Kamis, 20 Agustus 2009

Tafsir Rūh Al-Ma’ānī

Tafsir Rūh Al-Ma’ānī

Karya Al-Alusi

Kitab Tafsir Rūh Al-Ma’ānī Karya Al-Alūsi memiliki keunikan tersendiri. Antara lain bahwa kitab tafsir tersebut sering dianggap oleh sebagian ulama sebagai kitab tafsir bernuansa sufistik, namun ternyata tidak semua penafsirannya demikian. Bahkan jika tafsir yang bernuansa sufistik dianggap tidak ma’qūl, atau bertentangan dengan kaedah kebahasaan, maka Al-Alūsi menolaknya. Keunikan kedua, tafsir Rūh Al-Ma’ānī dinilai oleh para ulama sebagai kitab tafsir ensiklopedis, yang memuat pendapat‑pendapat mufassir sebelumnya, terutama pendapat al-Zamakhsyarī dan al-Baidāwī dan ulama-ulama yang lain. Namun Al-Alūsi cenderung bersifat selektif (intiqa'iyyah). Artinya dalam melakukan eksplorasi penafsiran, Al-Alūsi tidak hanya mengutip pendapat-pendapat ulama sebelumnya, tanpa memberikan penilaian terhadap pendapat tersebut, melainkan juga melakukan kritik dan bahkan penolakan terhadap pendapat tersebut jika dinilai tidak tepat.

1. Biografi Al-Alūsi

Nama lengkap Al-Alūsi adalah Abū Śanā' Syihab al-Dīn al-Sayyid Mahmūd Afandi Al-Alūsi al-Bagdadi. Beliau dilahirkan pada hari Jumat tanggal 14 Sya'ban tahun 1217 H di dekat daerah Kurkh, Irak. Beliau termasuk ulama besar di Irak yang ahli ilmu agama, baik di bidang ilmu usūl (ilmu pokok) maupun ilmu furū’ (ilmu cabang)[1].

Nisbat al-Alūsi merujuk kepada suatu daerah didekat sungai Eufrat antara Bagdad dan Syam (Syiria). Disitulah keluarga dan kakeknya bertempat tinggal[2]. Itulah sebabnya beliau dikenal dengan sebutan Al-Alūsi. Pada usia mudanya beliau dibimbing oleh orang tuanya sendiri yaitu Syaikh al-Suwaidi. Disamping itu, al-Alūsi juga berguru kepada Syaikh al-Naqsa­bandi.

Dari yang terakhir ini beliau beliau belajar tasawuf. Maka wajar jika dalam sebagian uraian tafsirnya, beliau memasukkan perspektif sufistik sebagai upaya untuk menguak makna batin (esoteric).

Al-Alūsi dikenal sangat kuat hafalannya (dābit) dan brilian otaknya. Beliau mulai aktif dalam belajar dan menulis sejak usia 13 tahun. Seolah beliau tidak ada perasaan malas dan bosan untuk belajar. Berikut ini pernyataan al-Alūsi, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Akrom : "Aku tidak pernah tidur di malam hari untuk memurnikan ilmu-ilmu yang tercemar oleh kepen­tingan-kepentingan kekayaan dan wanita-wanita cantik"[3].

Pada tahun 1248 beliau diangkat sebagai mufti setelah sebulan sebelumnya diangkat menjadi wali wakaf di madrasah al-Marjāniyyah. Namun kemudian pada tahun 1263 H beliau melepaskan jabatan dan lebih memilih menyibukkan diri untuk menyusun tafsir al-Qur'an yang kemudian dikenal dengan tafsir Rūh Al-Ma’āni.

Setelah karya itu selesai, kemudian ditunjukkan kepada Sultan Abdul Majid Khan dan ternyata mendapatkan apresiasi yang luar biasa dari sultan. Bahkan konon bentuk apresiasi pada zaman dulu, jika seorang penulis berhasil menulis kitab, maka kitab tersebut akan ditimbang dan dihargai dengan emas seberat timbangan kitab tersebut.

Al-Alūsi sangat produktif. Tidaklah berlebihan jika beliau dijuluki dengan Hujjatul Udabā dan sebagai rujukan bagi Para ulama pada zamannya. Kealiman beliau dapat terlihat dari karya-karyanya antara lain : Hāsyiyah 'alā al­Qatr, Syarh al-Sālim, al-Ajwibah al-'Irāqiyyah ’an As'ilah al-Lahōriyyah, al-Ajwibah al-Irāqiyyah alā As'ilah al-­Irāniyyah, Durrah al-Gawâs fī Awhâm al-Khawāss, al-Nafakhāt al-­Qudsiyyah Adab al-Bahs Ruh al-Ma'ani Tafsir al-Qur'an al-'A.zîm wa al-Sab'i al-Masāni dan lain-lain. Diantara karya-karya tersebut, tampaknya karya yang paling populer adalah yang disebut terakhir yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Alūsi atau Ruh al-Ma'āni. Namun rupanya al-Alusi tidak berumur panjang. Pada tanggal 25 Zulhijjah 1270 H. beliau wafat dan dimakamkan di dekat kuburan Syaikh Ma'rūf al-Karkhî, salah seorang tokoh Sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.

2. Latar Belakang Penyusunan dan Metodologi Penafsiran

Latar belakang penulisan kitab tafsir Ruh al-Ma'a-ni ter­kesan agak mistik. Beliau menulis terdorong oleh suatu mimpi, meskipun sebelumnya telah ada ide untuk menulis tafsir tersebut. Al-Alusi memang ingin sekali menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat mencakup persoalan-persoalan yang dianggap urgen bagi masyarakat waktu itu. Namun rupanya beliau senantiasa dihing­gapi keragu-raguan (syak) untuk merealisasikan ide tersebut.

Akhirnya, pada suatu malam, tepatnya pada malam jum'at bulan Rajab tahun 1252 H, beliau bermimpi disuruh Allah Swt untuk melipat langit dan bumi, kemudian disuruh untuk mem­perbaiki kerusakan-kerusakan yang ada padanya.

Dalam mim­pinya, beliau Seolah mengangkat tangan satunya ke langit dan yang satunya ke tempat air. Namun kemudian beliau terbangun dari tidurnya. Mimpi tersebut lalu ditakwilkan dan temyata beliau menemukan jawabannya dalam sebuah kitab bahwa mimpi itu merupakan isyarat untuk menyusun kitab tafsir[4].

Lebih lanjut, berbicara metodologi pada prinsipnya adalah berbicara tentang proses dan prosedur dalam melakukan pe­nelitian atau penulisan termasuk dalam komponen metodologi adalah metode, pendekatan, sistematika penyajian dan sumber­sumber penafsiran. Metode diartikan sebagai way of doing anything[5] yaitu suatu cara yang ditempuh untuk menger­jakan sesuatu agar sampai kepada suatu tujuan. Sedangkan pendekatan (approach) adalah perspektif yang dipakai mufassir dalam melakukan penafsiran.

Metode yang dipakai oleh al-Alusi dalam menafsirkan al-Qur'an adalah metode tahlili. Salah satu yang menonjol dalam tahlili (analisis) adalah bahwa seorang mufassir akan berusaha menganalisis berbagai dimensi yang terdapat dalam ayat yang ditafsirkan. Maka biasanya mufassir akan menganalisis dari segi bahasa, asbab al-nuzul, nasikh-mansukhnya dan lain-lain. Namun biasanya metode tahlili tidak mampu menyajikan sebuah tafsir komprehensif, sehingga seringkali terkesan parsial.

Adapun masadir (sumber-sumber) penafsiran yang dipakai, al-Alusi berusaha memadukan sumber ma'sur (riwayat) dan al-­ra'yi (ijtihad). Artinya bahwa riwayat dari Nabi atau sahabat atau bahkan tabi'in tentang penafsiran al-Qur'an dan ijtihad dirinya dapat digunakan secara bersama-sama, sepanjang hal itu dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.

Sedangkan pendekatan yang dipakai dalam menafsirkan salah satunya adalah pende­katan sufistik, meskipun ia juga tidak mengesampingkan pen­dekatan bahasa, seperti nahwu-.saraf balagah dan sebagainya. Bahkan sebagaimana penilaian al-Zahabi, porsi sufistiknya relatif lebih sedikit.

Adapun sistematika sebagai langkah metodis yang ditem­puhnya, biasanya al-Alusi menyebutkan ayat-ayat al-Quran dan langsung menjelaskan makna kandungan ayat demi ayat. Dalam analisisnya, terkadang juga al-Alusi menyebutkan asbab al-nuzul terlebih dahulu, namun kadang beliau langsung mengupas dari segi gramatikanya, kemudian mengutip riwayat hadis atau qawl tabi'in.

Dalam menjelaskan makna kandungan ayat yang ditafsir­kan, al-Alusi sering mengutip pendapat para mufassir sebelumnya, baik salaf maupun khalaf. Kemudian beliau memilih pendapat yang dianggap paling tepat. Bagi para pembaca kitab tafsir Ruh al-Ma’ani, perlu menge­tahui istilah khusus yang dipakai al-Alusi. Misalnya, apabila yang dikutip pendapat Abu Su'ud, istilah yang dipakai : "qala Syaikh al-Islam". Jika yang dikutip pendapat Fakhruddin al-Razi, maka digunakan istilah : "qala al-imam". Dan jika beliau mengutip dari pendapat al-Baidawi, maka dikatakan: "qala al-Qadi”.

Terhadap riwayat-riwayat isra'iliyat yang sering disusupkan dalam beberapa literatur hadis dan tafsir, al-Alusi dinilai sangat selektif dalam mengambil riwayat-riwayat isra'iliyat. Hal itu disebabkan karena beliau banyak menekuni disiplin ilmu hadis dan banyak bergaul dengan para ulama ahli hadis muta'akhirin. Kalaupun al-Alusi menyebutkan riwayat-riwayat isra'iliyat atau hadis maudu’ hal itu bukan dimaksudkan sebagai dasar penafsiran, melainkan untuk menunjukkan kebatilan riwayat tersebut dan memberikan tahzir (peringatan) kepada kaum muslimin, terutama para peneliti dan mahasiswa.

3. Contoh Aplikasi Penafsiran

Salah satu contoh penafsiran al-Alusi adalah tentang kisah pertemuan Musa as dengan Khidir as yang disebutkan dalam Surah Al-­Kahfi (18) : 60-70. Sebagai berikut :

60. Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya : "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun."

61. Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."

63. Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."

64. Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

65. Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

66. Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

67. Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.

68. Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

69. Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun."

70. Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."

Dalam menjelaskan sebab terjadinya pertemuan antara Musa dengan Khidir, al-Alusi mengutip, sebuah hadis riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari IbnuAbbas dari Ubay ibn Ka'ab yang artinya sebagai berikut: Suatu ketika Musa berdiri berpidato di hadapan kaumnya, yaitu bani Israil. Lalu beliau ditanya: "Siapakah orang yang paling alim?". Jawab Musa:" Saya”.

Dengan jawaban itu Musa mendapat kecaman dari Tuhannya, sebab beliau tidak mengembalikan ilmu tadi kepada Allah Swt. Kemudian Allah memberikan wahyu kepadanya, yang isinya : "Sesungguhnya Aku mempunyai hamba yang berada di majma'al­Bahrain. Dia lebih pandai dari kamu........[6]” Berdasarkan hadis tersebut maka al-Alusi menafsirkan bahwa yang dimaksud "Musa" dalam ayat tersebut adalah Musa Ibn Imran, seorang Nabi bani Israil. Pendapat ini menurutnya merupakan pendapat yang sahih.

Di samping itu, al-Alusi mengemukakan adanya pendapat ahli kitab, sebagian ahli hadis dan ahli sejarah yang mengatakan bahwa Musa yang disebut dalam ayat tersebut bukanlah Musa ­Ibn Imran, melainkan Musa Ibn Afrasim Ibn Yusuf, yaitu Musa yang diangkat sebagai Nabi sebelum Musa Ibn Imr-an. Hal itu didasarkan kepada alasan-alasan sebagai berikut :

  1. Tidak rasional jika seorang nabi belajar kepada selain nabi. Alasan ini dibantah oleh al-Alusi bahwa Musa itu bukan belajar kepada selain nabi, akan tetapi dia belajar kepada seorang nabi juga yaitu Khidir. Jika alasan ini juga belum memuaskan mereka, dengan dalih bahwa Musa Ibn Imran lebih utama dari Khidir, al-Alusi memberikan jawaban, adalah sah-sah saja jika seorang yang derajatnya lebih utama itu belajar kepada orang yang derajatnya di bawah­nya. Sebab secara logika, tidak menutup kemungkinan ilmu yang dimiliki oleh orang yang di bawah keutamaannya (al-mafdul) ternyata tidak dimiliki oleh orang yang lebih tinggi keutamaannya (al-afdal), sebagaimana dikatakan dalam kalam masal : "Qad yujad fi al-Mafdul ma Yujadu fi al-Fadil”. Terkadang ditemukan sesuatu pada orang yang berada dibawah keutamaannya sesuatu yang tidak ditemukan pada orang yang utama."
  2. Musa, setelah keluar dari Mesir bersama kaumnya ke al­-Tih (gurun pasir Sinai), tidak pernah meninggalkan al-Tih dan wafat di sana. Padahal jika kisah ini berkaitan dengan Musa Ibn Imran tentu nabi Musa harus keluar dari al-Tih, karena kisah itu mungkin tidak terjadi di Mesir sebagai­mana kesepakatan orang.
  3. Jika kisah tersebut berkaitan dengan Musa Ibn Imran, tentunya untuk beberapa hari, ia harus tidak kelihatan oleh kaumnya. Dengan demikian tentunya orang-orang Bani Israil yang bersamanya mengetahui kisah tersebut dan akan diceritakan kepada orang lain, sebab kisah tersebut meng­andung hal-hal yang aneh, namun ternyata hal itu tidak terjadi. Maka jelas bahwa kisah tersebut tidak berkaitan dengan Musa Ibn Imran.

Alasan kedua dan ketiga juga dibantah oleh al-Alusi, bahwa Musa keluar dari al-Tih tidak dapat diterima, sebab sebenaranya kisah tersebut terjadi setelah Nabi Musa menguasai Mesir bersama Bani Israil dan beliau menetap di sana setelah hancurnya kaum Qibti. Begitu pula tidak ada kesepakatan yang menyatakan bahwa kisah tersebut tidak terjadi di Mesir. Demi­kian juga kepergian Musa untuk menemui Khidir terjadi secara luar biasa. Tidak diketahui oleh umatnya, dikiranya beliau pergi untuk bermunajat kepada Tuhannya. Musa tidak menceritakan kepada kaumnya mengenai hakikat kepergiannya, sebab khawatir jika diceritakan akan merendahkan derajat ("gengsi") Musa di hadapan kaumnya, mengingat umatnya tidak semuanya paham bahwa yang demikian itu (yakni Musa berguru kepada Khidir) sebenarnya bukanlah sesuatu yang merendahkan martabat kenabian Musa." Dengan demikian, keingkaran mereka bahwa kisah itu tidak berkaitan dengan Musa- Ibn Imra-n tidak perlu dipedulikan, sebab secara logika pun hal itu bisa terjadi, apalagi Allah Swt dan Rasul-Nya telah menjelaskannya.

Adapun fata Musa (pemuda yang menemani Musa) adalah Yusya' ibn Nun ibn Nun ibn Afrasyim ibn Yusuf. Disebut fata sebab dia biasa melayani Nabi Musa. Orang-orang Arab biasa menyebut pelayannya dengan sebutan fata, sebab pelayan itu biasanya masih muda. Lalu siapakah hamba salih yang ditemui Musa? Menurut jumhur ulama, ia adalah Nabi Khidir, dan pen­dapat ini juga dianut oleh al-Alusi berdasar hadis sahih riwayat Imam al-Bukhara dan Imam Muslim.

Bagaimana pendapat al-Alusi tentang status Khidir, apakah ia seorang rasul, nabi atau yang lain? Dalam hal ini ada beberapa pendapat menurut al-Alusi, antara lain :

Pertama, Khidir itu seorang nabi, bukan seorang rasul. Inilah pendapat jumhur ulama, berdasarkan firman Allah yang berbunyi : "atainahu rahmatan min 'indina?. Mereka menafsirkan bahwa yang dimaksud rahmat adalah wahyu dan kenabian. Al­Alusi cenderung sependapat dengan jumhur ulama. Kedua, Khi­dir adalah seorang rasul. Dalam hal ini, al-Alusi tidak menyebut­kan alasan mereka yang berpendapat demikian. Ketiga, Khidir adalah malaikat. Pendapat ini menurut al-Alusi dianggap garib (nyleneh), sebagaimana dijelaskan juga dalam kitab Syarh Muslim. Keempat, Khidir adalah seorang wali. Pendapat ini diikuti oleh Imam al-Qusyairi.

Pendapat jumhur itulah yang lebih kuat, sebab beberapa alasan lain yang dikemukakan oleh Ibn Hajar al-Asqalani untuk memperkuat pendapat tersebut, yaitu : Pertama, Ucapan Khidir yang disebutkan dalam al-Qur'an : "wa ma fa'altuhu 'an arnri....” memberikan isyarat bahwa yang dilakukannya itu bukan atas kehendak dirinya, melainkan atas perintah Allah (baca : wahyu). Kedua, Jika ia bukan seorang nabi, bagaimana ia lebih alim dari Musa? Ketiga, Jika ia bukan nabi, bagaimana mungkin Musa mau berguru kepadanya? Keempat, hadis Bukhari­Muslim yang menjelaskan bahwa Khidir itu seorang Nabi. Inilah yang dikenal dengan penafsiran bi al-ma'sur, yaitu penafsiran yang berdasar penjelasan langsung dari Nabi, dan nilai penafsirannya menurut para ulama termasuk yang paling bagus[7].

Lalu bagaimana dengan tempat pertemuan Musa dan Khidir? Pertemuan Musa dengan Khidir oleh al-Qur'an hanya dikatakan di Majma’ al-Bahrain. Menurut al-Alusi, untuk menen­tukan di mana letak Majma' al Bahrain harus berdasarkan riwayat yang sahih. Dalam hal ini al-Alusi mengemukakan beberapa riwayat, antara lain :

Pertama, riwayat Mujahid, Qatadah dan lainnya, bahwa yang dimaksud dengan Majma' al-Bahrain adalah laut Persi dan Romawi. Inilah pendapat yang diikuti oleh al-Alusi. Kedua, Abu Hayyan berpendapat berdasarkan pendapat Ibn Athiyyah bahwa majma’ al-Bahrain itu berada di daerah dekat Syam. Ketiga, Muhammad ibn Ka'ab al-Qurazi berpendapat bahwa majma’ al-Bahrain berada di Tanjah yaitu pertemuan antara Laut Tengah dengan Laut Atlantik di Selat Gibraltar (Jabal Tariq).

Mengetahui di mana majma’ al-Bahrain bukanlah hal yang penting dalam kisah tersebut, mengingat al-Qur'an sendiri tidak menjelaskannya. Maka lebih baik hal itu di-rnauquf-kan saja, apalagi tidak ditemukan hadis sahih dari Nabi yang menjelaskan hal itu. Sebenarnya al-Alusi juga banyak menjelaskan riwayat-riwayat lain, selain yang di atas tadi. Namun sigat (bentuk) riwayatnya menggunakan bentuk fi'il mabni majhul, yaitu dengan kata qi1a, yang dalam kaedah Ilmu Musthalah Hadis disebut dengan.sigat al-tamrid (bentuk penya­taan bahwa riwayat tersebut "sakit") yang berarti riwayat tersebut lemah, maka tidak bisa dijadikan hujjah[8].

Al-Alusi juga menjelaskan adanya penafsiran secara meta­foris (majazi), yaitu bahwa majma’ al-Bahrain adalah Nabi Musa dan Khidir itu sendiri, sebab keduanya merupakan lautan ilmu. Namun, menurut al-Alusi, ta'wil orang sufi seperti itu yang tidak tepat. Apalagi jika dilihat dari siyaq al-kalam (konteks kalimat).

Ayat yang berbunyi hatta abluga majma al-bahrain berarti sehingga saya sampai ke tempat dua laut. jadi, majma' al-bahrain itu sebagai objek, sedang damir (kata ganti) yang ada pada kata abluga yang merujuk pada Nabi Musa sebagai Fa'il (Subjek).

Al-Alusi sendiri menafsirkan majma’ al-bahrain dengan multaq al-bahrain yang merupakan nota bene isim makan, yaitu kata benda yang menunjukkan tempat. Demikian pula al-Qurtubi menolak penafsiran secara metaforis tersebut, sebab dalam hadis sahib juga dinyatakan lautan air[9].

Selanjutnya, dalam menafsirkan ayat wa'allamnahu mil­ladunna 'ilma, al-Alusi menyatakan bahwa ayat tersebut meru­pakan dasar yang dipakai oleh para ulama untuk menetapkan adanya ilmu ladunni atau yang disebut pula dengan ilmu hakikat atau ilmu batin (esoteris) yaitu ilmu yang diberikan langsung oleh Allah, yang tidak dapat diperoleh tanpa taufiq-Nya, ilmu yang tidak diketahui secara mendalam tentang hakikatnya dan tidak dapat diukur kadarnya, atau ilmu gaib.

Adapun cara pemberian ilmu laduni tersebut ada dua kemungkinan. Pertama dengan perantaraan wahyu yang di­dengar dari malaikat sebagaimana wahyu al-Qur'an yang diterima Nabi Muhammad. Kedua, mungkin pula melalui isyarat dari malaikat, tanpa menjelaskan dengan kata-kata. Inilah yang juga disebut ilham dan malaikat yang membawanya juga disebut ma­laikat ilham. Ilham dapat diterima nabi dan selain nabi. Untuk mendapatkan ilham ladunni diperlukan pensucian batin (tatir al­qa1b). Oleh sebab itu, sebagian orang menyebutnya dengan ilmu batin atau ilmu hakikat.

Sebagian orang sufi beranggapan bahwa ilmu batin atau ilmu hakikat itu boleh menyalahi ilmu lahir atau ilmu syariat. Dengan kata lain, orang yang telah menggapai derajat ilmu hakikat boleh menyalahi syariat dengan alasan bahwa Khidir juga telah menyalahi syariat Nabi Musa. Anggapan tersebut diban­tah oleh al-Alusi. Dengan tegas al-Alusi menyatakan haza za'mun batil, 'ati al-khayal fasidun. Ini adalah anggapan yang keliru, omong kosong, ilusi dan salah.

Bantahan al-Alusi sangat tepat, sebab jika ilmu hakikat dapat menyalahi syariat dibenarkan, maka seseorang dapat saja mengaku telah mencapai tingkat hakikat sebagai alasan untuk meninggalkan syariat. Akibatnya akan terjadi "desyari'atisasi" atau sikap anti syariat, dan klaim bahwa ia telah gugur dari kewajiban menjalankan syariat.

Oleh sebab itu, Syaikh Tahir Salih al-Jaza'iri menolak keras pandangan seperti itu. Beliau mengatakan "Adalah kufur orang yang menduga bahwa dalam syariat ada dimensi batin yang boleh menyalahi dimensi lahirnya, lalu ia mengklaim bahwa ia telah sampai kepada tingkatan hakikat."

Dalam ilmu tasawuf memang dikenal tingkatan syari’ah, tarikah dan haqiqah. Syariat yang dimaksud adalah aturan-­aturan lahir yang ditentukan misalnya seperti hukum halal haram, sunah makruh dan sebagainya. Termasuk pula amaliah seperti shalat, puasa, jihad, zakat, haji dsb. Sedang tariqah adalah jalan yang harus ditempuh oleh seorang untuk mendapatkan kerida'anNya dalam mengerjakan syariat, seperti sikap ikhlas, sabar, taubat, muraqabah dan sebagainya. Sedangkan haqiqah yaitu kebenaran sejati dan mutlak yang meru­pakan puncak perjalanan spiritual seseorang[10].

Ketiga dataran (syariah, tarikat, hakikat) tersebut harus dilihat dengan paradigma struktural sekaligus fungsional, di mana satu dengan lainnya tidak boleh dipisah-pisahkan. Sebagaimana disebut dalam kitab Bidayah al-Azkiya', bahwa hubungan ketiga dataran (syariat, tarikat dan hakikat) digambarkan sebagai berikut : "Syariat itu ibarat perahu, sedang tarikat bagaikan laut dan hakikat itu inti mutiaranya yang mahal."

Dalam syarh kitab tersebut dijelaskan bahwa meskipun seseorang telah mencapai tingkatan hakikat, is tetap terkena taklif (tugas) syariat untuk menjalankan ibadah yang diwajibkan oleh al-Qur'an dan hadis.

Berkenaan dengan Surah al-Kahfi (18): 66-70 penjelasan al-­Alusi secara ringkas sebagai berikut, bahwa setelah Nabi Musa bertemu dengan Khidir, maka Musa minta izin kepada Khidir untuk mengikutinya dan minta agar Khidir mau mengajarinya.

Hal ini dapat di pahami dari ayat : hal attabi’uka 'ala antu'allimani mimma'ullimta rusyda. Huruf 'ala, menurut kaidah bahasa Arab berarti bahwa jumlah sesudahnya merupakan syarat.

Ilmu yang diharapkan Musa adalah rusyd yang menurut al-­Alusi berarti isabatul khair (ilmu yang dengannya seseorang dapat tepat dalam mengetahui kebaikan). Nabi Khidir-pun mau me­nerima permintaan Musa dengan catatan jika nanti berada di per­jalanan Musa melihat hal-hal yang aneh yang dilakukan Khidir, dia tidak boleh bertanya, sampai Khidir sendiri yang akan menjelaskannya. Nabi Khidir-pun sebenarnya sudah tahu bahwa Musa tak akan mampu menyertainya. Hal itu tampak dari pernyataan Khidir yang direkam dalam al-Qur'an (Surah al-Kahfi : 66-67).

4. Komentar Para Ulama Terhadap Tafsir Ruh al Ma’ani

Tafsir Ruh al-Ma'ani dinilai oleh sebagian ulama sebagai tafsir yang bercorak isyari (tafsir yang mencoba menguak dimensi makna batin berdasar isyarat atau ilham dan ta'wil sufi) sebagai­mana tafsir al-Naisaburi. Namun anggapan ini dibantah oleh al-Zahabi dengan menyatakan bahwa tafsir Ruh al-Ma’ani bukan untuk tujuan tafsir isyari, maka tidak dapat dikategorikan sebagai tafsir isyari. Al-Zahabi memasukkan tafsir al-Alusi ke dalam tafsir bi al-ra’yi al-mahmud (tafsir berdasar ijtihad yang terpuji).

Ada ulama sependapat dengan al-Zahabi, sebab memang maksud utama dari penulisan tafsir bukan untuk me­nafsirkan al-Qur'an berdasarkan isyarat-isyarat, melainkan menafsirkan al-Qur'an berdasarkan apa yang dimaksud oleh lahirnya ayat dengan tanpa mengabaikan riwayat yang sahib. Meskipun tidak dapat diingkari, bahwa beliau juga memberikan penafsiran secara isyari, tetapi porsinya relatif lebih sedikit dibanding yang bukan isyari. Menentukan corak suatu tafsir mesti berdasarkan kecenderungan yang paling menonjol dari sekian kecenderungan.

Imam Ali al-Sabuni sendiri juga menyatakan bahwa al­-Alusi memang memberi perhatian kepada tafsir isyari, segi-segi balagah clan bayan. Dengan apresiatif beliau lalu mengatakan bahwa tafsir al-Alusi dapat dianggap sebagai tafsir yang paling baik untuk dijadikan rujukan dalam kajian tafsir bi al-riwayah, bi al-dirayah dan isyarah.

Menurut al-Zahabi dan Abu Syuhbah, tafsir Ruh al-Ma'ani merupakan kitab tafsir yang dapat menghimpun sebagian besar pendapat para mufassir dengan disertai kritik yang tajam dan pentarjih terhadap pendapat-pendapat yang beliau kutip. Di samping itu, sebagaimana dikutip M. Quraish Shihab, Rasyid Rida juga menilai bahwa al-Alusi sebagai mufassir yang terbaik di kalangan ulama muta'akhkhirin karena keluasan pengetahu­annya menyangkut pendapat-pendapat muta’akhkhirin dan mutaqaddimin. Namun, al-Alusi tidak lupus dari kritikan. seperti, dia dituduh sebagai penjiplak pendapat ulama-ulama sebelumnya, bahkan tanpa merubah redaksi-redaksi yang di­jiplaknya[11].

5. Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa tafsir al-Alusi termasuk kitab corak tafsir bil ra'yi al-mahmud dengan metode tahlili, meskipun ada sebagian ulama yang menganggapnya sebagai corak tafsir sufi. Namun anggapan bahwa tafsir Al-Alusi sebagai tafsir bercorak sufi jelas terlalu berlebihan, sebab porsi sufistiknya tenyata relatif sangat sedikit. Dibanding tafsir-tafsir lain

Sumber sumber yang dipakai di samping ayat al-Qur'an dan hadis, al­-Alusi menggunakan analisis linguistik dan bahkan informasi para sejarawan yang dinilai akurat. Al-Alusi termasuk orang yang sangat selektif terhadap riwayat-riwayat israiliyat, beliau juga menekuni ilmu hadis. Dari sini, idealnya seorang mufassir juga merupakan muhaddis, sebab antara tafsir dan hadis (atau posisi yang lebih tepat adalah antara al-Qur'an dan hadis) merupakan taw’amani (dua saudara kembar) yang tidak dapat dipisah-pisahkan (inseparable), sehingga keduanya musti dikaji secara seimbang.

6. Daftar Pustaka

- Mustaqim, Abdul. Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Studi Kitab Tafsir. Penerbit Teras. Yogyakarta, 2004.

- Ali Hasan al-Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ter. Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994).

- Mahmud Thahan, Taisir Mustalah al-Hadis (Riyad: Maktabah al-Madinah, 1976). Terjemahan Abu Fuad, Pustaka Thariqul Izzah, 2005.

- Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993).

- M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994


[1] Muhammad Husayn al-Zahabi, al-Tafsir wal Mufassirun Juz I (Tt: tp, 1976), h. 352-353, dari Studi Kitab Tafsir, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, TH Press. 2004

[2] Muhammad Ibn Muhammad Abu Syuhbah, al-Israiliyyat wal Mawdu’iyyat fi Kutub al-Tafsir (Kairo: Maktabah Sunnah tth), h. 145-146. dari Studi Kitab Tafsir, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, TH Press. 2004

[3] Ali Hasan al-Arid, Sejarah dan Metodologi Tafsir, ter. Ahmad Akrom (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 1994), h. 33

[4] Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani,Juz I (Bairut: Dar al-Fkr, 1978), h. 4. dari Studi Kitab Tafsir, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, TH Press. 2004.

[5] AS Hornbay, Oxford Advanced Leavers Dictionary of Current English (tp: Oxford University Press 1963), h. 533. dari Studi Kitab Tafsir, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, TH Press. 2004.

[6] al-Bukhari, Matan al-Bukhari Juz I (Singapura: Maktabah wa an- Nasyr wa at-Tauzi', t.th.), Lihat pula Abu Husain Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi al-Naisaburi, Sahib Muslim., Juz II (Beirut: Ddr al-Fikr, 1988), h. 433-434. dari Studi Kitab Tafsir, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, TH Press. 2004.

[7] Abu al-Fida Ismail Ibn Kasir, Tafsir al-Qur'an al-Azim (Semarang: Taha Putera, t.th.), h. 3. dari Studi Kitab Tafsir, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, TH Press. 2004.

[8] Mahmud Thahhan, Taisir Mustalah al-Hadis (Riyad: Maktabah al-Madinah, 1976), h. 69. terjemahan

[9] Abu- Abdullah Muhammad Ibn Ahmad al-Ansari al-Qurtubi, Al­-Jami’al-Ahkam al-Qur'an Juz XI (tt: Dar al-Katib al-Arabi, t.th.), h. 9. dari Studi Kitab Tafsir, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, TH Press. 2004.

[10] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993) h. 100-102.

[11] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar