Kamis, 20 Agustus 2009

TAFSIR SURAH ADH DHUHA

TAFSIR SURAH ADH DHUHA

Pengantar

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Kami bersaksi tiada tuhan selain Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Tafsir Tahlili IV, kami telah menyelesaikan makalah yang bertema Tafsir Surah Adh Dhuha”.

Sistematika penyusunan makalah ini sebagai berikut :

A. Pendahuluan

B. Inti Surah Adh Dhuha

C. Tinjauan Ayat

D. Kesimpulan

E. Daftar Pustaka

Demikian pengantar dari kami, untuk lebih sempurnanya makalah ini, tanggapan serta saran perbaikan dari semua pihak sangat kami harapkan, serta atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Penyusun

A. Pendahuluan

Surat Ad-Dhuha termasuk surat Makkiyah. Surat ini terdiri atas 11 ayat diturunkan sesudah surat Al-Fajr. Nama Adh-Dhuhaa diambil dari kata yang terdapat pada ayat pertama, artinya : waktu matahari sepenggalahan naik.

Kata Ad-Dhuha secara umum digunakan untuk sesuatu yang nampak yang jelas. Langit, karena terbuka dan tampak jelas dinamai dhahiyyah. Matahari ketika naik sepenggalah, cahayanya memancar menerangi keseluruh penjuru dunia. Namun, ia tidak terlalu terik, sehingga tidak mengakibatkan gangguan sedikitpun. Bahkan, panasnya memberikan kesegaran, kenyamanan dan kesehatan. Matahari tidak membedakan antara lokasi satu dengan yang lainnya ia akan menyinari semuanya. Kalaupun ada sesuatu yang tidak disentuh oleh cahayannya, maka itu bukan disebabkan oleh matahari, tetapi karena posisi lokasi itu sendiri yang terhalangi oleh sesuatu. Di sini Allah mengambarkan kehadiran wahyu yang selama ini diterima oleh Nabi SAW sebagai kehadiran cahaya matahari yang sinarnya terang dan jelas, menyegarkan dan menyenangkan, dan menyegarkan.

Tema surat ini adalah tentang sanggahan terhadap dugaan yang menyatakan bahwa Allah telah meningalkan Rasulullah SAW akibat terhentinya wahyu beberapa lama. Ketidakhadiran wahyu al-Qur’an ini melahirkan berbagai tanggapan masyarakat bahkan dampak negatif dalam jiwa nabi sendiri, beliau menjadi gelisah. Betapapun banyaknya perbedaan riwayat, namun yang dapat dipastikan adalah bahwa surat itu turun sebagai bantahan terhadap dugaan tersebut, sekaligus hiburan kepada Nabi saw, menyangkut masa depan yang diembannya.

Ada beberapa pendapat tentang berapa lama nabi menanti kehadiran wahyu. Imam Bukhori menyatakan 2 atau 3hari, sedang Ibnu Jarir ath-Thobari mendukung riwayat yang menyatakan 12 hari. Ada juga riwayat yang menyatakan 15 sampai 40 hari tentu semakin lama jarak keduanya semakin besar kegelisahan dan tanggapan negatif.

Surat ini merupakan awal surat-surat yang dinamai Qishar al-Mufahshal (surat-surat pendek). Pada saat surat ini turun, Nabi Muhammmad SAW, bertakbir. Karena itulah, para ulama menganjurkan agar setiap selesai membaca surat ini dan surat-surat yang tercantum dalam mushaf sesudah Adhuha (sampai an-Naas) agar terlebih dahulu bertakbir, baik ketika di dalam sholat maupan di luar sholat.

B. Inti Surah Adh Dhuha

· Allah s.w.t. sekali-kali tidak akan meninggalkan Nabi Muhammad s.a.w

· Isyarat dari Allah s.w.t. bahwa kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. dan da'wahnya akan bertambah baik dan berkembang.

· Larangan menghina anak yatim dan menghardik orang-orang yang minta-minta dan perintah menyebut-nyebut nikmat yang diberikan Allah sebagai tanda bersyukur.

· Surat Adh Dhuhaa, menerangkan tentang bimbingan pemeliharaan Allah s.w.t. terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dengan cara yang tak putus-putusnya dan mengandung pula perintah kepada Nabi supaya mensyukuri segala nikmat itu.

C. Tinjauan Ayat

Demi waktu matahari sepenggalahan naik

dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Rasulullah merasa kurang enak badan sehingga tidak shalat malam 1 atau 2 malam. Datanglah seorang wanita yang berkata kepadanya: "Hai Muhammad aku melihat syaithanmu (yang dimaksud syaitan oleh wanita itu ialah Jibril), telah meninggalkan engkau." Maka Allah menurunkan ayat ini (S.93:1-3) yang menegaskan bahwa Allah tidak membiarkan Muhammad dan tidak membencinya. (Diriwayatkan oleh as-Saykhani dan lainnya yang bersumber dari Jundub.)

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa Jibril untuk beberapa lama tidak datang pada Nabi SAW. Berkatalah kaum musyrikin: "Muhammad telah ditinggalkan." Maka turunlah ayat ini (S.93:1-3) yang membantah ucapan-ucapan mereka. (Diriwatkan oleh Sa'id bin Mansyur dan Al-Faryabi yang bersumber dari Jundub.)

Ulama tafsir mengatakan bahwa di dalam kedua sumpah tersebut terdapat isyarat waktu turunnya wahyu dan waktu berhentinya. Harus ada masa istirahat, karena wahyu selalu disertai kepayahan. Tidak ada tempat untuk meninggalkan atau membenci. Kenyataannya akhir itu lebih baik dari permulaan.[1]

Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu

Maksudnya: ketika turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad s.a.w. terhenti untuk sementara waktu, orang-orang musyrik berkata: "Tuhannya (Muhammad) telah meninggalkannya dan benci kepadanya."[2] Maka turunlah ayat ini untuk membantah perkataan orang-orang musyrik itu

Para ulama dalam menjelaskan makna ayat ini mengajak siapapun yang menduga Nabi Muhammad SAW telah ditinggalkan Tuhannya, untuk memperhatikan keadaan matahari yang disusul oleh kehadiran malam, serta malam yang disusul dengan kedatangan siang. Kehadiran malam tidak berarti matahari tidak akan terbit lagi. Demikian pula sebaliknya. Nah, jika demikian, ketidakhadiran wahyu beberapa saat, tidak dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa ia tidak akan lagi hadir atau Nabi Muhammad SAW telah ditinggalkan Tuhannya.

Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)

Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan Nabi Muhammad s.a.w. itu akan menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan kesulitan-kesulitan. Ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhirat dengan kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ula dengan arti kehidupan dunia.

Setelah Allah menegaskan bahwa Allah tidak akan meninggalkan Nabi Muhammad SAW ayat diatas melanjutkan penyampaian berita gembira kepada beliau bahwa: Dan Aku bersumpah bahwa sungguh akhirat yakni masa yang akan datang lebih baik bagimu wahai Nabi Muhammad SAW.

Ayat diatas tidak menjelaskan karunia apa yang dianugrahkan Allah kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagian ulama menetapkan jenis atau bentuk anugrah itu. Ada yang berkata bahwa anugrah tersebut adalah seribu istana surga, yang dibangan dari mutiara. Ada juga yang menafsiri dengan kemenangan-kemenangan Rasulululah SAW dan khalifah-khalifah beliau dalam peperangan. Ada juga yang menyatakan behwa anugrah tersebut adalah ampunan Allah kepada beliau yang berdosa dan yang lainnya.

Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu , lalu (hati) kamu menjadi puas

Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

Keyatiman yang biasanya dapat menjadi faktor negative bagi perkembangan jiwa dan kepribadian seseorang, sedikitpun tidak memberi dampak negative kepada Nabi Muhammad. Menurut para pakar, biasanya yang membentuk kepribadian seseorang adalah ibu, ayah, sekolah, bacaan dan lingkungannya. Dalam kehidupan Rasulullah tidak satupun di antara keempat faktor di atas yang mempengaruhi atau menyentuh kepribadian beliau. Beliau sudah tidak punya ayah. Sejak kecil sudah diasuh Halimah Sa’diyyah lalu kakek dan pamannya. Beliau juga tidak bisa membaca apalgi belajar di sekolah. Tapi beliau mendapatkan perlindungan sekaligus bimbingan langsung dari Allah.

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk

Yang dimaksud dengan bingung di sini ialah kebingungan untuk mendapatkan kebenaran yang tidak bisa dicapai oleh akal, lalu Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad s.a.w. sebagai jalan untuk memimpin ummat menuju keselamatan dunia dan akhirat.

Kata Dhallan berasal dari kata dhalla yadhillu artinya kehilangan jalan atau bingung tidak mengetahui arah. Makna ini berkembang sehingga artinya binasa atau terkubur. Kemudian Rasulullah SAW mendapatkan hidayah dan risalah agama. Maka dengan hidayah agama tersebut beliua bukan saja mendapatkan jalan terang untuk dirinya melainkan juga memberi jalan terang bagi umat manusia.

Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan

Kata ‘Ailan berasal dari kata ‘ilah yang artinya kemiskinan atau kebutuhan yang dapat juga diartikan keluarga, karena anak dan keluarga menjadi beban bagi seseorang yang dapat mengantarkan seseorang pada kebodohan dan kemiskinan. Kata ‘Ailan dapat diartikan sebagai seseorang yang butuh, apapun penyebabnya.

Kata Aghna berasal dari kata ghina yang biasanya diartikan dengan kekayaan. Sebagian ulama menyatakan bahwa kekayaan yang dimaksud pada ayat di atas adalah kekayaan materi. Menurut mereka, Nabi telah diberi kekayaan materi (harta benda) untuk hidup Nabi pada masa kecil melalui Abu Thalib, kemudian ketika dewasa melalui isterinya, Khodijah lalu setelah Khadijah wafat melalui sahabat beliau Abu Bakar. Setelah hijrah, Rasul SAW memperoleh kekayaan material melalui kebaikan penduduk Madinah disusul dengan harta rampasan perang.

Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang

Kata taqhar berasal dari kata qoharo yang artinya menjinakkan dan menundukkan untuk mencapai tujuannya atau mencegah lawan mencapai tujuannya. Manusia yang merasa memiliki kemampuan demikian sering kali berlaku sewenang-wenang. Kebiasaan masyarakat kota Mekah saat itu memang mereka tidak mau memberikan pelayanan terbaik pada anak-anak yatim. Mereka tidak ramah kepada anak-anak yang kehilangan perlindungannya.

Tuntunan ayat ini menyatakan bahwa yang pertama dan yang paling utama dituntut terhadap anak-anak yatim adalah bersikap baik dan menjaga perasaan mereka. Menyakiti perasaaan anak kecil dapat menimbulkan komplek kejiwaan yang terbawa hingga dewasa, dampaknya jauh lebih buruk dari pada kekurangan material.

Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya

Kata Assail berasal dari kata saala yang artinya meminta. At-Thobari mengartikan kata sail adalah seseorang yang membutuhkan sesuatu baik berupa informasi tenaga atau materi. Kata tanhar hanya ditemukan dua kali dalam Al Qur’an yang mengandung arti larangan membentak ibu bapak. Tanhar dalam kalimat ini dapat diartikan penyampaian atau pemberian secara kasar atau buruk dengan kata menghardik atau memperlakukan secara kasar.

Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan

Tahadduts bin ni’mah merupakan istilah yang sudah lazim dipakai untuk menggambarkan kebahagiaan seseorang atas kenikmatan yang diraihnya. Atas anugerah itu ia perlu menceritakan atau menyebut-nyebut dan memberitahukannya kepada orang lain sebagai implementasi rasa syukur yang mendalam. Perintah untuk menceritakan dan menyebut-nyebut kenikmatan pada ayat di atas, pertama kali memang ditujukan khusus untuk Rasulullah saw. Namun, perintah dalam ayat ini tetap berlaku umum berdasarkan kaedah “amrun lir Rasul Amrun li Ummatihi” (perintah yang ditujukan kepada Rasulullah, juga perintah yang berlaku untuk umatnya secara prioritas).

Ibnu Katsir mengemukakan dalam kitab tafsirnya, berdasarkan korelasi ayat per ayat dalam surah Ad-Dhuha, “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberimu petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan. Oleh karena itu, siarkanlah segala jenis kenikmatan tersebut dengan memujinya, mensyukurinya, menyebutnya, dan menceritakannya sebagai bentuk i’tiraf (pengakuan) atas seluruh nikmat tersebut.”

Para ulama tafsir sepakat bahwa pembicaraan ayat ini dalam konteks mensyukuri nikmat yang lebih tinggi dalam bentuk sikap dan implementasinya. Az-Zamakhsyari, misalnya, memahami tahadduts bin ni’mah dalam arti mensyukuri segala nikmat yang dianugerahkan oleh Allah dan menyiarkannya. Lebih luas lagi Abu Su’ud menyebutkan, tahadduts bin ni’mah berarti mensyukuri nikmat, menyebarkannya, menampakkan nikmat, dan memberitahukannya kepada orang lain.

Dalam konteks itu, Ibnul Qayyim dalam bukunya Madrijus Salikin mengemukakan korelasi makna antara memuji dan menyebut nikmat. Menurut beliau, memuji pemberi nikmat bisa dibagikan dalam dua bentuk: memuji secara umum dan memuji secara khusus. Memuji secara umum adalah dengan memuji sang pemberi nikmat sebagai yang dermawan, baik dan luas pemberiannya. Sedangkan memuji yang bersifat khusus adalah dengan memberitahukan dan menceritakan kenikmatan tersebut. Sehingga tahadduts bin ni’mat merupakan bentuk tertinggi dari memuji Allah Zat Pemberi nikmat.

Imam al-Qurtubi menyampaikan bahwa nikmat atau anugrah tersebut tidak hanya hal-hal yang bersifat materi, tetapi mencakup juga immaterial seperti nama baik dan kedudukan, bahkan juga menyangkut pelaksanaan ibadah (agama). Agama atau petunjuk-petunjuk Allah juga dinamai nikmat. Karena apapun kelebihan seseorang itu semua tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan nikmat agama. Sebaliknya, orang yang telah memperoleh nikmat agama, maka betapapun beratnya beban kesulitan yang dipikulnya, semua akan terasa ringan.

Selanjutnya, menurut para ulama ada tiga nikmat yang diperoleh Rosulullah SAW, yaitu:

Pertama : beliau yang tadinya yatim kemudian dianugrahi perlindungan. Oleh karena itu beliau diperintahkan untuk menyayangi anak yatim.

Kedua : beliau yang tadinya dalam keadaan butuh, tidak berkecukupan kemudian memperoleh kecukupan dan rasa puas dan sebagai tanda syukur, beliau diperintahkan untuk tidak menolak apalagi menghardik siapapun yang meminta atau bertanya.

Ketiga : beliau yang tadinya bingung tidak mengetahui arah yang benar kemudian mendapat petunjuk-petunjuk agama, atas dasar anugrah ini beliau berkewajiaban menyampaikan petunjuk-petunjuk agama tersebut kepada orang lain.

D. Kesimpulan

· Allah s.w.t. sekali-kali tidak akan meninggalkan Nabi Muhammad s.a.w

· Isyarat dari Allah s.w.t. bahwa kehidupan Nabi Muhammad s.a.w. dan da'wahnya akan bertambah baik dan berkembang.

· Larangan menghina anak yatim dan menghardik orang-orang yang minta-minta dan perintah menyebut-nyebut nikmat yang diberikan Allah sebagai tanda bersyukur.

· Surat Adh Dhuhaa, menerangkan tentang bimbingan pemeliharaan Allah s.w.t. terhadap Nabi Muhammad s.a.w. dengan cara yang tak putus-putusnya dan mengandung pula perintah kepada Nabi supaya mensyukuri segala nikmat itu.

E. Daftar Pustaka

a. Ghazali, Syeikh Muhammad, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2005.

b. Redaksi Majalah Media Ummat, Wahyu Bagaikan Matahari di Pagi Hari, Jl. Wilis 11 Malang Jawa Timur Telp. 0341. 553273. http://www.mediaummat.com/index.php?categoryid =19.

c. Ibnul Qayyim, Madrijus Salikin, http://www.dakwatuna.com/2008/tahadduts-bin-nimah-ceritakan-nikmat-yang-anda-dapat/.

d. Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, http://www.dakwatuna.com/2008/tahadduts-bin-nimah-ceritakan-nikmat-yang-anda-dapat/.

e. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Gema Insani, Jakarta 1999.

f. Al-Thabari, Ibn Jarir, Jami’ Al-Bayan fi tafsir, http://www.dakwatuna.com/2008/tahadduts-bin-nimah-ceritakan-nikmat-yang-anda-dapat/.



[1] Ghazali, Syeikh Muhammad, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an, Gaya Media Pratama, Jakarta. 2005

[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya, PT. Syaamil Cipta Media, Bandung. 2006

2 komentar: