Kamis, 20 Agustus 2009

TAFSIR SURAH AL-A’RĀF

TAFSIR SURAH AL-A’RĀF

AYAT 204- 206

1. Pendahuluan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan serta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan jiwa dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah SWT, tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barang siapa disesatkan-Nya, tak seorang pun dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Sehubungan dengan tugas mata kuliah Tafsir-I, kami telah menyelesaikan makalah yang berjudul Tafsir Surah Al-A’rāf ; ayat 204 - 206.

Makalah ini disusun dengan mengacu kepada referensi-referensi yang ada, dengan susunan isi makalah antara lain :

1. : Pendahuluan

2. : Surah Al-A’rāf ; ayat 204

3. : Surah Al-A’rāf ; ayat 205

4. : Surah Al-A’rāf ; ayat 206

5. : Kesimpulan

6. : Daftar Pustaka

2. Surah Al-A’rāf ; ayat 204

Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat

Kosa Kata dalam Ayat

Simaklah dengan tekun atau al-istimā’ (menyimak), bersifat lebih khusus dari pada as-samu’ (mendengar), karena al-istimā’ dilakukan dengan niat dan sengaja, yakni dengan mengarahkan indera pendengaran kepada pembicaraan untuk memahaminya. Sedangkan as-samu’ bisa terjadi tanpa sengaja, mendengar suara disekitarnya, yang terkadang suara itu dicerna dan terkadang berlalu begitu saja.

Al-Insāt, diam untuk mendengarkan sehingga tidak ada gangguan untuk merekam segala yang dibacakan.

Asbaabun Nuzul

Abu Hurairah ra. mengatakan : ” Firman Allah swt. : Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang”, diturunkan sehubungan dengan meninggikan suara dengan keras sewaktu bermakmum shalat di belakang Nabi saw.”

Ibnu Abu Hatim mengetengahkan hadits serupa melalui Abu Hurairah ra. yang telah mengatakan: “Para sahabat selalu bercakap-cakap sewaktu dibacakan Al-qur’an”, maka turunlah firman Allah swt. : ”Dan apabila dibacakan Al-qur’an . . . . ”(Al-A’raaf, 7:204).

Ibnu Jarir pun mengetengahkan lagi hadits serupa melalui Abdullah Ibnu Mughaffal. Sebagaimana ia pun mengetengahkan hadits yang serupa melalui Ibnu Mas’ud.

Ibnu Jarir mengetengahkan hadits ini pula melalui Az Zuhri. Az Zuhri mengatakan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pemuda dan kalangan sahabat Anshar, bahwa manakala Rasulullah saw. membaca sesuatu dari Al-qur’an, maka pemuda tersebut membarengi bacaan serupa menurutinya.

Sa’id ibnu Manshur di dalam kitab Sunannya mengatakan, bahwa telah bercerita kepada kami Abu Mi’syar melalui Muhammad ibnu Ka’ab. Muhammad ibnu Ka’ab mengatakan, bahwasanya para sahabat itu jika menerima pelajaran Al-qur’an dari Rasulullah saw., mereka membarengi apa yang diucapkan oleh Rasulüllah saw., sehingga turunlah ayat ini. Menurut hemat kami[1], lahiriah makna ayat menunjukkan bahwa ayat ini diturunkan di Madinah.

Abu Musa Al-Asy’ari ra. berkata bahwa Nabi saw. Bersabda : ” Sesungguhnya diadakan imam itu untuk diikuti, maka jika ía telah takbir maka takbirlah kalian, dan bila ia membaca maka dengarkan dan perhatikan. (HR. Muslim).

Ibnu Jabir ra. meriwayatkan dari Basyir bin Jabir berkata, Ibn Mas’uud ra. bershalat, lalu ia mendengar orang-orang membaca keras di belakang imam, maka ketika selesai shalat ia berkäta, “Apakah belum masanya untuk kalian pahami, apakah kalian belum menyadari ayat :

……….

sebagaimana yang diperintahkan Allah kepadamu, yakni supaya kalian mendengarkan bacaan imam dan memperhatikannya”.

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. selesai shalat yang membaca keras di dalamnya lalu bersabda: ”Apakah ada orang yang membaca Al-qur’an bersamaku tadi?” Seorang menjawab, “Ya. Ya Rasulullah”. Maka sabda Nabi saw. ”mengapa aku merasa ada yang menentang aku dalam bacaan Al-qur’an”. Karena itulah maka orang-orang berhenti tidak membaca Al-qur’an bersama Nabi saw. dalam shalat yang dibacanya dengan suara keras. (R. Ahmad. At-tirmidzi).

Tafsir dan Penjelasannya

Ayat ini menunjukkan bahwa mendengar Al-qur’an dan diam ketika ia dibaca adalah wajib, baik ketika dibaca dalam shalat maupu diluar shalat. Demikian menurut riwayat dari Hasan Al-Basri. Hanya saja kebanyak ulama mewajibkan hal itu di masa nabi saja, ketika Al-qur’an itu dibacakan oleh Nabi saw. karena merupakan penyampaian dari wahyu yang telah diturunkan kepadanya dan terkadang dalam rangka memberi nasehat atau bimbingan.

Sedangkan masa setelah wafatnya nabi, hanya diwajibkan dalam keadaan sedang shalat dan khutbah, mendengarkan bacaan imam dan khatibnya, karena inilah yang menjadi tujuan dan wajib dalam shalat. Apabila diwajibkan diluar shalat dan khutbah, maka akan terjadi kesulitan besar, karena orang yang sedang sibuk dengan ilmu harus meninggalkan ilmunya, hakim harus meninggalkan putusan hakimnya dan siapapun harus meninggalkan pekerjaan.[2]

Abdullah bin Almubarak dari Yunus dan Azzuhri berkata. “Makmum yang di belakang imam tidak harus membaca apa yang dibaca keras oleh imam, cukup bagi mereka bacaan imam meskipun suara imam tidak terdengar oleh mereka tetapi makmum tetap membaca perlahan dalam hatinya apa yang dibaca perlahan oleh imam, dan tidak layak bagi makmum membaca apa yang dibaca keras oleh imamnya.

Dan ini pendapat sebagian ulama bahwa makmum tidak wajib membaca dalam shalat yang imam membaca keras. Kecuali Imam Syafi’i yang mewajibkan membaca Fatihah dalam saat-saat diamnya imam, ini juga pendapat sebagian sahabat dan tabi’in dan ulama yang sesudah mereka.

Abu Hanifah dan Abmad bin Hanbal tidak mewajibkan makmum membaca apa pun di belakang imam berdasarkan hadits : Siapa yang mempunyai imam (yakni menjadi makmum) maka bacaan imamnya itu juga sebagai bacaan baginya.

Ulama berbeda pendapat tentang kapan diwajibkan diam untuk mendengar Al-qur’an. Apakah setiap saat dia dibacakan atau khusus pada waktu shalat atau ditambah dengan khutbah Jumat.[3] Pendapat pertama, di antara mereka berkata: ”Maksud wajib mendengar Al-qur’an adalah pada waktu shalat saja. Alasannya para sahabat terdahulu ketika Rasulullah membaca Al-qur’an dalam shalat selalu mengikutinya di akhir bacaan yang dibaca. Nabi mengucap :

dengan menyebut namaAllah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang

Mereka pun mengucap :

Nabi mengucapkan :

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam

Mereka pun mengucap :

dan seterusnya, maka Allah memperingati mereka untuk membiarkan Rasulullah membaca dan mereka menyimak tanpa mengikuti bacaan itu.

Pendapat kedua sebagian ulama menyatakan : diam ketika Al-qur’an dibaca terjadi pada waktu shalat dan khutbah Jumat atau dua hari raya. Karena ketiga khutbah itu berisikan ayat suci Al-qur’an walaupun ayatnva lebih sedikit dibanding penjabaran khatib. Yang lain berpendapat bahwa diam waktu khutbah diwajibkan dengan alasan hadis Nabi Saw: “Apabila kamu berkata “diam” kepada temanmu sedangkan imam sedang berkhutbah pada hari Jumat maka shalatmu batal.” (HR Imam Malik, Ahmad, Baihaqi, Abu Daud dan Nasai dan Abu Hurairah) Jadi, diam waktu khutbah alasannya dari hadis Nabi Saw bukan dan ayat utama Al-A’raaf ini.

Pendapat ketiga berkata: “Bahwa menyimak Al-qur’an diwajibkan kapan dan di mana pun saat Al-qur’an dibacakan. Karena mendengarnya merupakan penghormatan bagi kalam Allah, pendapat ini dipelopori Abu Abdullah al-Husain. Dia berkata: “Apabila Al-qur’an dibacakan baik pada waktu shalat, khutbah atau kapan saja, maka diamlah. Karena Allah ingin membedakan Al-qur’an dengan perkataan makhluk.”

Sebagian ulama berkata, yang dimaksud dengan menyimak di sini bukanlah sekedar mendengar dengan telinga tapi menyimak dengan arti mengikuti apa yang disebutkan Al-qur’an. ”Bukankah seseorang di antara kamu berkata kepada yang lain ”Allah mengabulkan doamu?” kamu berkata demikian karena kamu mengetahui bahwa Allah mendengarmu. Tapi sebenarnya kamu bermaksud agar Allah menerima doa itu. Jadi. menyimak Al-qur’an mengandung pengertian untuk memenuhi permintaan Alquran. Kapan? Agar kita menerima rahmat dan sang Pengasih dan Penyayang.

agar kamu mendapat rahmat, diketahui bahwa ﻠﻌﻞ dan ﻋﺴﻰ artinya semoga. Ketika dikatakan maksudnya adalah permohonan. Jadi, ketika mendengar ﻠﻌﻞ dan ﻋﺴﻰ semoga terdetik di pikiranmu bahwa permohonan itu akan terwujud apalagi bila permohonan itu dipanjatkan kepada Allah dan berisikan permintaan yang mulia.

3. Surah Al-A’rāf ; ayat 205




”Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”

Kosa Kata dalam Ayat

At-Tadarru’ : menyatakan kerendahan diri, yakni kehinaan, kelemahan dan ketundukann kepada Allah.

Al-khīfah : dalam keadaan khawatir dan takut.

Dūnal Jahri : zikir tanpa meninggikan suara yang melebihi suara orang berbisik dan merahasiakan sesuatu, yakni zikir dengan suara pertengahan.

Al-Guduwwu : jamak dari gadwah, yaitu saat shalat fajar sampai terbitnya matahari.

Tafsir dan Penjelasannya

Kata ﻜﺮ ﻠﺬ ingat dan sebut adalah berjalannya sesuatu apabila dia berada di benak pikiran. Dia sebut dengan mengingat apa yang ada dalam pikiran. Apabila zikir di lisan dan tidak terdengar orang maka ini disebut zikir as-siir dan bila secara jahar/nyata maka disyaratkan tidak mengganggu orang lain.

Allah Ta’ala menyuruh berzikir pada pagi dan petang hari. Firman Allah Ta’ala, ”Dengan merendahkan diri dan rasa takut”, yakni sebutlah Tuhammu didalam dirimu dengan rasa suka dan rasa takut, dan dengan bersuara tanpa keras-keras. Oleh karena itu, Allah Ta’ala berfirman, ”Dan tanpa mengeraskan suara”.

Zikir dan ingat dalam dua keadaan[4] :

Pertama, dengan cara rendah hati. Karena terkadang seseorang mengingat orang lain dengan cara menyombongkan diri. Allah adalah Sang Pencipta yang harus dizikirkan dengan rendah hati dan penuh sembah dihadapan-Nya.

Kedua, dengan cara secara takut. Karena setiap kamu merendahkan diri di hadapan-Nya, niscaya Dia akan memuliakanmu. Untuk itu Allah memuji dengan menyebutnya hamba-Nya. Firman-Nya :

“Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya” (al-Israa’ : 1)

Demikianlah disunatkan berzikir dengan cara seperti itu, bukan dengan seruan mengeraskan suara. Abu Musa Al-Asy’ari ra. berkata : ”Orang – orang mengeraskan suaranya dalam berdoa pada suatu perjalanan. Maka Nabi saw. bersabda kepada mereka :

Wahai manusia, kasihanilah dirimu. Sesungguhnya kamu tidak memohon kepada yang tuli dan gaib. Yang kamu seru itu Maha Mendengar lagi sangat dekat. Dia lebih dekat kepada salah seorang di antara kamu daripada dekatnya kamu kepada leher hewan kendaraanmu”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Firman Allah swt :

Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”. (Al-Isra’, 17 : 110)

Allah Ta’ala menyuruh Nabi-Nya saw. jangan mengeraskan Al-qur’an agar tidak disimak oleh kaum musyrikin dan jangan pula merendahkannya sehingga tidak terdengar oleh para sahabat yang lain. Jadi, ambillah jalan tengah antara keras dan perlahan.[5]

Demikianlah, maka dalam ayat ini Allah swt. berfirman : Dan tanpa mengeraskan suara pada waktu pagi dan petang dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai”. Maksud ayat ini ialah memotivasi berzikir dan memperbanyaknya pada pagi dan petang hari agar tidak termasuk orang-orang yang lalai.

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari”.

(Ali Imran ; 41)

Firman-Nya :

Masalah pagi dan petang sering diungkapkan Al-qur’an, seperti :

Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang”.(Al-Ahzab : 42)




”Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang” (al-Fath : 9)




Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang” (An-Nuur : 36)

Kata pagi dan petang merupakan awal siang dan awal malam, kenapa awal pagi dan awal petang? Karena waktu-waktu ini sangat diharapkan untuk berzikir. Sebelum keluar rumah untuk bekerja dan beraktifitas di pagi hari, maka manusia memerlukan semangat dengan zikir untuk menyambut pekerjaan dan aktifitasnya, guna kehidupannya.

Begitupun petang (akhir siang), manusia memerlukan zikir untuk bersandar dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan guna melenyapkan segala kegundahan pada hari itu. Untuk itu jangan disibukkan dengan kehidupan dunia hingga melupakan Sang Pemberi Kehidupan.[6]

Waktu yang terbaik untuk zikir adalah pada awal siang dan pada akhirnya (pagi dan petang/sore), karena keduanya merupakan dua ujung siang. Maka siapa saja yang membuka siangnya dengan zikir kepada Allah, dan menutupnya dengan zikir pula. maka dialah yang lebih terjamin untuk senantiasa merasa takut kepada Allah dan tidak melupakannya sepanjang pagi dan petang. Dan zikir ini terletak pada shalat Ashar dan shalat Subuh, yaitu dua salat yang disaksikan para malaikat malam dan malaikat siang, lalu mempersaksikan di hadapan Allah apa yang mereka saksikan pada seorang hamba.

4. Surah Al-A’rāf ; ayat 206

”Sesungguhnya malaikat-malaikat yang ada di sisi Tuhanmu tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nya-lah mereka bersujud.”[7]

Kosa Kata dalam Ayat

Yusabbihūnahū : mensucikan Allah dari segala yang tidak patut bagi-Nya.

Yasjudūn : mereka bersujud, maksudnya shalat.

Tafsir dan Penjelasannya

Apabila kita semua diciptakan dari nol dan berstatus sama, mengapa orang-orang tertentu dikhususkan dengan selalu berada di sisi-Nya? Jangan dipahami kalau “di sisi-Nya” di sini dengan duduk di samping-Nya, karena tempat itu bersifat mutahayyiz/bias sedangan Allah tidak mutahayyiz di tempat tertentu. Jadi, maksud di sisi-Nya adalah memperoleh keutamaan, rahmat, kepemilikan dan bantuan.

Salah satu makhluk Allah yang mendapat keutamaan dan diciptakan khusus untuk bertasbih kepada-Nya serta tidak memiliki pekerjan lain, ialah dikenal malaikat ’alîn.[8]

Ketika Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud di hadapan Adam, Iblis menolak dan Allah berfirman :



Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk malaikat yang (lebih) tinggi?." (Shaad,38 : 75)


Malaikat ’Alin termasuk malaikat yang tidak diperintahkan untuk sujud. Tugas mereka diciptakan Allah hanya untuk bertasbih kepada-Nya. Allah menambah ciri-ciri tugas mereka dengan, tidaklah merasa enggan menyembah Allah dan mereka mentasbihkan-Nya dan hanya kepada-Nyalah mereka bersujud.

Para ulama berbeda pendapat tentang cara malaikat bersujud? Apakah artinya adalah kepasrahan atau shalat? Ataukah sujud dalam pengertian kita? Menurut kita sujud ialah kepasrahan yang paripurna kepada Allah pada waktu shalat, karena dia menundukkan suatu yang paling sempurna (wajah) di atas bumi.

Rasul mengajarkan bila menemui ayat sajadah dalam kitab suci Al-qur’an. Saat dibaca atau didengar maka kita harus menyambutnya sesempurna mungkin dengan cara bersujud yang diistilahkan dengan sujud tilawah.

Bila ingin sujud kepada Allah kapan pun sebagai ungkapan rasa syukur, maka lakukanlah sujud syukur, yaitu satu kali sujud seperti sujud tilawah. Sujud syukur ini disunatkan tiap mendapat nikmat atau hilangnya musibah.

5. Kesimpulan

Surah Al-A’rāf ; ayat 204

· Pada masa nabi saw. mendengar Al-qur’an dan diam ketika dibacakan adalah wajib karena merupakan penyampaian dari wahyu yang telah diturunkan kepadanya dan terkadang dalam rangka memberi nasehat atau bimbingan.

· Sedangkan masa setelah wafatnya nabi, hanya diwajibkan dalam keadaan sedang shalat dan khutbah, mendengarkan bacaan imam dan khatibnya, karena inilah yang menjadi tujuan dan wajib dalam shalat.

Surah Al-A’rāf ; ayat 205

· Zikir dan ingat kepada-Nya dalam dua keadaan ; rendah hati dan secara takut, tidak mengeraskan suara yang dapat menganggu orang lain dan tidak bersikap sombong.

· Waktu yang terbaik untuk zikir adalah pada awal siang dan pada akhir siang (pagi dan petang/sore), karena keduanya merupakan dua ujung siang. Siapa yang membuka siangnya dengan zikir kepada Allah, dan menutupnya dengan zikir pula. maka dialah yang lebih terjamin untuk senantiasa merasa ingat dan takut kepada Allah (tidak lalai).

Surah Al-A’rāf ; ayat 206

· “di sisi-Nya” dalam ayat ini bermaksud adalah memperoleh keutamaan, rahmat, kepemilikan dan bantuan dari Allah swt.

· Makhluk Allah yang mendapat keutamaan dan diciptakan khusus untuk bertasbih kepada-Nya ialah dikenal malaikat ’alîn.

6. Daftar Pustaka

a. Sya’rawi, Syekh Muhammad Mutawalli, Tafsir Sya’rawi. Tim Terjemahan Safir al-Azhar, Duta Azhar, Medan. 2006.

b. Al-Maragi, Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi. Mustafa al-Babi Al-Halabi, Mesir. 1394 H/1974 M.

c. Al-Mahalliy & As-Suyuthi, Imam Jalalud-din, Tafsir Al-Jalalain, Jilid-2. Sinar Baru Algelindo, Bandung. 1995.

ar-Rifa’i, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid-2. Gema Insani, Jakarta. 1999


[1] Tafsir Jalalain berikut Asbaabun Nuzuul, Imam Jalaluddin Al-Mahally & As-Suyuthi.

[2] Tafsir Al-Maragi, Ahmad Mustafa Al-Maragi.

[3] Tafsir Sya’rawi Akhbar al-Yaum, Kairo. Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi.

[4] Tafsir Sya’rawi Akhbar al-Yaum, Kairo. Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi.

[5] Ringkasan Ibnu Katsir, Muhammad Nasib Ar-rifa’i. Jilid 2. Gema Insani 1999.

[6] Tafsir Sya’rawi Akhbar al-Yaum, Kairo. Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi

[7] Ini salah satu ayat sajdah yang disunatkan kita bersujud setelah membacanya atau mendengarnya, sujud ini dinamakan sujud tilawah

[8] Tafsir Sya’rawi Akhbar al-Yaum, Kairo. Syekh Muhammad Mutawalli Sya’rawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar