Kamis, 20 Agustus 2009

MAKANAN DAN MINUMAN

MAKANAN DAN MINUMAN YANG DIHALALKAN DAN DIHARAMKAN

PENGERTIAN KHAMAR, PENGHARAMAN DAN BAHAYANYA

1. Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Fiqh II, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Makanan dan Minuman yang Dihalalkan dan Diharamkan, Pengertian Khamar, Pengharaman dan Bahayanya.

Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :

1. : Pendahuluan

2. : Islam Menghalalkan yang Baik-Baik

3. : Makanan dan Minuman yang Dihalalkan dan Diharamkan

4. : Pengharaman Bangkai, Darah yang Mengalir, Daging Babi dan Hewan yang Disembelih Atas Nama Selain Allah SWT

5. : Pengharaman Hewan-Hewan dan yang Disembelih di Atas Berhala

6. : Ikan dan Belalang Dikecualikan dari Bangkai

7. : Keadaan Darurat

8. : Khamar

9. : Kesimpulan

10. : Daftar Pustaka

2. Islam Menghalalkan yang Baik-Baik

Ketika Islam datang, umat manusia ada yang berlebih-lebihan dalam membolehkan memakan makanan dan minuman, dan ada juga yang sangat ekstrem dengan meninggalkannya. Oleh karena itu, Islam pun mengarahkan seruannya kepada seluruh manusia sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur'an :

”Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (Al-Baqarah : 168).

Islam menyeru mereka, (dalam seruan ini Allah meng­gunakan kata manusia) untuk memakan yang baik-baik dari hidangan besar yang telah Allah sediakan untuk mereka—yaitu berupa bumi beserta isinya yang Allah ciptakan untuk mereka. Juga menyerukan agar mereka tidak mengikuti jalan setan yang akan selalu menggoda umat manusia agar mereka meng­haramkan apa-apa yang telah dihalalkan oleh Allah dan baik bagi mereka. Setan ingin agar mereka ikut terjerumus ke dalam jurang kesesatan.

Kemudian Islam kembali mengarahkan seruannya kepada orang-orang mukmin secara khusus, tercantum dalam Al-Qur'an :

172. ”Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah”.

173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Al-Baqarah : 172-173)

Dalam seruan yang dikhususkan buat orang-orang mukmin ini, Allah memerintahkan mereka untuk memakan rezeki yang baik-baik yang telah diberikan kepada mereka. Juga agar mereka menunaikan hak nikmat tersebut dengan cara bersyukur kepada pemberi nikmat. Kemudian dijelaskan bahwa Allah hanya mengharamkan empat hal saja sebagaimana disebutkan pada ayat di atas. Hal senada juga disebutkan pada ayat yang lain, di mana Allah menjelaskannya dalam bentuk penunjukan atas batasan yang diharamkan pada empat hal tersebut.

Di dalam Al Qur'an tercantum :

Katakanlah : "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Al-An’aam : 145).

Artinya bagi orang yang memakannya, tidak dihalalkan makan kecuali jika makanan itu baik dan jiwa dapat terpeliha­ra, firman Allah :

Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?." Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. (Al Maa’idah : 4).

Yang dimaksudkan dengan baik di sini adalah : Apa yang dianggap dan dirasakan oleh jiwa baik.

Didalam al-Qur’an tercantum :

“dan dihalalkan bagi mereka segala yang baik dan diharamkan bagi mereka segala yang buruk” (Al A’raaf : 157)

Al-Qur'an menyebutkan hal-hal yang diharamkan dengan lebih rinci lagi :

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala” (Al Maa’idah : 3).

Antara ayat ini yang menetapkan 10 hal yang diharamkan dengan ayat yang sebelumnya yang menetapkan 4 hal saja yang diharamkan, tidaklah saling menafikan. Karena, ayat yang baru saja disebutkan di atas hanya menjabarkan ayat yang sebelumnya.

4 hal yang diharamkan sebelumnya : bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.

6 hal yang diharamkan selanjutnya : yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.

3. Makanan dan Minuman yang Dihalalkan dan Diharamkan

Makanan itu bermacam-macam. Ada yang berupa jamad (Benda padat) dan ada pula yang berupa hewan. Yang jamad semuanya halal, kecuali yang najis dan mutanaj­jis[1], yang berbahaya, yang memabukkan dan yang menyang­kut hak orang lain.

Yang najis seperti halnya: Darah, dan yang mutanajjis seperti samin yang kejatuhan ti­kus.

Berdalilkan kepada hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, dari Maimunah. Bahwasanya beliau pernah ditanyakan tentang samin yang kejatuhan tikus.

Beliau lalu bersabda:

Buanglah, dan yang sekitarnya. Dan makanlah saminmu”.

Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa: Benda beku yang kejatuhan binatang mati (bangkai), binatangnya harus di­buang bersama-sama dengan barang yang di sekitarnya, kalau masih ada bagian lain yang tak terkena. Adapun untuk yang cair; ia menjadi najis dengan adanya najis di situ[2].

Dan diharamkan pula yang membahayakan, misalnya : racun, dan lain-lain. Racun; umpamanya yang dikeluarkan oleh kalajengking, lebah, ular berbisa. Dan ada pula racun yang dikeluarkan oleh tumbuh-tumbuhan.

Islam mengharamkan sesuatu yang dapat menimbulkan kehilangan kesadaran, melemahkan otak, juga yang dapat merusak jiwa. Adapun makanan, yang menjadi pokok haramnya makanan ada lima :

  1. Nash dari Al-Qur’an dan hadist.

Haram karena adanya nash dari Al-qur’an dan hadist (himar jinak, keledai, binatang buas yang bertaring, burung berkuku tajam).

Dari Jabir, “Nabi Saw. pada Perang Khaibar telah melarang memakan daging himar jinak” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

“Setiap binatang buas yang mempunyai taring, haram dimakan”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).

“Nabi Saw. telah melarang memakan setiap burung yang mempunyai kuku tajam”. (Riwayat Muslim).

  1. Karena disuruh membunuhnya.

Haram karena kita disuruh membunuhnya (ular, gagak, tikus, anjing galak dan burung elang).

Dari Aisyah, “Rasulullah Saw. telah bersabda, lima macam binatang yang jahat hendaklah dibunuh, baik di Tanah Halal ataupun di Tanah Haram yaitu, ular, burung gagak, tikus, anjing galak dan burung”. (Riwayat Muslim)

  1. Karena dilarang membunuhnya.

Haram karena kita dilarang membunuhnya (semut, lebah, burung hud-hud, burung suradi).

Dari Ibnu Abbas, “Nabi Saw telah melarang membunuh empat macam binatang : semut, lebah, burung hud-hud, burung suradi”. (Riwayat Ahmad)

  1. Karena keji (kotor).

Haram karena kotor (keji), termasuk kutu, ulat, nyamuk, kecoa, cicak, dll.

“Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”.

(Al-A’raf : 157)

  1. Karena memberi mudarat.

Diharamkan memakan sesuatu apabila memberi mudarat pada badan atau akal, seperti : racun, candu/narkotika, batu, kaca, dll.

4. Pengharaman Bangkai, Darah yang Mengalir, Daging Babi dan Hewan yang Disembelih Atas Nama Selain Allah SWT

4.1. Pengharaman Bangkai dan Hikmahnya

Yang disebutkan dalam ayat-ayat yang mengharamkan beberapa jenis makanan adalah al-maitah 'bangkai'. Yaitu, hewan atau burung yang mati dengan sendirinya, tanpa ada unsur perbuatan manusia yang ia maksudkan untuk menyembelihnya atau memburunya.

Macam-macam bangkai :

a. Al-Munkhaniqah, yaitu hewan yang mati tercekik, baik tercekiknya karena sesuatu yang menghimpit lehernya maupun karena kepalanya masuk ke dalam lubang yang sempit sehingga tidak bisa bernapas, dan lain sebagainya.

b. Al-Mauqudzah, yaitu hewan yang dipukul dengan tongkat atau benda lainnya hingga mati.

c. Al-Mutaraddiyah, yaitu hewan yang terjatuh dari tempat yang tinggi dan mati, seperti itu juga kalau hewan itu jatuh ke dalam sumur.

d. An-Nathihah, yaitu hewan yang ditanduk oleh hewan lain dan mati.

e. Ma-Akalas Sabu', yaitu hewan yang telah dimangsa oleh binatang buas yang memakan sebagian dagingnya hingga mati.

Akan tetapi, setelah Allah menyebutkan lima hal yang diharamkan tersebut, Allah tambahkan dengan menyatakan, "Kecuali hewan yang sempat kamu sembelih." Maksudnya, jika kamu mendapati hewan-hewan ini masih dalam keadaan hidup, maka sembelihlah dengan segera.

Beberapa hikmah dari pengharaman bangkai :

1. Secara naluriah, orang-orang pasti akan menganggap bangkai itu sebagai barang yang kotor dan menjijikkan. Orang-orang yang berakal pada umumnya juga akan menganggap bahwa memakan bangkai itu adalah suatu kehinaan yang merusak kehormatan manusia.

2. Agar setiap muslim membiasakan diri untuk mempunyai tujuan dan keinginan dalam setiap urusannya. la tidak akan bisa mendapatkan suatu hasil kecuali setelah ia mengedepankan niat, tujuan, dan usahanya. Demikian juga pengertian sembelih (yang dapat mengeluarkan hewan yang mati dari predikat bangkai) yang berarti suatu tujuan untuk menghilangkan nyawa hewan agar dapat memakannya. Adapun hewan yang disembelih dan hewan yang diburu, maka hasil dari keduanya itu tidak akan didapat kecuali dengan tujuan, usaha, dan perbuatan.

3. Hewan yang mati dengan sendirinya biasanya karena sebab tertentu. Mungkin ia mati karena suatu penyakit kronis yang menyerangnya, atau karena sebab insidentil, atau karena memakan tumbuh-tumbuhan yang beracun atau lain sebagainya. Semuanya itu tidak aman untuk dikonsumsi karena mengandung bahaya.

4. Dengan mengharamkan manusia memakan bangkai, sesungguhnya Allah memberikan kesempatan kepada hewan-hewan dan burung-burung untuk memakannya, sebagai rahmat Allah kepada hewan dan burung tersebut.

5. Agar manusia menjaga hewan-hewan yang dimilikinya dengan baik, tidak membiarkannya menjadi korban penyakit dan kelemahan sehingga ia mati begitu saja. Akan tetapi, seharusnya ia bersegera mengobati penyakit hewan peliharaannya atau mempercepat kematiannya dengan menyembelihnya.

4.2. Pengharaman Darah yang Mengalir

Yang diharamkan adalah ad-damul masfuh 'darah yang mengalir'. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa. Lalu ia berkata, "Makanlah ia." Mereka berkata, "Itu kan darah." Lalu ia berkata lagi, "Yang diharamkan atas kamu hanyalah darah yang mengalir."

Rahasia pada pengharaman darah yang mengalir adalah karena darah itu kotor, dan naluri manusia yang bersih pasti akan merasa jijik karenanya. Sebagaimana halnya dengan bangkai, darah juga mengandung unsur bahaya bila dimakan.

Orang-orang jahiliah dahulu apabila lapar, mereka akan mengambil sesuatu yang tajam seperti tulang atau yang lainnya. Kemudian mereka akan menusukkannya pada unta atau hewan peliharaan mereka dan mengumpulkan darah yang keluar dari hewan tersebut, lalu mereka meminumnya.

Seperti yang dituturkan al-A'sya dalam syairnya,

"Ingatlah, jangan engkau dekati bangkai itu, dan jangan pula engkau ambil tulang yang tajam lalu kau tusukkan. "

Karena menusuk hewan untuk diambil darahnya akan sangat menyakiti hewan itu dan membuatnya lemah. Oleh karena itu, Allah lantas mengharamkannya.

4.3. Daging Babi

Dari yang diharamkan adalah lahmul khinzir 'daging babi. Maka, sesungguhnya jiwa yang sehat akan merasa kotor dan jijik terhadapnya. Hal itu karena babi itu sendiri selalu memakan makanan yang kotor-kotor dan najis-najis.

Dokter-dokter sekarang telah membuktikan bahwa me­makan daging babi itu sangat membahayakan pada semua iklim, terutama yang beriklim panas. Sebagaimana juga telah dibuktikan melalui tes ilmiah bahwa memakan daging babi bisa menyebabkan timbulnya cacing pita yang sangat mematikan, juga cacing-cacing lainnya.

4.4. Hewan yang Disembelih Atas Nama Selain Allah

Dari yang diharamkan adalah ma uhilla ligharillah bihi 'hewan yang disembelih atas nama selain Allah', contohnya seperti menyebut nama berhala. Para penyembah berhala dahulu, bila hendak menyembelih hewan, mereka menyebut­kan nama-nama berhala-berhala mereka seperti Laata dan Uzza. Perbuatan ini merupakan bentuk takarub kepada selain Allah, dan beribadah dengan tidak menyebutkan nama-Nya yang agung. Maka, alasan dari pengharaman ini adalah karena alasan agama semata. Demi menjaga tauhid dan kebersihan akidah, juga untuk memerangi kemusyrikan dan manifestasi berhala-berhala pada setiap lapangan.

Sesungguhnya Allah telah menciptakan manusia dan menundukkan segala yang ada di bumi hanya untuk manusia, menjadikan hewan tunduk kepada mereka, serta membolehkan mereka merenggut nyawa hewan itu demi kemashlahatan mereka sendiri apabila dalam menyembelihnya mereka menyebut nama Allah. Karena dengan menyebut nama Allah ketika menyembelih hewan, pada saat itu merupakan suatu pengakuan manusia bahwa apa yang mereka lakukan terhadap makhluk hidup lain hanya dengan izin Allah dan ridha-Nya. Oleh karena itu, jika mereka menyembelih dengan menyebutkan nama selain Allah, maka batallah keizinan yang Allah berikan kepada manusia. Dan, Allah berhak meng­haramkan hewan sembelihan tersebut.

5. Pengharaman Hewan-Hewan dan yang Disembelih di Atas Berhala

5.1. Pengharaman Hewan-Hewan Tertentu

Ulama menetapkan pengharaman memakan hewan yang mati karena sengaja diadu, walaupun terluka kena tanduk dan mengeluarkan darah, dan walaupun darah yang keluar tersebut dari tempat sembelihannya. Karena tujuan dari pengharaman tersebut adalah sebagai hukuman dari mem­biarkan hewan-hewan ini saling beradu hingga satu sama lainnya saling bunuh. Maka, dengan diharamkannya hewan ini adalah balasan yang setimpal.

Pengharaman memakan hewan yang telah dimangsa oleh binatang buas, di dalamnya terdapat hikmah (yang utamanya) memuliakan manusia, membersihkannya dari memakan suatu bekas sisa makanan binatang buas. Dahulu orang-orang jahiliah suka memakan sisa-sisa daging hewan yang telah dimakan oleh binatang buas seperti kambing, unta, ataupun kerbau. Maka, Allah melarang perbuatan tersebut terhadap orang-orang yang beriman.

Adapun binatang yang dapat hidup di air dan di darat, seperti : katak dan buaya, hukumnya haram (tidak halal) dimakan.

5.2. Hewan yang Disembelih di Atas Berhala

Dari hal-hal yang diharamkan memakannya adalah Ma Dzubiha 'Alan Nushub 'hewan yang disembelih di atas berhala'. Nushub itu artinya sesuatu yang ditancapkan, baik itu berupa berhala maupun batu yang didirikan sebagai tanda bahwa itu adalah Thaghut, yaitu sesuatu yang disembah selain Allah. Orang-orang jahiliah dahulu menyembelih hewan di atas batu atau di sisi thaghut mereka dengan tujuan untuk bertakarub kepada Tuhan dan berhala mereka.

Perbuatan ini (menyembelih hewan di sisi berhala) sama saja artinya dengan menyembelih atas nama selain Allah, karena keduanya mengandung maksud pengagungan terhadap thaghut. Bedanya adalah, kalau "hewan yang disembelih atas nama selain Allah", hewan itu disembelih memang untuk berhala. mereka. Tetapi, bisa saja penyembelihannya berada jauh dari berhala atau nushub tadi. Hanya saja dalam penyem­belihannya disebutkan nama thaghutnya. Sedangkan, hewan yang disembelih di atas berhala, maka penyembelihannya harus dilakukan di atas atau di sisi batu sembahan itu, tetapi tidak mesti disebutkan nama selain Allah dalam penyembelihannya.

Ketika berhala-berhala ini berada di sekitar Ka'bah, orang­orang menyangka bahwa menyembelih hewan di atas berhala itu merupakan penghormatan terhadap Baitullah Haram. Oleh karena itu, Al-Qur'an menghapus sangkaan ini dan mene­tapkan pengharamannya dengan nash yang sangat jelas, walaupun pengertiannya sama saja dengan menyembelih atas nama selain Allah.

5.3. Hewan-Hewan Darat yang Diharamkan

Adapun hewan-hewan darat, Al-Qur'an tidak menyatakan haram pada hewan-hewan itu kecuali pada daging babi secara khusus juga bangkai, darah, dan yang disembelih atas nama selain Allah dari semua jenis hewan darat. Hal ini sebagaimana yang telah dibahas pada ayat-ayat yang lalu dengan bentuk tertentu yang membatasi hal yang diharamkan menjadi empat secara global dan sepuluh secara rinci.

Akan tetapi, Al-Qur'an juga mengatakan dalam firman­Nya,

"Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharam­kan bagi mereka segala yang buruk. - (al-A'raaf : 157)

Yang dikatakan buruk (khabaits) itu adalah setiap sesuatu yang dianggap kotor oleh perasaan manusia pada umumnya, walaupun ada beberapa pribadi yang tidak menganggap demikian. Contoh dari yang demikian itu adalah pengharaman memakan daging keledai pada hari Perang Khaibar oleh Rasu­lullah seperti yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim : Dari Jabir, ”Nabi Saw pada Perang Khaibar telah melarang memakan daging himar jinak”. Namun, pelarangan ini hanya sementara saja karena keledai saat itu dibutuhkan untuk tunggangan.

Contoh lainnya, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sahib Bukhari dan Muslim, Nabi saw. melarang memakan semua binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku mencengkeram.

Yang dikatakan binatang buas (siba') adalah binatang yang memangsa hewan lain dan memakannya dengan paksa seperti singa, macan, serigala, dan sebagainya. Dan yang dikatakan burung yang berkuku mencengkeram (dzil mikhlab) adalah burung yang mempunyai kuku yang tajam untuk melukai mangsanya, seperti burung garuda, elang, rajawali, dan sebagainya. Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa Ibnu Abbas ber­pendapat bahwa tidak ada sesuatu yang diharamkan kecuali empat hal yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Seolah-olah ia juga berpendapat bahwa hadits-hadits yang melarang memakan binatang buas dan yang lainnya hanya makruh bukan haram, atau mungkin saja hadits-hadits tersebut belum sampai kepadanya. Ia juga berkata, "Dahulu orang-orang jahiliah memakan sesuatu dan meninggalkan memakan sesuatu karena kotor, lalu Allah mengutus nabi-Nya dan menurunkan kitab-Nya. Kemudian Allah menghalalkan yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan yang diharamkan-Nya. Maka, segala yang dihalalkan-Nya berarti halal, segala yang diharamkan-Nya berarti haram, dan segala yang dibiarkan-Nya berarti itu suatu kemaafan dari Allah." Kemudian ia membaca ayat :

"Katakanlah, 'Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang-orang yang hendak memakannya...... (al-An'aam : 145)

Dengan ayat ini, maka. Ibnu Abbas memandang bahwa daging keledai jinak itu halal. Pendapat Ibnu Abbas ini diikuti oleh Imam Malik. Ia tidak menganggap binatang buas dan yang lainnya itu haram, tetapi cukup hanya memakruhkannya saja.

6. Ikan dan Belalang Dikecualikan dari Bangkai

Hewan berdasarkan tempat hidupnya dibagi menjadi dua bagian, yaitu hewan air/laut dan hewan darat.

Hewan-hewan air/laut (yang dimaksud di sini adalah hewan yang bertempat tinggal di kedalaman air dan tidak bisa hidup kecuali berada di dalamnya) semuanya halal, bagaimanapun ia didapati, baik diambil dari laut dalam keadaan hidup maupun sudah menjadi bangkai, terapung atau tidak, ikan kecil atau ikan besar, anjing laut atau babi laut dan lain sebagainya, semua halal dimakan. Siapa yang menangkap hewan-hewan laut itu pun bebas, apakah ia muslim atau bukan muslim. Allah telah memberikan keleluasaan seluas-luasnya kepada hamba-­hamba-Nya dengan menghalalkan semua hewan yang ada di air/laut, tanpa ada satu pun yang diharamkan, atau disyaratkan menyembelihnya seperti hewan yang lain. Bahkan, Allah membiarkan manusia mengumpulkan kekayaan darinya sesuai kebutuhan dan kesanggupan mereka dengan menghindari penyiksaan hewan semaksimal mungkin.

"Dan Dialah Allah yang menundukkan lautan untukmu agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan)." (an-Nahl: 14)

"Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu dan bagi orang-­orang yang dalam perjalanan." (al-Maa'idah: 96)

Ketika Rasulullah ditanya tentang air laut, beliau bersabda : ”Air laut itu suci dan bangkainya pun halal dimakan. (HR Ahmad).

Tercantum di dalam al-Qur’an :

........

”Dihalalkan bagimu binatang buruan laut[3] dan makanan (yang berasal) dari laut[4]. (Q.S : 5 ayat 96).

Umar berkata, "Yang dimaksud dengan Shaid 'binatang buruan' adalah hewan yang dapat diburu (ditangkap) dari laut, dan maksud Tho'amuhu 'makanan yang berasal dari laut' adalah sesuatu yang dilemparkan ke laut." Ibnu Abbas juga berkata, "Yang dimaksud dengan Tho'amuhu adalah bangkainya." Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, "Dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwa Rasulullah pernah mengutus pasukan armada laut yang terdiri dari sahabat­sahabat beliau. Kemudian di sana mereka mendapati ikan yang sangat besar yang telah mati, lalu mereka memakannya selama dua puluh hari lebih. Setelah itu mereka pun kembali menuju Madinah dan mengabarkan Rasulullah akan hal ini. Maka, bersabdalah Rasulullah, ”Makanlah apa yang telah Allah keluarkan untukmu, dan berilah kami makanan tersebut jika masih ada pada kamu”. Lalu salah seorang di antara mereka datang mem­bawakan sedikit daging ikan yang tersisa, kemudian Rasulullah-pun memakannya." (HR Bukhari)

Dan yang seumpama dengan bangkai ikan ini adalah belalang. Rasulullah telah memberikan rukhshah 'keringanan' dalam memakannya walaupun sudah menjadi bangkai. Hal itu dikarenakan penyembelihannya sangat tidak memung­kinkan. Ibnu Abi Aufa berkata, "Kami pernah berperang bersama Rasulullah selama tujuh kali peperangan di mana kami memakan belalang bersama-sama Rasulullah."

7. Keadaan Darurat

7.1. Keadaan Darurat yang Dikecualikan

Seluruh hal yang diharamkan yang telah disebutkan di atas berlaku untuk keadaan bebas memilih. Adapun dalam keadaan darurat, maka hukumnya tersendiri, yaitu halal. Allah berfirman, "Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atas kamu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. " (Q.S : 6 ayat 119)

Allah juga berfirman setelah menyebutkan pengharaman bangkai, darah, dan seterusnya :




…….. ………

“Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya”. (Q.S : 1 ayat 173)

Keadaan darurat yang telah disepakati oleh para ulama adalah keadaan darurat dalam hal makanan, di mana ia tersiksa oleh rasa lapar (sebagian ahli fiqih membatasi bahwa waktu telah berjalan selama sehari semalam) dan ia masih belum mendapati apa yang bisa ia makan kecuali makanan-­makanan yang diharamkan tersebut. Maka, dalam keadaan ini ia boleh memakan makanan yang diharamkan itu sekadarnya untuk menutupi keadaan darurat dan memehhara diri dari kebinasaan.

Imam Malik berkata, "Batas kebolehan memakan makanan yang diharamkan itu adalah sampai ia kenyang, dan ia juga boleh berbekal darinya hingga ia mendapat makanan yang lain."

Ahli fiqih lain berkata, "la tidak boleh memakannya kecuali hanya sekadar untuk mempertahankan sisa hidupnya."

Barangkah, inilah kenyataan yang dimaksudkan oleh Allah dalam firman-Nya, "Tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas." Yaitu, tidak menginginkannya karena nafsu, juga tidak berlebih-lebihan melampaui batas ketentuan darurat.

Al-Qur'an juga telah menetapkan batas ketentuan darurat lapar dengan sangat jelas sekali sebagaimana firman-Nya, "Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al-Maa'idah: 3)

7.2. Keadaan Darurat Berobat

Adapun keadaan darurat berobat dengan pengertian bahwa kesembuhan si pasien tergantung pada sesuatu dari hal­-hal yang diharamkan tersebut yang harus ia makan, para ahli fiqih berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian Ulama fiqih tidak menganggap berobat sebagai keadaan darurat yang mendesak seperti halnya makan. Mereka bersandar pada hadits Rasu­lullah, "Sesungguhnya Allah tidak menjadikan kesembuhanmu pada sesuatu yang telah Ia haramkan atas kamu. " (HR Bukhari).

Sebagian ulama fiqih yang lain menganggap keadaan ini sebagai keadaan darurat dan menjadikan berobat sama seperti makan. Karena keduanya merupakan suatu keharusan dalam hidup pada asalnya, demi kelangsungan hidup. Kelompok ini berdalil dengan sebuah hadits Nabi saw. bahwa Rasulullah telah memberikan keringanan kepada Abdurrahman bin 'Auf dan Zubair bin 'Awwam untuk memakai kain sutra karena penyakit gatal yang mereka derita. Padahal Rasulullah sebe­lumnya telah melarang memakai kain sutra bagi kaum pria.

Mungkin pendapat inilah yang paling mendekati kepada jiwa Islam yang selalu menjaga kehidupan manusia dalam setiap syariatnya dan arahan-arahannya.

Akan tetapi, keringanan (rukhshah) dalam memakan obat dari sesuatu yang haram ini terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi :

1. Terdapat bahaya yang mengancam kesehatan seseorang jika ia tidak memakan obat ini.

2. Tidak ada obat lain yang halal dan memadai yang dapat menggantikan obat yang haram tersebut.

3. Dinyatakan langsung oleh seorang dokter muslim yang dapat dipercaya profesionalismenya dan agamanya.

Kenyataan yang ada dan juga dari laporan-laporan para dokter yang dapat dipercaya bahwa tidak ada keadaaan darurat dalam bidang kedokteran yang mengharuskan si pasien untuk memakan sesuatu dari hal-hal yang diharamkan ini sebagai obat. Tetapi, mengam­bil prinsip ini sebagai prinsip alternatif bagi seorang muslim yang bisa saja ia berada di suatu tempat terpencil yang tidak didapati padanya sesuatu kecuali hal-hal yang diharamkan ini.

Namun, tidaklah termasuk syarat darurat bahwa seseorang tidak mendapati makanan yang ia miliki sendiri, bahkan keadaan tidak dapat dikatakan sebagai keadaan darurat untuk dapat memakan makanan yang diharamkan ini, jika masih terdapat pada anggota masyarakat di mane ia berada yang memiliki kelebihan makanan yang dapat menopang daruratnya. Karena sesungguhnya masyarakat muslim itu harus saling melengkapi dan saling membantu laksana anggota badan yang satu atau laksana bangunan yang saling menopang.

Salah satu pandangan yang sangat berharga bagi para ahli fiqih Islam dalam hal solidaritas sosial adalah sebagaimana yang dikatakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al-Mahalli. Ia me­ngatakan bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang dalam keadaan terpaksa memakan bangkai atau daging babi sementara ia masih bisa mendapati makanan dari kelebihan makanan temannya. Karena adalah suatu kewajiban bagi orang yang mempunyai makanan untuk memberi makan orang yang kelaparan.

Tetapi jika keadaannya tidak demikian (ia tidak mendapati dari masyarakatnya kelebihan makanan mereka), maka ia tetap tidak bisa dikatakan dalam keadaan darurat untuk dapat memakan bangkai atau daging babi. Dan, ia harus meme­ranginya. Jika ia terbunuh, maka bagi si pembunuh hukum qishash 'balas bunuh'. Jika ia membunuh orang yang enggan memberi makan tersebut, maka baginya laknat Allah karena si kikir itu menahan hak orang, dan dapat digolongkan sebagai kelompok orang-orang zalim. Sebagaimana firman Allah :

Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah." (al-Hujuraat: 9)

Menahan hak orang lain adalah suatu kezaliman terhadap saudaranya yang berhak atasnya. Oleh karena itulah, Abu Bakar ash-Shiddiq memerangi orang-orang yang menolak bayar zakat.

8. Khamar

8.1. Pengertian Khamar

Yang disebut khamr ( ﺨﻤﺮ ) adalah segala sesuatu yang memabukkan. Minuman yang berpotensi memabukkan bila diminum dengan kadar normal oleh seorang yang normal, maka minuman itu adalah khamar sehingga haram hukum meminumnya, baik diminum banyak maupun sedikit serta baik ketika ia diminum memabukkan secara faktual atau tidak. Jika demikian, keharaman minuman keras bukan karena adanya bahan alkoholik pada minuman itu, tetapi karena adanya potensi memabukkan. Dari sini, makanan dan minuman apapun yang berpotensi memabukkan bila dimakan atau diminum oleh orang normal (bukan orang yang telah terbiasa meminumnya) maka ia adalah khamar.

Ada pendapat yang tidak didukung banyak ulama, dikemukakan oleh kelompok ulama bermazhab Hanafi, mereka menilai bahwa khamr hanya minuman yang terbuat dari anggur. Adapun minuman lain seperti yang terbuat dari kurma atau gandum dan lain-lain yang berpotensi memabukkan, maka ia tidak dinamai khamr, tetapi dinamai nabidz (ﻨﺒﯿﺬ ). Selanjutnya kelompok ulama ini berpendapat, bahwa yang haram sedikit atau banyaknya adalah yang terbuat dari anggur, yakni khamer. Sedang nabidz tidak haram kalau sedikit. Ia baru haram kalau banyak.

8.2. Pengharaman Khamar dan Bahayanya

Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya." Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir (Al-Baqarah : 219)

Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamar berjudi berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan­-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu dari mengerjakan pekerjaan itu. " (al-Maa'idah: 90-91)

Dalam ayat tersebut, Allah mempertegas pengharaman khamar dan judi, dan mengiringi keduanya dengan berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dengan panah. Kemudian menjadikan keduanya sebagai perbuatan keji (perkataan "keji" (rijs) ini tidak diucapkan di dalam Al-Qur'an kecuali terhadap sesuatu yang memang amat sangat keji dan jelek). Juga menggolongkan keduanya termasuk perbuatan setan, yang perbuatannya hanya untuk kekejian dan kemungkaran.

Dalam ayat tersebut, Allah juga memerintahkan untuk menjauhi keduanya, dan menjadikannya sebagai suatu jalan menuju kepada keberuntungan. Allah menyebutkan sebagian bahaya keduanya terhadap masyarakat yaitu dapat memutus­kan hubungan silaturahmi, serta menimbulkan permusuhan dan kebencian. Juga bahaya keduanya terhadap kejiwaan, yaitu menghalangi melaksanakan kewajiban agama dari mengingat Allah dan shalat.

Kemudian Allah memerintahkan untuk berhenti dari melakukan hal tersebut dengan ungkapan yang sangat tajam,

maka berhentilah kamu”( Al-Baqarah : 91)

Hal pertama yang dikumandangkan Rasulullah dalam masalah khamar ini adalah bahwa beliau tidak memandang kepada bahan pembuat khamar. Akan tetapi, beliau meman­dang kepada akibat yang terjadi sesudahnya, yaitu mabuk. Jadi, selama pada bahan tersebut terdapat unsur kuat yang dapat memabukkan, maka ia adalah khamar, walau dengan nama apapun orang menamakannya, walau terbuat dari bahan apapun.

Rasulullah pernah ditanya tentang minuman yang terbuat dari madu atau terbuat dari jagung dan gandum yang didiami hingga menjadi minuman keras. Rasulullah kemudian menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang sangat lengkap,

"Setiap sesuatu yang memabukkan adalah khamar, dan setiap khamar adalah haram. " (HR Muslim)

Umar ibnul-Khaththab juga pernah mengumandangkan hal ini dari atas mimbar Rasulullah di dalam khutbahnya, "Yang dikatakan khamar adalah sesuatu yang dapat menghilangkan akal pikiran".

9. Kesimpulan

Yang menjadi pokok haramnya makanan dan minuman ada lima :

a. Nash dari Al-Qur’an dan hadist.

b. Karena disuruh membunuhnya.

c. Karena dilarang membunuhnya.

d. Karena keji (kotor).

e. Karena memberi mudarat.

Binatang yang hidup didalam air semuanya halal, sedangkan binatang yang bisa hidup di air dan bisa hidup di darat hukumnya haram dimakan. Binatang yang hidup di darat ada yang halal dan ada yang haram.

4 hal yang diharamkan dalam Al-Qur’an : bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah.

6 hal yang diharamkan selanjutnya : yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.

Minuman yang berpotensi memabukkan bila diminum dengan kadar normal oleh seorang yang normal, maka minuman itu adalah khamar sehingga haram hukum meminumnya, baik diminum banyak maupun sedikit serta baik ketika ia diminum memabukkan secara faktual atau tidak. Dari sini, makanan dan minuman apapun yang berpotensi memabukkan bila dimakan atau diminum oleh orang normal (bukan orang yang telah terbiasa meminumnya) maka ia adalah khamar.

Sebagian bahaya khamar terhadap masyarakat yaitu dapat memutus­kan hubungan silaturahmi, serta menimbulkan permusuhan dan kebencian. Juga bahaya terhadap kejiwaan, yaitu menghalangi melaksanakan kewajiban agama dari mengingat Allah dan shalat.

10. Daftar Pustaka

a. Sabiq, Sayyid, Fiqhussunnah, (terjemahan ; H. Kamaluddin A. Marzuki, Jilid 9 dan 13). PT. Alma’rif, Bandung. 1987.

b. Al-Qaradhawi, DR. Yusuf, Halal Haram dalam Islam, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta. 2005.

c. Sulaiman, H. Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Algensindo, Bandung. 2005.

d. Shihab, H. Quraish, Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, volume 1), Lentera Hati, Jakarta. 2007.

e. Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad, Al-Jami’ Fii Fiqhi An-Nisa’, Daarul Kutub Al-Ilmiyah, Beirut. Libanon. 1417 H.



[1] Yang bercampur dengan najis

[2] Az Zuhri, Al Auza’I, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Al-Bukhari meriwayatkan : benda cair jika dijatuhi najis menjadi najis, kecuali jika ia berubah lantaran najis, jika tidak ia tetap suci.

[3] Maksudnya: binatang buruan laut yang diperoleh dengan jalan usaha seperti mengail, memukat dan sebagainya. Termasuk juga dalam pengertian laut disini ialah: sungai, danau, kolam dan sebagainya

[4] Maksudnya: ikan atau binatang laut yang diperoleh dengan mudah, karena telah mati terapung atau terdampar dipantai dan sebagainya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar