadi
karena pemerintah orde baru mewajibkan penduduk untuk memeluk salah satu agama
yang diakui negara. Banyak orang bekas anggota PKI yang memilih Kristen
ketimbang Islam. Sebagian kalangan menduga jumlah itu mencapai dua juta orang. Kalangan Islam juga sangat berkeberatan dengan cara-cara misionaris menyebarkan agama Kristen yang dianggap mengintervensi keimanan umat Islam. Cara mereka ialah mendatangi dari rumah ke rumah dan membangun banyak gereja di kawasan Muslim.

Bantuan dari luar negeri bukan saja dalam bentuk tenaga, tetapi juga dalam
bentuk dana yang besar. Banyak dari mereka berasal dari kalangan Injili dan
fundamentalis. Dengan bantuan dana yang besar itu mereka membangun banyak
gereja di tempat-tempat strategis. Selain itu mereka melakukan kegiatan sosial
kepada masyarakat miskin, yang tujuan utamanya agar orang miskin tersebut
berpindah agama. Suasana ini diperparah lagi dengan banyaknya warga keturunan
Tionghoa yang masuk Kristen dan memberi bantuan dana. Di sinilah konflik keagamaan bercampur dengan konflik etnis. Konflik keagamaan timbul akibat kegiatan misi yang dilakukan secara agresif tanpa mempertimbangkan perasaan umat Islam. Tidaklah heran jika terjadi konflik antar umat beragama, maka dampaknya terjadi juga perusakan toko-toko milik keturunan Tionghoa.

KESIMPULAN

· Palestina, dan kota Yerusalem khususnya, telah menjadi tempat suci bagi umat Yahudi, Nasrani, dan Islam. Bagi Islam, Palestina merupakan tanah wakaf umat Islam, tanah para Nabi, kiblat pertama umat Islam, dan tanah tempat Isra Mi’raj.

· Perang Salib adalah pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh kaum Kristiani pada periode 1095 – 1291; direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen, dengan melibatkan pihak Islam, Yahudi, Kristen Katolik Roma, dan Kristen Ortodox Timur.

· Kebijakan Dinasty Saljuk ikut mendorong terjadinya Perang Salib dengan merebut kota Antiochia/Anatolia dari kekuasaan Gereja Ortodox Timur dan persyaratan ketat serta kenaikan pajak yang dikenakan kepada peziarah Kristen di Kota Yerusalem.

· 2 faktor yang melatarbelakangi perang salib yaitu : konflik internal Eropa (faktor internal) dan anggapan Islam sebagai kekuatan yang mengancam Eropa (faktor eksternal), Faktor lainnya adalah keberadaan Yerusalem.

· Perang Salib III merupakan salah satu episode dari sejarah panjang Perang Salib yang berlangsung ± 200 tahun. Dari seluruh episode, bisa dikatakan bahwa Perang Salib III merupakan episode paling dahsyat. Perang ini menyimpan beragam cerita dari perseteruan dua pemimpin hebat, Salahuddin al-Ayyubi dari kubu Muslim pada satu pihak, dan Richard si Hati Singa dari kubu Kristen pada pihak lain.

DAFTAR PUSTAKA

a. Hillenbrand, Carole, Perang Salib, sudut pandang Islam. Terjemahan dari The Crusade; Islamic Perspectives, New York;2000, PT. Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. 2005.

b. Karen Armstrong, Holy War, MacMillan : 1988.

c. Philip K Hitti, History of The Arab, (London : The Macmillan Press Ltd., 1974). Edisi X Terjemahan.

d. Sunanto, Prof. Dr. Hj. Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, perkembangan ilmu pengetahuan Islam. Kencana, Jakarta. 2007.

e. John L. Esposito, Ancaman Islam. Mitos atau Realitas, Mizan 1994.

f. Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979, Jilid IV).

g. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia. Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Gramedia 1995.

h. Agung Pribadi, Pambudi. Majalah Hidayatullah, Jakarta, edisi Desember 2004.



[1] Bagi orang Barat (Eropa, orang Kristen), menyebut agama Islam adalah Mohammedanism (ajaran Muhammad), istilah ini tidak tepat karena Islam bukanlah ajaran Muhammad Saw tapi Ajaran Allah Swt (Tuhan) yang dibawa Nabi Muhammad Saw, jadi Muhammad Saw hanya sebagai Nabi/utusan/Rasul, sebaliknya Agama Kristen, penggunaan ini tepat karena Kristus merupakan Tuhan yang ada dalam Trinitas.

[2] Al-qur’an dan terjemahannya, Depag. RI

[3] Pengamat, sejarawan dan peneliti agama dari Inggris, karyanya Perang Suci (Holy War), merupakan karya besar dalam penelitian agama.

[4] Karen Armstrong, Holy War, (MacMillan: 1988), hlm. 30-31.

[5] John L. Esposito, Ancaman Islam. Mitos atau Realitas, Mizan 1994

[6] Philip K Hitti, History of The Arab, (London : The Macmillan Press Ltd., 1974), terjemahan Edisi X, hal. 636

[7] Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta : Bulan Bintang, 1979, Jilid IV, h. 125.

[8] Agung Pribadi, Pambudi. Majalah Hidayatullah edisi Desember 2004

[9] Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia. Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Gramedia 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar