Kamis, 20 Agustus 2009

QISHAS MENURUT AL-MARAGHI

QISHAS MENURUT AL-MARAGHI

(Studi Atas Karakteristik Penafsiran Tafsir Al-Maraghi)

Pengantar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi tiada tuhan selain Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Membahas Tafsir Modern, kami telah menyelesaikan makalah yang bertema Qishas Menurut Al-Maraghi, Studi Atas Karakteristik Penafsiran Tafsir Al-Maraghi”.

Sistematika penyusunan makalah ini sebagai berikut :

I. Mengenal Ahmad Mushthafa Al-Maraghi

A. Riwayat hidup

B. Karir Intelektual

C. Karya-karya yang lain

II. Mengenal Tafsir Al-Maraghi

A. Mesir pada saat penulisan

B. Proses Penulisan

C. Sekilas tentang Tafsir Al-Maraghi

III. Karakteristik Penafsiran Tafsir Al-Maraghi

A. Sumber penafsiran yang dominan

B. Kecendrungan perspektif penafsiran

C. Langkah penafsiran

IV. Qishah Menurut Al-Maraghi

A. Tafsir Al-Maraghi atas ayat tentang Qishas

B. Pandangan Al-Maraghi tentang Qishas

V. Kesimpulan

Daftar Pustaka

Demikian pengantar dari kami, untuk lebih sempurnanya makalah ini, tanggapan serta saran perbaikan dari semua pihak sangat kami harapkan, serta atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Penyusun

I. Mengenal Ahmad Mushthafa Al-Maraghi

A. Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Ahmad Musthafa bin Muhammad bin Abdul Mun’im al-Maraghi. Ia berasal dari keluarga yang sangat tekun dalam mengabdikan diri kepada ilmu pengetahuan dan peradilan secara turun-temurun, sehingga keluarga mereka dikenal sebagai keluarga hakim. Beliau lahir di Kota Marāghah, sebuah kota kabupaten di tepi barat Sungai Nil sekitar 70 Km. di sebelah selatan Kota Kairo, pada tahun 1300 H./1883 M. kota kelahirannya inilah yang melekat dan menjadi nisbah bagi dirinya, bukan keluarganya. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa nama al-Maraghi tidak mutlak menunjukkan kepada dirinya. Ia wafat pada usia 69 tahun (1371 H./1952 M.) di Hilwan, sebuah kota kecil di sebelah selatan kota Kairo.

Ayahnya mempunyai 8 orang anak. Lima di antaranya laki-laki, yaitu Muhammad Musthafa al-Maraghi, Ahmad Musthafa al-Maraghi, Abdul Aziz al-Maraghi, Abdullah Musthafa al-Maraghi, dan Abdul Wafa’ Mustafa al-Maraghi. Hal ini perlu dijelaskan sebab seringkali terjadi salah kaprah tentang siapa sebenarnya penulis tafsir al-Maraghi di antara kelima putra Mustahafa itu. Hal yang sering membingungkan karena Muhammad Musthafa al-Maraghi (kakaknya) juga terkenal sebagai seorang mufassir. Memang benar bahwa sebagai mufassir Muhammad Musthafa juga melahirkan sejumlah karya tafsir, hanya saja ia tidak berhasil menafsirkan al-Qur'an secara menyeluruh. Ia hanya berhasil menulis tafsir beberapa bagian al-Qur'an, seperti surat al-Hujurat dan lain-lain. Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud di sini adalah Ahmad Musthafa al-Maraghi, adik kandung dari Muhammad Musthafa al-Maraghi.

B. Karir Intelektual

Pendidikan dasar Ahmad Musthafa al-Maraghi ditempuh pada sebuah Madrasah di desanya, tempat di mana ia mempelajari al-Qur'an, memperbaiki bacaan, dan menghafal ayat-ayatnya, sehingga sebelum mencapai umur yang ke-13 tahun ia sudah menghafal seluruh ayat al-Qur'an. Di samping itu, ia juga mempelajari ilmu tajwid dan dasar-dasar ilmu agama yang lain.

Pada tahun 1314 H./1897 M, al-Maraghi melanjutkan pendidikan ke Universitas al-Azhar di Kairo atas persetujuan orang tuanya, di samping mengikuti kuliah di Universitas Darul ‘Ulum Kairo. Dengan kesibukannya belajar di dua perguruan tinggi ini, al-Maraghi dapat disebut sebagai orang yang beruntung, sebab keduanya berhasil diselesaikan pada saat yang sama, tahun 1909 M.

Pada perguruan tinggi tersebut, al-Maraghi mendapatkan bimbingan langsung dari tokoh-tokoh ternama dan ahli di bidangnya masing-masing pada waktu itu, seperti: Syekh Muhammad Abduh, Syekh Muhammad Bukhait al-Muthi’i, Ahmad Rifa’i al-Fayumi, dan lain-lain. Merekalah antara lain yang menjadi narasumber bagi al-Maraghi, sehingga ia tumbuh menjadi sosok intelektual muslim yang menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama.

Setelah menamatkan pendidikannya di Universitas al-Azhar dan Darul ‘Ulum, ia terjun ke masyarakat, khususnya di bidang pendidikan dan pengajaran. Beliau mengabdi sebagai guru di beberapa madrasah dengan mengajarkan beberapa cabang ilmu yang telah dipelajari dan dikuasainya. Beberapa tahun kemudian, ia diangkat sebagai Direktur Madrasah Mu’allimin di Fayum, sebuah kota setingkat kabupaten yang terletak 300 Km. sebelah barat daya kota Kairo. Dan, pada tahun 1916, ia diminta sebagai Dosen Utusan untuk mengajar di Fakultas Filial Universitas al-Azhar di Qurthum, Sudan, selama empat tahun.

Pada tahun 1920, setelah tugasnya di Sudan berakhir, ia kembali ke Mesir dan langsung diangkat sebagai dosen Bahasa Arab di Universitas Darul ‘Ulum serta dosen Ilmu Balaghah dan Kebudayaan pada Fakultas Bahasa Arab di Universitas al-Azhar. Pada rentang waktu yang sama, al-Maraghi juga mengajar di beberapa madrasah, di antaranya Ma’had Tarbiyah Mu’allimah, dan dipercaya memimpin Madrasah Utsman Basya di Kairo. Karena jasanya di salah satu madrasah tersebut, al-Maraghi dianugerahi penghargaan oleh raja Mesir, Faruq, pada tahun 1361 H.

Dalam menjalankan tugas-tugasnya di Mesir, al-Maraghi tinggal di daerah Hilwan, sebuah kota satelit yang terletak sekitar 25 Km. sebelah selatan kota Kairo. Bahkan, ia menetap di sana sampai akhir hayatnya. Untuk mengenang jasa dan pengabdiannya, namanya kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan yang ada di kota tersebut.

C. Karya-karya yang lain

Al-Maraghi adalah salah seorang tokoh terbaik yang pernah dimiliki oleh dunia Islam. Dalam usianya yang selama 71 tahun, ia telah melakukan banyak hal. Selain mengajar di beberapa lembaga pendidikan yang telah disebutkan, ia juga memberikan sumbangsih yang besar terhadap umat ini lewat beragam karyanya. Salah satu di antaranya adalah Tafsīr al-Marāghi, sebuah kitab tafsir yang beredar di seluruh dunia Islam sampai saat ini. Adapun karya-karyanya yang lain, yaitu :

1. Al-Hisbat fi al-Islâm;

2. Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh;

3. Ulûm al-Balâghah;

4. Muqaddimat at-Tafsîr;

5. Buhûts wa Ārâ’ fi Funûn al-Balâghah; dan

6. Ad-Diyânat wa al-Akhlâq.

II. Mengenal Tafsir Al-Maraghi

A. Mesir pada saat penulisan

Situasi di Mesir pada saat penulisan Tafsir Al-Maraghi (1940-1950) sedang mengalami kebobrokan moral, penetrasi budaya asing, pemerintah yang tidak tegas, dominasi Inggris yang begitu kuat dalam negeri, dominasi perusahaan-perusahaan asing, dan lain-lain, telah membentuk sikap militansi sebagian rakyat Mesir. Krisis-krisis ini sebagiannya adalah hasil dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh para penguasa Mesir sebelum ini, dalam bidang pendidikan, hukum dan politik melalui suatu proses westernisasi. Sampai abad 19 Mesir mengirim misi pendidikan ke luar negeri dan mengundang perancang dan tenaga ahli Barat ke dalam negeri. Sistem pendidikan Barat yang sekuler barangsur-angsur menggeser pendidikan tradisional, dan hukum sekular Barat menggantikan hukum syariat yang telah berlaku selama berabad-abad.

Politik pemerintah semakin cenderung untuk memelihara kepentingan Barat. Terusan Suez sebagai jalan perhubungan penting antara Barat dan Timur berada di tangan asing. Di Palestina kekuatan Zionis internasional semakin mengkristal untuk mendirikan negara nasional Yahudi yang mengancam eksistensi umat Islam dan bangsa Arab. Sementara itu, para penguasa Arab lebih banyak membuat kebijakan yang dapat mempertahankan kepentingan mereka daripada kepentingan rakyat. Di pihak lain, Al-Azhar sebagai lembaga keagamaan tertua di dunia Islam bersikap melempem dan sulit untuk dijadikan panutan bagi sebuah pembaruan yang sejalan dengan semangat Islam.

Tahun 1948 sebagian rakya Mesir turut serta dalam perang Palestina. Mereka masuk dalam angkatan perang khusus.

Kondisi warga Mesir tak terlepas dari konflik yang berlangsung di Palestina tahun 1948. Usai deklarasi pembentukan negara Israel, orang-orang Yahudi mencaplok sebagian besar wilayah Palestina. Berdasarkan mandat Inggris, wilayah itu akhirnya terbagi tiga: wilayah Israel, kawasan Tepi Barat yang dikuasai Yordania, serta Jalur Gaza (Mesir). Akibat perang Arab-Israel, negara Yahudi itu merampas lebih banyak wilayah kediaman warga Arab Palestina

B. Proses Penulisan

Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Musthafa al-Maraghi ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang dosen, justru kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu satu sama lain. Menurut sebuah sumber, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama empat jam sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira Jam 3.00, al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah, lalu dilanjutkan dengan menulis tafsir ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya, melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam.

Pembahasan kitab tafsir ini mudah dipahami dan enak dicerna, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam memahami Al-Qur’an, serta relevan dengan problematika yang muncul pada masa kontemporer.

C. Sekilas tentang Tafsir Al-Maraghi

Tafsir al-Maraghi merupakan hasil kerja keras Ahmad Musthafa al-Maraghi selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M. Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggung jawab Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur’ani sebagai alternatif. tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari tangannya tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.

Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan yang pertama ini, tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz al-Qur'an. Lalu, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Yang banyak beredar di Indonesia adalah tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.

Tasfir Al-Maraghi termasuk dari jenis Tafsir kontemporer, disebut kontemporer bukan berarti dengan ra'yu dan akal semata. Melainkan tetap merujuk pada kaidah-kaidah penafsiran yang telah ditetapkan para 'ulama. Hanya lebih simple/diringkas dan langsung pada inti kesimpulan dari ayat-ayat yang dimaksud.

III. Karakteristik Penafsiran Tafsir Al-Maraghi

A. Sumber penafsiran yang dominan

Sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada muqaddimahnya :

"Maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat disana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Dan, menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan Kitabullah serta lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar".

Ungkapan al-Maraghi di atas menegaskan bahwa riwayat-riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur'an adalah riwayat yang shahih, dalam arti yang dapat digunakan sebagai hujjah, di samping menggunakan kaidah bahasa Arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendekiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ini berarti dilihat dari sumbernya Al-Maraghi menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.

Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, sungguh tidak mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat yang sangat terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sangat cepat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan-penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat diterima. Mungkin dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin sampai sekarang banyak penafsiran Al-Qur'an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.

B. Kecendrungan perspektif penafsiran

Dalam menyusun tafsirnya. Al-Maraghi tidak terlepas dari pengaruh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, masing-masing Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, merupakan guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Pengaruh itu dapat dilihat pada corak penafsirannya yang bernuansa modern. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha

Dari sudut metodologi, al-Maraghi mengembangkan metode baru. Al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara "uraian global" dan "uraian rincian", sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijmāli dan ma’na tahlīli.

C. Langkah penafsiran

Terlepas dari apakah Tafsir Al-Maraghi banyak dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang lain, secara deskriptif sistematika dan langkah-langkah yang digunakan di dalamnya adalah sebagai berikut :

1. Menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan; Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut menurut tertib ayat mulai dari surah al-Fātihah sampai surah an-Nās.

2. Penjelasan kosa kata (syarh al-mufradāt); Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.

3. Pengertian umum ayat (Ma’na al-Ijmāli); Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.

4. Penjelasan (al-Īdhāh); Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbāb an-Nuzūl jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-ithnāb), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.

IV. Qishah Menurut Al-Maraghi

A. Tafsir Al-Maraghi atas ayat tentang Qishas

AlQisās : secara bahasa berarti adil atau persamaan. Dan dari kata ini, terdapat kata miqash (gunting), karena kedua sisinya adalah sama. Juga Al-Qishah (kisah) karena kisah itu sama dengan yang diceritakan.

Telah diwajibkan atas kamu berlaku adil dan seimbang di dalam melaksanakan hukum qisas. Tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya kuat terhadap orang-orang yang lemah, yaitu mereka yang menuntut secara berlebihan, karena membunuh seorang, mereka menuntut balasan lebih, yang membunuh hamba, balasannya diminta seorang tuan, padahal tuan tidak mengerti apa yang dilakukan hambanya.

Kemudian Allah menjelaskan pengertian sebanding ini dengan firmanNya :




Orang yang merdeka dihukum qishash karena telah membunuh orang yang merdeka, tanpa penundaan atau maksud-maksud berbuat zalim, hukum qishash dilakukan untuk pelaku pembunuhan. Jadi bukan kepada salah seorang dari kabilahnya atau salah seorang keluarganya.




Barang siapa yang memberi maaf atas perbuatan pembunuhan yang dilakukan, maka sekalipun pemberi maaf itu hanya seorang di antara ahli waris terbunuh, hakim harus memperhatikan pemberian maaf itu, dan gugurlah hukum qishash. Hak memberikan maaf ini diserahkan sepenuhnya kepada ahli waris terbunuh.




Hukum yang telah Kami (Allah) syariatkan kepada kalian, yakni memberi maaf kepada pelaku pembunuhan dan meminta diyat, adalah kehendak dan rahmat Tuhan kepada kalian.

B. Pandangan Al-Maraghi tentang Qishas

Hukum qishash terhadap kejahatan pembunuhan merupakan ketentuan hukum yang tak dapat ditawa lagi menurut agama Yahudi yang tersebut dalam Kitab Keluaran 19. Dan hukum diyat juga tidak bisa diubah lagi menurut agama Nasrani. Sedang bangsa arab kuno menghukum pembunuhan ini tergantung dari kuat atau lemahnya kabilah. Sering terjadi suatu kabilah menolak melakukan qishash orang yang terhukum, tetapi lebih memilih rais (kepala) kabilah sebagai penggantinya. Terkadang, mereka lebih memilih sepuluh orang sebagai pengganti seorang yang dibunuh. Terkadang, mereka meminta seorang laki-laki sebagai pengganti wanita yang dibunuh, dan minta seorang merdeka sebagai ganti hamba yang terbunuh.

V. Kesimpulan

a. Telah diwajibkan atas kamu berlaku adil dan seimbang di dalam melaksanakan hukum qisas. Tidak seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang merasa dirinya kuat terhadap orang-orang yang lemah, yaitu mereka yang menuntut secara berlebihan, karena membunuh seorang, mereka menuntut balasan lebih, yang membunuh hamba, balasannya diminta seorang tuan, padahal tuan tidak mengerti apa yang dilakukan hambanya.

b. Orang yang merdeka dihukum qishash karena telah membunuh orang yang merdeka, tanpa penundaan atau maksud-maksud berbuat zalim, hukum qishash dilakukan untuk pelaku pembunuhan. Jadi bukan kepada salah seorang dari kabilahnya atau salah seorang keluarganya.

c. Barang siapa yang memberi maaf atas perbuatan pembunuhan yang dilakukan, maka sekalipun pemberi maaf itu hanya seorang di antara ahli waris terbunuh, hakim harus memperhatikan pemberian maaf itu, dan gugurlah hukum qishash. Hak memberikan maaf ini diserahkan sepenuhnya kepada ahli waris terbunuh.

Daftar Pustaka

a. Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, PT. Karya Toha Putra, Semarang, 1993.

b. Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhajuhum. Republika Newsroom, Rabu, 22 April 2009.

c. az-Zarkaly, Al-A’lam. Republika Newsroom, Rabu, 22 April 2009.

d. Ibn Hajar, At-Tafsīr al-‘Ilmy li al-Qur’ān fi al-Mīzān. Republika Newsroom, Rabu, 22 April 2009.

1 komentar:

  1. wah dah selesai nich skripsinya, dah siap mendapat gelah S. ThI.... tambahin dwonx referensinya biar seru... hehe...

    BalasHapus